Ramah Lingkungan dari Hulu hingga Hilir

Senin, 21 Desember 2020 - 07:00 WIB
loading...
Ramah Lingkungan dari Hulu hingga Hilir
Kehadiran kendaraan listrik bisa menjadi salah satu upaya mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi berbahan bakar fosil. (Ilustrasi: KORAN SINDO/Wawan Bastian)
A A A
PEKAN lalu sebuah milestone menuju Indonesia yang le­bih hijau dengan mengurangi emisi gas buang di­lun­curkan pemerintah melalui penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Ha­ra­pan­nya, ke depan kendaraan listrik ini bisa menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan ketahanan energi se­kaligus mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi berbahan bakar fosil.

Sesungguhnya, kendaraan listrik bukan satu-satunya kampanye yang digaungkan pemerintah dalam mengurangi ketergantungan pada energi berbahan bakar fosil seperti minyak bumi. Jauh sebelum itu, pemerintah juga mengeluarkan program pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Bahkan, tidak tanggung-tanggung target EBT berdasarkan Rencana Umum Energi nasional (RUEN) di­te­tap­kan sebesar 23% pada 2025 mendatang. Artinya, hampir seperempat kebutuhan energi di dalam negeri pada lima tahun ke depan harus bersumber dari energi ramah lingkungan.

Di sisi konsumsi, pada RUEN yang disusun pemerintah, kon­sum­si energi per kapita pada 2025 ditargetkan mencapai 1,4 ton of oil equi­valent (ToE) dan konsumsi listrik per kapita sebanyak 2.500 kWh. Angka tersebut meningkat pada 2050, di mana bauran energi dari EBT diproyeksikan mencapai 31% dengan konsumsi energi per kapita mencapai 3,2 ToE dan konsumsi listrik per kapita mencapai 7.000 kWh.Mengejar target bauran EBT sebesar 23% tentu bukan pe­kerjaan mudah. Pasalnya, sampai saat ini realisasi EBT di sektor ke­listrikan baru sekitar 15% atau setara 10.400 MW dari total kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 69.000 MW. Masih ada sekitar 5.000an MW lagi yang harus dipenuhi dalam kurun waktu lima tahun. Padahal, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penambahan kapasitas listrik EBT dalam empat tahun terakhir hanya berkisar di angka 400 MW-500 MW.

Dengan kondisi ini, perlu akselerasi dan dorongan yang kuat dari semua pemangku kepentingan agar porsi EBT pada bauran energi nasional bisa maksimal. Untuk mencapai target tersebut, ken­da­ra­an listrik bisa menjadi salah instrumen di bagian hilir alias penyerap energinya. Cara lain di bagian hilir (end user) bisa juga dengan meng­gunakan perangkat di rumah dengan basis listrik, seperti kompor induksi untuk memasak sehari-hari.

Tentu saja perlu tahapan-tahapan tertentu agar penggunaan kendaraan berbasis listrik atau yang lainnya lebih masif digunakan di masyarakat. Edukasi dan sosialisasi menjadi kunci agar bisa membentuk mindset baru tentang pentingnya menghijaukan lingkungan dengan sumber energi ramah lingkungan.

Penggunaan energi bersih akan lebih afdol jika sumber-sumber energi primer untuk memproduksi listrik juga berasal dari sumber-sum­ber terbarukan. Mulai dari tenaga surya, angin, air hingga arus laut.

Sejumlah inisiatif telah dilakukan pemerintah untuk meng­ha­sil­kan sumber energi ramah lingkungan ini. Misalnya saja pem­ba­ngun­an pembangkit listrik tenaga bayu (angin) di Sidrap, Sulawesi Selatan yang memiliki kapasitas 75 MW. Di lokasi tak jauh dari itu, juga akan di­kembangkan PLTB serupa dengan kapasitas yang kurang lebih sama.

Proyek EBT terkini yang sedang dikembangkan adalah Pem­bang­kit Listrik Tenaga Surya (PLTS) oleh cucu usaha PLN, yakni PT PJB Investasi yang bekerja sama dengan perusahaan Uni Emirat Arab, Mas­dar. PLTS ini didesain terapung di atas waduk Cirata yang me­rupakan sumber air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata. PLTS Apung yang mulai digarap bulan Desember ini harapkan bisa menghasilkan 145 MWac dan menelan investasi Rp1,8 triliun.

Meski kapasitasnya terbatas, namun paling tidak ini menjadi sebuah ikhtiar untuk terus memberikan kontribusi terhadap pasokan energi lebih bersih. Dengan kapasitasnya yang relatif kecil ini, jelas jauh berbeda dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang rata-rata berkapasitas jumbo.

Nah, inilah yang menjadi tantangan ke depan. Harapannya kita ingin semua listrik yang digunakan sehari-hari adalah listrik yang di hulunya diproduksi dengan sumber energi primer yang ramah lingkungan. Idealnya, kita menggunakan kendaraan listrik dengan baterai yang terisi dengan listrik dari pembangkit yang ramah lingkungan. Bukan listrik dari PLTU batu bara atau PLTD (diesel).

Namun, tentu saja ini tidak akan mudah mengingat saat ini pasokan listrik dari pembangkit batu bara atau pun gas masih men­dominasi, Lebih jauh lagi, dalam menyediakan listrik, keandalan sangat dibutuhkan karena harus tersedia sepanjang waktu. Berbeda dengan pembangkit EBT yang produksi listriknya belum bisa stabil karena tergantung kondisi alam. Inilah pekerjaan rumah yang mesti dipikirkan agar energi yang digunakan sehari-hari bisa 'hijau' dari hulu hingga hilir.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1237 seconds (0.1#10.140)