Warisan Prabu Siliwangi Selamatkan Pertahanan Pajajaran dari Gempuran Musuh Misterius

Rabu, 10 Juli 2024 - 06:07 WIB
loading...
Warisan Prabu Siliwangi...
Ilustrasi Potret Kerajaan Pajajaran dan kemegahannya. Foto/Istimewa/Museum Nusantara
A A A
Cucu Prabu Siliwangi mewarisi Kerajaan Pajajaran sepeninggal Surawisesa. Nambah Ratu Dewata konon memiliki karakter berbeda dengan sikap Prabu Siliwangi dan ayahnya Surawisesa yang terkenal pribadi yang pemberani, ahli dalam peperangan, dan panglima perang.

Sosok Ratu Dewata sendiri digambarkan memiliki kepribadian yang taat beragama. Dia melakukan upacara sunatan atau upacara adat khitan pra-Islam, dan melakukan tapa pwah-susu atau hanya makan buah-buahan dan minun susu.

Ratu Dewata juga dianggap bertolakbelakang dengan Prabu Siliwangi dan Surawisesa, yang mengenal dan ahli dalam strategi politik. Menurut Carita Parahiyangan pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibu Kota Pakuan.



Bahkan musuh ‘tambuh sangkane’ atau tidak dikenal asal-usulnya.“Ratu Dewata beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran," demikian dikutip dari buku ‘Menemukan Kerajaan Sunda’, dari Saleh Danasasmita.

Warisan pertahanan Prabu Siliwangi berupa pasukan perang yang kuat memang tak terbantahkan. Keahlian Prabu Siliwangi membuat Kerajaan Pajajaran setidaknya masih bertahan semasa pemerintahan Ratu Dewata di awal-awal.

Para perwira tua warisan Prabu Siliwangi ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan Kilat Kerajaan Banten tidak mampu menembus gerbang Pakuan.

Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi ranamandala atau medan pertempuran, mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya. Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota.



Tetapi dua orang senapati Pajajaran mati yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet.

Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat - pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam zaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.

Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan zaman itu tidak tepat. Sebab tapa seorang raja adalah memerintah dengan baik. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah ia turun tahta seperti Wastu Kancana.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2084 seconds (0.1#10.140)