Populisme Islam Menag Yaqut: Salah Definisi, Apa Salah Paham?

Rabu, 30 Desember 2020 - 13:53 WIB
loading...
Populisme Islam Menag Yaqut: Salah Definisi, Apa Salah Paham?
Habib Rizieq Shihab menyapa pendukungnya. Populisme Islam? Foto/SINDOnews/Yorri Farli
A A A
BARU beberapa hari Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut menjadi Menteri Agama (Menag) RI . Kerja pun belum banyak dilakukan. Namun pernyataanya lumayan menyedot perhatian. Menteri baru ini dilantik 22 Desember lalu. Lima hari kemudian, yakni 27 Desember kemarin, ia sukses mengapungkan istilah kontroversi tentang ' populisme Islam '.

"Saya tidak ingin, kita semua tentu saja tidak ingin populisme Islam ini berkembang luas sehingga kita kewalahan menghadapinya," katanya, dalam diskusi lintas agama dengan tema “Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Kebhinekaan”. Acara ini disiarkan langsung lewat akun YouTube Humas Polda Metro Jaya, Minggu (27/12). ( )

Pernyataan Gus Yaqut tersebut mengundang polemik. "Istilah populisme dan populisme Islam yang digunakan oleh Gus Yaqut patut diperdebatkan kembali," cuit anggota DPR RI, Fadli Zon, melalui akun Twitter pribadinya @fadlizon. “Ayo kita berdebat di ruang publik apa itu populisme, populisme Islam,” tantangnya.

Tanggapan senada juga dilontarkan profesor riset bidang sosiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Endang Turmudzi. Dia bilang, Yaqut Cholil Qoumas salah paham soal populisme Islam.

Yaqut dianggap keliru saat mengartikan populisme Islam sebagai upaya menggiring agama menjadi norma konflik. Endang berkata pemahaman itu lebih mendekati definisi radikalisme. (

"Kalau popularisme Islam [dianggap] bahaya, karena memang persepsinya yang keliru; jadi populisme Islam diartikan dengan radikalisme," kata Mantan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, Senin (28/12).

Menurut Endang, populisme adalah kosakata dalam ilmu politik yang berarti gagasan dari kalangan elite yang memberikan perhatian kepada kepentingan rakyat kecil.

Populisme Islam, kata dia, bisa dimaknai gagasan yang mengartikulasikan kepentingan umat Islam. Endang mencontohkan politikus yang mencoba menerapkan nilai Islam dalam berpolitik.

Dia berpendapat populisme Islam tidak berbahaya. Justru tindakan itu adalah bagian dari penerapan demokrasi. "Kalangan Islam, seperti kalangan lain, punya aspirasi, punya keinginan dalam hidup bernegara. Itu kan juga bagian dari demokrasi," tuturnya. ( )

Definisi
Baiklah mari kita tengok definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI tentang populisme. KBBI mengartikan, populisme/po·pu·lis·me/ n paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil

Sedangkan Wikipedia mendefinisikan, populisme adalah sejumlah pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan "rakyat" yang sering kali dilawankan dengan kepentingan suatu kelompok yang disebut "elit".

Populisme naga-naganya memang memiliki berbagai macam definisi, dan istilah ini sendiri berkembang pada abad ke-19 dan semenjak itu maknanya berubah-ubah.

Di Eropa, tidak banyak politikus atau partai yang menggambarkan diri mereka sebagai "populis". Dalam ilmu politik, istilah ini telah digunakan dengan definisi yang bermacam-macam, tetapi ada juga beberapa ahli yang menolak penggunaan istilah ini.

Ada juga yang menterjemahkan bahwa populisme pada dasarnya adalah variasi metode pendekatan politik yang bertujuan untuk menarik dukungan dari masyarakat yang merasa aspirasinya tidak diperhatikan oleh pemerintah.

Dalam ilmu politik, populisme menggambarkan suatu masyarakat yang terbagi menjadi dua kelompok: “the pure people” (the good) dan “the corrupt elite” (the bad).

Konon setelah Donald Trump menjadi populer di tengah kampanyenyalah istilah populisme marak digunakan di diskusi keseharian.

Namun, peneliti ilmu politik sendiri belum menemukan konsensus mengenai definisi populisme sendiri. Apakah itu sebuah ideologi? Ataukah metode wacana politik? Yang pasti akademia politik setuju bahwa populisme ini adalah sebuah fenomena abad ke-21 yang perlu dipantau lebih lanjut.

Pemimpin populis
Dalam bukunya “What is Populism?” Jan-Werner Müller berpendapat bahwa nilai inti dari seorang pemimpin yang populis adalah penolakannya atas keberadaan pluralisme di masyarakat. Yang dimaksud oleh Muller adalah pemimpin populis akan selalu mengklaim bahwa dialah satu satunya orang yang dapat mewakilkan masyarakat secara luas.

Pengertian konvensional dari definisi ini sering menganggap bahwa sang pemimpin hanya bersandiwara untuk mendapatkan dukungan. Namun, pemimpin populis yang ‘sejati’ dapat memimpin pemerintahan yang memang berkomitmen secara moral untuk mewakilkan masyarakat.

Bahayanya adalah pemimpin ini dapat dengan mudah mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter yang mengecualikan orang-orang yang tidak dianggap menjadi bagian ‘masyarakat’ menurut pengertian si pemimpin.

Sedangkan Dr Moffitt, penulis buku “The Global Rise of Populism” menulis bahwa pemimpin populis biasanya juga berperilaku buruk. Mereka cenderung ‘mengabadikan’ situasi krisis dan selalu siap sedia untuk bermain di ‘offensive.’ Karena pemimpin populis harus meyakinkan masyarakat atau pendukungnya bahwa ialah satu-satunya pahlawan yang mendengarkan keluhan masyarakat, maka ia harus mempertahankan keberadaan si musuh yang merupai krisis negara atau kekuasaan/pemerintahan yang ada.

Metode kampanye ‘anti’ juga merupakan salah satu ciri khas pemimpin populis: anti-pemerintahan, anti-politik, anti-elitis. Politik anti ini memberikan ruang gerak bagi pemimpin untuk selalu menciptakan ‘musuh’ baru untuk dilawan. Skenario seperti ini membuat si pemimpin terlihat sangat heroic dan kuat seperti “strongmanleaders.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2015 seconds (0.1#10.140)