Tuntutan Buruh DIY Dapat Upah Rp2,9 Juta Dipastikan Kandas

Senin, 22 Oktober 2018 - 19:10 WIB
Tuntutan Buruh DIY Dapat Upah Rp2,9 Juta Dipastikan Kandas
Tuntutan Buruh DIY Dapat Upah Rp2,9 Juta Dipastikan Kandas
A A A
SLEMAN - Tuntutan buruh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menginginkan mendapatkan upah layak antaran Rp2,4 juta-Rp2,9 juta pada 2019 mendatang dipastikan tidak terealisasi. Kepastian ini setelah Dewan Pengupahan DIY tetap akan mengunakan Peraturan Pemerintah (PP) No 78/2015 tentang Pengupahan sebagai formula dalam penghitungan upah minimun provinsi, kabupaten dan kota (UMP dan UMK). Kenaikan hanya dipatok sebersar 8,03% dari UMP dan UMK tahun sebelumnya.

Besaran UMK Yogyakarta 2018 Rp1,709 juta, Sleman Rp1,574 juta, Bantul Rp1,572 juta, Kulonprogo Rp1,493 juta, dan Gunungkidul Rp1,454 juta. Jika mengacu PP 78/2015, maka UMP dan UMK di DIY di bawah Rp2 juta. UMK Yogyakarta menjadi Rp1,851 juta, Sleman Rp1,7 juta, Bantul Rp1,698 juta, Kulonprogo Rp1,613 juta, dan Gunungkidul Rp1,570 juta. Padahal sesuai survei kebutuhan hidup layak, UMK Yogyakarta harusnya Rp2,9 juta, Sleman Rp2,8 juta, Bantul Rp2,7 juta, Kulonprogo Rp2,5 juta, dan Gunungkidul Rp2,4 juta.

"Untuk formula upah UMP dan UMK kami tetap mengacu pada PP 78/2015," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY Andung Prihadi Santoso usai menerima audiensi perwakilan buruh Yogyakarta yang menolak PP tersebut sebagai acuan dalam perhitungan UMP dan UMK 2019 di DIY, Senin (22/10/2018).

Andung menjelaskan penerapan perhitungan UMP dan UMK dengan PP 78/2015 bukan tanpa alasan. Disnakertrans merupakan pelaksana, bukan pengambil kebijakan. Untuk itu, jika para buruh menolak dan memiliki formula untuk perhitungan UMP dan UMK DIY bisa menyampaikan langsung ke pemerintah pusat.

"Jadi kami hanya menampung tentang metode penerapan upah. Sebab tidak bisa keluar dari PP tersebut," ujarnya.

Namun begitu, instansinya tetap akan melakukan pengawasan dan menerapkan sanksi tegas kepada perusahaan yang tidak mematahui atau melaksanaan UMP dan UMK yang telah ditetapkan tersebut. Hanya, sanksinya memang tidak bisa saklek, tapi tetap melihat situasi dan kondisi perusahan itu.

"Tercatat pada tahun 2018 ini, masih ada 54 perusahaan di DIY yang belum melaksanan pembayaran sesuai dengan UMP dan UMK," katanya.

Menurut Andung, sebagai tidak lanjut, bersama-sama dengan perkumpulan buruh di DIY akan melakukan pengawasan bersama, sehingga bagi perusahaan yang belum memenuhi kewajibannya segera dapat diberikan sanksi. Termasuk tetap akan memperjuangkan agar UMP dan UMP untuk disepakati. UMP dan UMK DIY direncaakan akan ditetapkan gubernur DIY November mendatang.

"Di mana untuk kesejahteraan, selain faktor upah juga ada faktor nonupah, seperti jamkes, jamsos, jaminan kecelakaan dan jaminan fasilitas atau dengan menerapkan struktur upah skala upah," katanya.

Koordinator Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederansi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY Irsyad Ade Irawan menilai rumusan kenaikan UMP dan UMK yang merujuk pada PP 78/2015 tidak berpihak kepada buruh. Untuk itu, menuntut kepada gubenur DIY tidak menjadikan PP tersebut sebagai dasar perhitungan UMP dan UMK 2019. Namun menetap UMP dan UMK sesuai dengan KHL, termasuk menerapkan upah minimun sektoral (UMS).

"Jika PP tersebut tetap diterapkan maka akan berbanding lurus dengan jumlah angka kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan di DIY. Karena itu kami menolak PP 78/205 sebagai dasar perhitungan UMP dan UMK 2019 di DIY," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6412 seconds (0.1#10.140)