Bawaslu Harus Mengulang Tindakan Sebelum Putusan MK

Jum'at, 31 Januari 2020 - 22:24 WIB
Bawaslu Harus Mengulang Tindakan Sebelum Putusan MK
Bawaslu Harus Mengulang Tindakan Sebelum Putusan MK
A A A
TASIKMALAYA - Dosen Magister Hukum Universitas Jayabaya Jakarta, Asril Sitompul, mengatakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mengulang segala tindakan sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 48/PUU-XVII/2019 tentang Permohonan Pegujian Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau biasa disebut Undang-Undang Pilkada perihal 'Frasa Panwaslu Kabupaten/Kota'. Pasalnya dalam Putusan tersebut, MK tidak memutuskan tindakan Bawaslu sebelumnya apakah sah atau tidak. (Baca: Bawaslu Pangandaran Sebut Pemilu Serentak Belum Efektif)

"Nah apa yang dilakukan Bawaslu sebelumnya tidak ada dasar. Apa yang dilakukan dianggap tidak ada, atau batal demi hukum," kata Asril saat ke Tasikmalaya, Kamis (30/1/2020).

Menurut Asril, Bawaslu Kabupaten/Kota yang menggelar Pilkada serentak telah melakukan tahap rekruitmen Pengawas Pilkada tingkat Kecamatan. Padahal dalam Undang-Undang Pilkada, yang berwenang melakukan rekruitmen adalah Panwaslu yang dalam Undang-Undang tersebut bersifat 'ad hoc' serta beranggotakan tiga orang. Jadi, Bawaslu harus mengulang rekruitmen tersebut.

"Hukum tidak berlaku surut, kecuali MK memutuskan juga bahwa apa yang dilakukan Bawaslu sebelumnya dianggap sah. Ini kan sebatas memutuskan soal frasa Panwaslu Kabupaten/Kota itu karena hari ini Panwaslu menjadi Bawaslu akibat Undang-Undang Pemilu," tuturnya.

Asril pun melihat ada peluang melakukan gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas tindakan Bawaslu yang telah merekrut Pengawas Pilkada tingkat Kecamatan. Pasalnya gugatan Bawaslu tidak sampai pada kepastian hukum dalam tindakan.

"Harusnya bawaslu mengajukan juga bagaimana tindakan yang sudah dilakukan. Ini kan tidak karena yang digugat soal frasa Panwaslu dan keanggotaan saja atau sebatas kewenangan saja sehingga yang lalu dianggap belum berwenang," ucapnya.

Asril yang juga Dosen Magister Hukum Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) Tasikmalaya ini menyarankan agar Pilkada disatukan dalam Undang-Undang Pemilu sehingga orang mencarinya mudah serta pedomannya jelas.

"Bayangkan saja Undang-Undang Pidana kayak sekarang. Korupsi beda, pencucian uang beda. Yang bingung siapa?. Hakimnya, jaksanya, penyidiknya, advokatnya bingung harus baca semua Undang-Undang. Ditambah penafsirannya juga beda," katanya.

Dilain pihak Sekretaris Prodi Magister Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) Tasikmalaya, Imam Santoso mengatakan, agar Pilkada dikembalikan ke azas utamanya bahwa otonomi daerah itu cukup di provinsi.

"Artinya Gubernur dipilih masyarakat, tapi Bupati atau Wali Kota dipilih Gubernur atas persetujuan dewan " ujarnya.

Imam mencontohkan dengan Jakarta, sehingga spirit Pilkada serentak untuk efisiensi anggaran bisa terwujud, bukan sebaliknya.

"Pilkada serentak dibuat untuk efisiensi anggaran. Faktanya gimana?. Malah makin bengkak. Ini saja dengan permanennya Panwaslu menjadi Bawaslu, tentu menyedot anggaran banyak," kata Imam.

Rabu (29/1/2020) Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019 tentang Permohonan Pegujian Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau biasa disebut Undang-Undang Pilkada perihal 'Frasa Panwaslu.

MK memberikan penafsiran baru mengenai apa yang dimaksud dengan Panwaslu tingkat kabupaten/kota yang sebelumnya bersifat Ad hoc (sementara) sehingga dapat langsung dilaksanakan sebagai lembaga permanen sesuai legalitas berdasarkan Undang-Undang Pemilu No7 tahun 2017.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5325 seconds (0.1#10.140)