Hidup dari Menjual Tulisan, Fauzan Kini Jadi Ketua Fraksi dan Bendahara PKB Jatim
loading...
A
A
A
SURABAYA - Politik menjadi ruang bagi milenial untuk mengeluarkan pemikirannya. Mereka tak hanya menjadi partisipan biasa, berbagai posisi dipucuk pimpinan partai politik maupun alat kelengkapan juga dimasuki dengan cara mereka yang lebih cepat dan elegan.
Baca juga: PKB Desak Tokoh Agama Masuk Prioritas Vaksin COVID-19
Mereka memberikan warna tersendiri dalam dinamika politik yang terkesan keras. Melalui semangat milenial, politik kini lebih dinamis, santun dan bisa diterima oleh berbagai kelompok umur.
Baca juga: Lamongan Berduka, Empat Dokter Telah Gugur Terpapar COVID-19
Fauzan Fuadi, Ketua Fraksi PKB DPRD Jatim membuktikan tantangan itu ketika mengawali karir politiknya di usia yang relatif muda. Bahkan kini dirinya juga diberikan tugas partai sebagai Bendahara DPW PKB Jatim dalam Musyawarah Wilayah (Muswil) DPW PKB Jatim beberapa hari lalu.
Berangkat dari kematangan diri ketika menjadi mahasiswa, pria kelahiran Lamongan, 13 Maret 1981 ini sudah memahami politik sejak dini. Kematangannya terbentuk di jalanan ketika masih menempuh pendidikan. Langkah terjal pun dilalui dalam berbagai dinamika kehidupan yang keras.
Alumni Ponpes Qomarudin Sampurnan Bungah, Gresik ini sempat mengenyam pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada tahun 2000. Karena terkendala biaya, kuliah itu pun terhenti pada 2005. Namun, karena keinginan yang kuat, proses pendidikan itu dilanjutkan kembali pada 2012.
Untuk bisa bertahan hidup di Malang, sehari-hari Fauzan pernah mengantungkan kehidupan dari menjual tulisan. Berbagai pemikiran dituangkan menjadi opini dan dikirim ke berbagai media. Dari honor penulisan itu, ia bisa menyambung kehidupan dan melanjutkan kembali kuliahnya.
“Dulu dapat honor Rp50 ribu sudah senang sekali. Bisa buat makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Fauzan, Kamis (14/1/2021).
Setiap malam ia selalu bergadang, menulis rangkaian opini yang disusunnya secara rapi. Pagi hari, ia bergegas mengirimnya ke kantor redaksi berbagai media. Ia belum bisa makan ketika belum ada kabar pengiriman honor. Perutnya seperti memahami betul bagaimana kondisinya waktu itu.
Sejak kecil, Fauzan sudah terdidik untuk menjalani kehidupan yang keras dan mandiri. Kedua orangtuanya waktu itu harus menghidupi tujuh anak dengan penghasilan sebagai tukang ojek. Sementara ibunya membantu ekonomi keluarga dengan berjualan kopi.
Kampung halamannya berada di Desa Jatirenggo, Glagah, Lamongan, sebuah kawasan terpencil yang sebagian besar masyarakatnya menekuni profesi sebagai petani. Sisanya adalah para perantau yang mengadu nasib sebagai pedagang di luar kota.
Di jalanan itu pun ia terdidik dengan matang. Memahami kebutuhan utama masyarakat dan menyerap semua sisi kehidupan. Dengan menjual ide dan gagasan melalui tulisan, Fauzan sempat terpuruk ketika tak ada satu pun media yang memuat opininya. Kehidupan di perantauan membuatnya harus bisa bertahan hidup. “Pernah dua hari tidak makan, dan tidak tidur berhari-hari untuk terus menulis opini,” jelasnya.
Perkenalannya dengan politik dimulai ketika dirinya diserahi amanah sebagai Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Malang. Dinamika pergerakan membentuknya menjadi anak muda yang berpikir lebih kritis dan berani.
Dari ceruk pergerakan itu, ia menyerap begitu banyak keinginan masyarakat serta kesulitan yang mereka hadapi. Baik di sektor pertanian, perikanan, perburuhan sampai ekonomi kreatif yang bisa dibangun untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
“Rasanya tidak terbayang, dulu itu ketika masih jadi mahasiswa takut sekali kalau mau masuk ke kantor PKB Jatim, karena tidak ada yang kenal. Menoleh kanan dan kiri nggak tahu apa-apa. Lha, sekarang malah jadi Bendahara DPW PKB,” jelasnya.
Kini, sebagai milenial yang masuk di ruang-ruang politik, Fauzan ingin memberikan warna yang berbeda. Ia memahami pentingnya transparansi anggaran pemerintahan daerah berbasis informasi teknologi (IT). Sehingga wakil rakyat maupun partai bisa mendengar dan memperjuangkan aspirasi konstituen dengan cepat, tepat dan berkelanjutan.
“Teknologi akan menjadi pembeda, di Indonesia pun sudah merintis dan siap masuk era Society 5.0 yang mengedepankan percepatan dan teknologi yang dikendalikan oleh manusia untuk menunjang semua aktifitas,” jelasnya.
Kini, dirinya ikut merumuskan regulasi daerah yang pro santri dan bertujuan kesejahteraan bagi masyarakat. Percepatan kebangkitan ekonomi harus terus ditabuh di tengah pandemi COVID-19. Era kebiasaan baru dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat harus bisa diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang seimbang.
Dirinya yakin, dengan hadirnya milenial di berbagai partai politik serta peranan mereka sebagai wakil rakyat di ruang-ruang legislasi bisa menjadi kolaborasi yang strategis untuk membangun kesejahteraan masyarakat.
“Anak muda tetap tidak boleh minder menghadapi masa depannya. Proses panjang tidak akan berkhianat terhadap hasil yang akan dicapai,” ungkapnya.
Kini, tantangan semakin luas ketika harus berhadapan dengan pandemi. Mengubah kebiasaan baru di masyarakat yang sudah tertanam lama harus bisa dilakukan. Percepatan komunikasi serta memastikan masyarakat tercukupi kebutuhannya di masa sulit.
Baca juga: PKB Desak Tokoh Agama Masuk Prioritas Vaksin COVID-19
Mereka memberikan warna tersendiri dalam dinamika politik yang terkesan keras. Melalui semangat milenial, politik kini lebih dinamis, santun dan bisa diterima oleh berbagai kelompok umur.
Baca juga: Lamongan Berduka, Empat Dokter Telah Gugur Terpapar COVID-19
Fauzan Fuadi, Ketua Fraksi PKB DPRD Jatim membuktikan tantangan itu ketika mengawali karir politiknya di usia yang relatif muda. Bahkan kini dirinya juga diberikan tugas partai sebagai Bendahara DPW PKB Jatim dalam Musyawarah Wilayah (Muswil) DPW PKB Jatim beberapa hari lalu.
Berangkat dari kematangan diri ketika menjadi mahasiswa, pria kelahiran Lamongan, 13 Maret 1981 ini sudah memahami politik sejak dini. Kematangannya terbentuk di jalanan ketika masih menempuh pendidikan. Langkah terjal pun dilalui dalam berbagai dinamika kehidupan yang keras.
Alumni Ponpes Qomarudin Sampurnan Bungah, Gresik ini sempat mengenyam pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada tahun 2000. Karena terkendala biaya, kuliah itu pun terhenti pada 2005. Namun, karena keinginan yang kuat, proses pendidikan itu dilanjutkan kembali pada 2012.
Untuk bisa bertahan hidup di Malang, sehari-hari Fauzan pernah mengantungkan kehidupan dari menjual tulisan. Berbagai pemikiran dituangkan menjadi opini dan dikirim ke berbagai media. Dari honor penulisan itu, ia bisa menyambung kehidupan dan melanjutkan kembali kuliahnya.
“Dulu dapat honor Rp50 ribu sudah senang sekali. Bisa buat makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Fauzan, Kamis (14/1/2021).
Setiap malam ia selalu bergadang, menulis rangkaian opini yang disusunnya secara rapi. Pagi hari, ia bergegas mengirimnya ke kantor redaksi berbagai media. Ia belum bisa makan ketika belum ada kabar pengiriman honor. Perutnya seperti memahami betul bagaimana kondisinya waktu itu.
Sejak kecil, Fauzan sudah terdidik untuk menjalani kehidupan yang keras dan mandiri. Kedua orangtuanya waktu itu harus menghidupi tujuh anak dengan penghasilan sebagai tukang ojek. Sementara ibunya membantu ekonomi keluarga dengan berjualan kopi.
Kampung halamannya berada di Desa Jatirenggo, Glagah, Lamongan, sebuah kawasan terpencil yang sebagian besar masyarakatnya menekuni profesi sebagai petani. Sisanya adalah para perantau yang mengadu nasib sebagai pedagang di luar kota.
Di jalanan itu pun ia terdidik dengan matang. Memahami kebutuhan utama masyarakat dan menyerap semua sisi kehidupan. Dengan menjual ide dan gagasan melalui tulisan, Fauzan sempat terpuruk ketika tak ada satu pun media yang memuat opininya. Kehidupan di perantauan membuatnya harus bisa bertahan hidup. “Pernah dua hari tidak makan, dan tidak tidur berhari-hari untuk terus menulis opini,” jelasnya.
Perkenalannya dengan politik dimulai ketika dirinya diserahi amanah sebagai Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Malang. Dinamika pergerakan membentuknya menjadi anak muda yang berpikir lebih kritis dan berani.
Dari ceruk pergerakan itu, ia menyerap begitu banyak keinginan masyarakat serta kesulitan yang mereka hadapi. Baik di sektor pertanian, perikanan, perburuhan sampai ekonomi kreatif yang bisa dibangun untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
“Rasanya tidak terbayang, dulu itu ketika masih jadi mahasiswa takut sekali kalau mau masuk ke kantor PKB Jatim, karena tidak ada yang kenal. Menoleh kanan dan kiri nggak tahu apa-apa. Lha, sekarang malah jadi Bendahara DPW PKB,” jelasnya.
Kini, sebagai milenial yang masuk di ruang-ruang politik, Fauzan ingin memberikan warna yang berbeda. Ia memahami pentingnya transparansi anggaran pemerintahan daerah berbasis informasi teknologi (IT). Sehingga wakil rakyat maupun partai bisa mendengar dan memperjuangkan aspirasi konstituen dengan cepat, tepat dan berkelanjutan.
“Teknologi akan menjadi pembeda, di Indonesia pun sudah merintis dan siap masuk era Society 5.0 yang mengedepankan percepatan dan teknologi yang dikendalikan oleh manusia untuk menunjang semua aktifitas,” jelasnya.
Kini, dirinya ikut merumuskan regulasi daerah yang pro santri dan bertujuan kesejahteraan bagi masyarakat. Percepatan kebangkitan ekonomi harus terus ditabuh di tengah pandemi COVID-19. Era kebiasaan baru dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat harus bisa diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang seimbang.
Dirinya yakin, dengan hadirnya milenial di berbagai partai politik serta peranan mereka sebagai wakil rakyat di ruang-ruang legislasi bisa menjadi kolaborasi yang strategis untuk membangun kesejahteraan masyarakat.
“Anak muda tetap tidak boleh minder menghadapi masa depannya. Proses panjang tidak akan berkhianat terhadap hasil yang akan dicapai,” ungkapnya.
Kini, tantangan semakin luas ketika harus berhadapan dengan pandemi. Mengubah kebiasaan baru di masyarakat yang sudah tertanam lama harus bisa dilakukan. Percepatan komunikasi serta memastikan masyarakat tercukupi kebutuhannya di masa sulit.
(shf)