Normalisasi Jadwal Pilkada

Rabu, 06 Januari 2021 - 05:45 WIB
loading...
Normalisasi Jadwal Pilkada
Titi Anggraini (Foto: Istimewa)
A A A
Titi Anggraini
Pembina Perludem, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI

PEMUNGUTAN suara Pilkada 2020 telah tuntas terselenggara. Saat ini tahapan beranjak memasuki penyelesaian perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi. Tentu banyak hal yang harus dievaluasi, baik dari sisi kerangka hukum, pelaksanaan teknis tahapan, partisipasi pemilih, maupun pengawasan dan penegakan hukum pemilihan.

Beranjak dari Pilkada 2020, juga ada isu krusial untuk kita diskusikan, yaitu terkait pelaksanaan pilkada gelombang berikutnya. Berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024. Implikasi ketentuan tersebut, sebagaimana diatur pasal yang sama, maka kepala daerah hasil pemilihan 2017 (101 daerah) dan 2018 (170 daerah), yang akan berakhir masa jabatan pada 2022 dan 2023 tidak akan diselenggarakan pilkada di daerahnya pada tahun tersebut. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai 2024.

Provinsi yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada 2022 meliputi Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sedangkan pada 2023 ada 17 provinsi yang gubernurnya akan berakhir masa jabatan antara lain Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, serta Papua. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, akan diangkat penjabat gubernur, bupati, dan wali kota sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif melalui pilkada serentak nasional pada 2024.

Bila ditelusuri, konsep pilkada serentak nasional 2024 ini sesungguhnya bergeser dari pengaturan awal yang terdapat dalam UU Nomor 8/2015. Di mana pemungutan suara pilkada serentak nasional terjadwal dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada 2027. Dalam rancangan ini, di daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala pemerintahannya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pemungutan suara pada tahun-tahun tersebut.

Ada beberapa pertimbangan yang membuat jadwal pilkada serentak nasional diselenggarakan 2027 berubah ke 2024, yang notabene juga akan berbarengan dengan pelaksanaan siklus lima tahunan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Antara lain, agar tidak terlalu sering ada pemilu dan pilkada sehingga stabilitas pembangunan dan ekonomi bisa terjaga baik, tanpa interupsi aktivitas politik yang terlalu intens. Selain juga untuk memastikan bahwa tidak banyak aktor politik yang lompat pagar dalam pencalonan jabatan politik akibat jadwal pemilu dan pilkada yang tidak bersamaan.

Selama ini memang ada kecenderungan anggota DPR, DPD, atau DPRD pada saat pelaksanaan pilkada mengundurkan diri dari jabatannya untuk maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Bila tahapan pemilihan beririsan waktunya, maka hal itu akan bisa dihindari. Termasuk pula bagi mereka yang ingin maju sebagai calon gubernur tentu tidak bisa di saat bersamaan maju sebagai calon presiden. Dikarenakan pencalonan akan berlangsung pada masa yang sama. Mereka yang ingin berkontes harus memilih salah satu saja dari jabatan politik yang diperebutkan saat pemilihan, baik di eksekutif maupun legislatif.

Ancaman Elektoral
Akan tetapi, di balik pertimbangan-pertimbangan tersebut, ada ancaman elektoral cukup besar kalau pemungutan suara pilkada serentak nasional tetap dilaksanakan pada November 2024, pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Pertama, beban teknis berlebih membuat penyelenggaraan pemilu potensial tidak terkelola dengan baik. Berdasarkan hasil kajian lintas disiplin atas meninggal dan sakitnya petugas Pemilu 2019 yang dilakukan oleh Fisipol Universitas Gadjah Mada (2019), ditemukan bahwa meninggal dan sakitnya petugas tidak lepas dari rata-rata beban kerja petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang sangat tinggi. Sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan dalam menyelenggarakan pemungutan suara untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan lima surat suara. Selain itu, ada pula kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan akibat kompleksitas pemilihan yang dilaksanakan.

Meskipun pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya di bulan April, sementara pilkada pada November, namun tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain. Sebab menuju pemungutan suara harus ada sejumlah tahapan persiapan yang dilakukan, dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, dan distribusi logistik pemilihan. Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat ganda. Artinya, bukan tidak mungkin fenomena kelelahan petugas seperti Pemilu 2019 akan kembali terulang.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1612 seconds (0.1#10.140)