Jawaban Pemerintah di Sidang Komite HAM PBB soal Pasal Penghinaan Presiden Dikritisi

Senin, 18 Maret 2024 - 17:38 WIB
loading...
Jawaban Pemerintah di Sidang Komite HAM PBB soal Pasal Penghinaan Presiden Dikritisi
Advocacy Officer Forum-Asia Rosalind Ratana. Foto/Tangkapan layar YouTube KontraS
A A A
JAKARTA - Asian Forum for Human Rights and Development (Forum-Asia) menyesalkan pernyataan pemerintah Indonesia saat menjawab Komite Kovenan soal pasal penghinaan presiden dan pemerintah dalam sidang Komite HAM PBB atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) di Jenewa, Swiss pada Selasa, 12 Maret 2024. Advocacy Officer Forum-Asia Rosalind Ratana mengatakan, dari awal pemerintah mencontohkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) adalah perkembangan legislatif.

"Dan di sini mereka bilang bahwa prosesnya sudah melalui konsultasi ekstensif dari beberapa stakeholder, dan mereka tekankan undang-undang tersebut telah disesuaikan kepada standar HAM internasional. Di sini kami pas dengar itu lumayan terkejut," katanya dalam diskusi bertajuk 'Pemerintah Indonesia Putarbalikkan Fakta Kondisi HAM di Sidang ICCPR' disiarkan di YouTube KontraS, Senin (18/3/2024).



Rosalind mengungkapkan, saat pemerintah Indonesia menyampaikan hal tersebut, Komite ICCPR pun mengutarakan bahwa ada kemunduran HAM dalam KUHP, karena dinilai mengganggu kebebasan berpendapat. "Dan mereka menanyakan beberapa, salah satunya terkait pengembalian hukuman penjara kepada mereka yang menyerang kehormatan, harkat martabat presiden dan wakil presiden dan pemerintah," ucapnya.

Rosalind menyayangkan jawaban pemerintah Indonesia yang justru memperkuat bahwa aturan tersebut dibuat untuk mendiskriminasi, dan mengkriminalisasi kebebasan berpendapat. "(Komite) dia sebut bahwa pasal ini melanggar kebebasan berekspresi karena memang presiden dan pejabat itu secara standar merupakan subjek yang bisa dikritisi oleh publik karena mereka memiliki jabatan yang bertanggung jawab ke publik," katanya.



"Namun jawaban dari pemerintah sendiri, mereka bilang bahwa pasal pengembalian hukuman tersebut sebenarnya sudah sesuai dengan aturan di kovenan karena ada penjelasan terkait kebebasan berekspresi di situ. Apalagi yang terkait kepentingan umum," sambungnya.

Namun, kata Rosalind, berdasarkan observasi, pihaknya menilai bahwa kehadiran aturan terdapat menjadi landasan dasar, untuk mengkriminalisasi siapa saja yang mengkritik presiden dan pemerintah. "Hal ini rancu, karena setiap pejabat yang memegang jabatan publik, subjeknya dari perlindungan kovenan ini, inilah kenapa adanya hukuman terkait ekspresi kepada pemerintah itu sangat problematik, dan di sidang tersebut hal ini tidak bisa dijelaskan secara lengkap oleh para delegasi (Indonesia)," pungkasnya.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1264 seconds (0.1#10.140)