Adili The Panturas, Sukses Pukau Hakim atas Musik Rock Selancar Kontemporer
loading...
A
A
A
BANDUNG - Grup band rock selancar kontemporer The Panturas berhasil meyakinkan hakim atas karya musiknya pada Djarum Coklat
Dot Com (DCDC) Pengadilan Musik yang digelar secara virtual dari Cafe The Panas Dalam, Jalan Ambon, Kota Bandung, Kamis (12/11/2020).
Keempat personel, yaitu Kuya yang bermain drum, Abyan Zaki (vokal, gitar), Rizal Taufik (gitar), dan Bagus Patrias alias Gogon (bas) berhasil meyakinkan hakim, melalui saluran yang disiarkan streaming di YouTube DCDC TV.
The Panturas yang mengenakan rompi kuning khas terdakwa, diadili oleh Jaksa Penuntut Budi Dalton dan Pidi Baiq. Dibela oleh Yoga (PHB) dan Rully Cikapundung. Di kursi kebesaran, Pengadilan Musik dipimpin oleh seorang Hakim yaitu Man (Jasad). Jalannya persidangan diatur oleh Eddi Brokoli sebagai Panitera.
Kendati digelar virtual, pengadilan berjalan cukup rileks. Dimulai oleh celotehan Jaksa Penuntut Budi Dalton yang menanyakan asal usul grup band ini hadir di Indonesia. Karena, secara genre yang dibawakan, band ini membawa ciri musik berbeda di tengah trendnya musik populer.
Gogon bercerita, band yang berdiri sejak tahun 2015 di kota Jatinangor mengaku mengusung konsep musik Rock Selancar Kontemporer. The Panturas adalah nama yang dipilih untuk mewakili jenis musik yang mereka mainkan. Band ini terinspirasi dari nama band dedengkot rock selancar asal Amerika The Ventures namun diplesetkan oleh lidah lokal mereka menjadi The Panturas.
Mereka pun tak menampik jika The Panturas identik juga dengan nama kawasan pantai utara alian pantura. Keidentikan ini tak bisa dilepaskan dari penjelmaan musik lokal. "Kami mengawali karier bermusik melalui single ‘fisherman slut’ yang rilis pada 2016," kata dia.
Tapi siapa kira, genre musik rock selancar yang dikenal jadul dan telah disangka punah di Indonesia ternyata menemukan geliat baru lewat single ini. Nama The Panturas mulai tercatat dalam berbagai media promo festival musik berbagai kelas. Melalui dukungan penuh para ABK (Anak Buah Kapal), sebutan fans The Panturas, musik rock selancar kembali menemukan nyawanya dipeta musik Indonesia.
Debut mereka di dunia musik terus berlanjut. Pada tahun 2018 mereka memberanikan diri untuk merilis album perdana mereka yang diberi judul ‘Mabuk Laut’. Atas berbagai debutnya sebagai band rock selancar kontemporer maka mereka perlahan mulai membangun citra tidak hanya lewat karya lagu saja.
Buktinya, mereka memunculkan seni visual yang selalu berhubungan dengan laut dan kehidupan pantai dengan kemasan gaya tahun tujuh puluhan, lengkap dengan unsur komedi yang satir. Hingga tahun 2020 ini, tepatnya di bulan November disaat masa pandemic belum berakhir, The Panturas justru hadir kembali dengan karya terbaru mereka berupa single yang berjudul ‘Balada Semburan Naga’.
Single yang dibuat dengan latar video unik itu, yang juga menjadi alasan band ini didudukkan di kursi persidangan. "Lagu ini memberitakan balada cinta, dia datang ke orang tuanya, namun ditolak," imbuh Gogon.
Perwakilan Atap Promotion Gio Vitano mengatakan, single ‘Balada Semburan Naga’ menjadi alasan mereka ditarik ke persidangan DCDC Pengadilan Musik. Band ini cukup unik, kendati hidup di zaman populer dan milenial, band ini membawakan musik rock selancar yang terkesan jadul.
"Mereka membawakan musik yang khas, namun punya penggemar dari sound dan lirik yang menarik. Di zaman seperti ini, mereka memperkenalkan musik masa lalu. Intinya kami memacu agar para musisi tetap berkarya walaupun saat pandemi," jelas dia.
Menurut dia, Pengadilan Musik Virtual secara rutin mengundang dan mengkaji materi-materi terbaru dari band-band independen dan solois tanah air yang aktif dalam membuat karya. Setelah sempat off saat awal pandemi, Pengadilan Musik kembali hadir secara virtual untuk tetap mengakomodir para seniman musik yang mampu tetap berkarya. Arif budianto
Dot Com (DCDC) Pengadilan Musik yang digelar secara virtual dari Cafe The Panas Dalam, Jalan Ambon, Kota Bandung, Kamis (12/11/2020).
Keempat personel, yaitu Kuya yang bermain drum, Abyan Zaki (vokal, gitar), Rizal Taufik (gitar), dan Bagus Patrias alias Gogon (bas) berhasil meyakinkan hakim, melalui saluran yang disiarkan streaming di YouTube DCDC TV.
The Panturas yang mengenakan rompi kuning khas terdakwa, diadili oleh Jaksa Penuntut Budi Dalton dan Pidi Baiq. Dibela oleh Yoga (PHB) dan Rully Cikapundung. Di kursi kebesaran, Pengadilan Musik dipimpin oleh seorang Hakim yaitu Man (Jasad). Jalannya persidangan diatur oleh Eddi Brokoli sebagai Panitera.
Kendati digelar virtual, pengadilan berjalan cukup rileks. Dimulai oleh celotehan Jaksa Penuntut Budi Dalton yang menanyakan asal usul grup band ini hadir di Indonesia. Karena, secara genre yang dibawakan, band ini membawa ciri musik berbeda di tengah trendnya musik populer.
Gogon bercerita, band yang berdiri sejak tahun 2015 di kota Jatinangor mengaku mengusung konsep musik Rock Selancar Kontemporer. The Panturas adalah nama yang dipilih untuk mewakili jenis musik yang mereka mainkan. Band ini terinspirasi dari nama band dedengkot rock selancar asal Amerika The Ventures namun diplesetkan oleh lidah lokal mereka menjadi The Panturas.
Mereka pun tak menampik jika The Panturas identik juga dengan nama kawasan pantai utara alian pantura. Keidentikan ini tak bisa dilepaskan dari penjelmaan musik lokal. "Kami mengawali karier bermusik melalui single ‘fisherman slut’ yang rilis pada 2016," kata dia.
Tapi siapa kira, genre musik rock selancar yang dikenal jadul dan telah disangka punah di Indonesia ternyata menemukan geliat baru lewat single ini. Nama The Panturas mulai tercatat dalam berbagai media promo festival musik berbagai kelas. Melalui dukungan penuh para ABK (Anak Buah Kapal), sebutan fans The Panturas, musik rock selancar kembali menemukan nyawanya dipeta musik Indonesia.
Debut mereka di dunia musik terus berlanjut. Pada tahun 2018 mereka memberanikan diri untuk merilis album perdana mereka yang diberi judul ‘Mabuk Laut’. Atas berbagai debutnya sebagai band rock selancar kontemporer maka mereka perlahan mulai membangun citra tidak hanya lewat karya lagu saja.
Buktinya, mereka memunculkan seni visual yang selalu berhubungan dengan laut dan kehidupan pantai dengan kemasan gaya tahun tujuh puluhan, lengkap dengan unsur komedi yang satir. Hingga tahun 2020 ini, tepatnya di bulan November disaat masa pandemic belum berakhir, The Panturas justru hadir kembali dengan karya terbaru mereka berupa single yang berjudul ‘Balada Semburan Naga’.
Single yang dibuat dengan latar video unik itu, yang juga menjadi alasan band ini didudukkan di kursi persidangan. "Lagu ini memberitakan balada cinta, dia datang ke orang tuanya, namun ditolak," imbuh Gogon.
Perwakilan Atap Promotion Gio Vitano mengatakan, single ‘Balada Semburan Naga’ menjadi alasan mereka ditarik ke persidangan DCDC Pengadilan Musik. Band ini cukup unik, kendati hidup di zaman populer dan milenial, band ini membawakan musik rock selancar yang terkesan jadul.
"Mereka membawakan musik yang khas, namun punya penggemar dari sound dan lirik yang menarik. Di zaman seperti ini, mereka memperkenalkan musik masa lalu. Intinya kami memacu agar para musisi tetap berkarya walaupun saat pandemi," jelas dia.
Menurut dia, Pengadilan Musik Virtual secara rutin mengundang dan mengkaji materi-materi terbaru dari band-band independen dan solois tanah air yang aktif dalam membuat karya. Setelah sempat off saat awal pandemi, Pengadilan Musik kembali hadir secara virtual untuk tetap mengakomodir para seniman musik yang mampu tetap berkarya. Arif budianto
(atk)