Bahas BPJS, Bupati Pasangkayu-Wawako Tangsel Rakor dengan DJSN

Jum'at, 28 September 2018 - 08:41 WIB
Bahas BPJS, Bupati Pasangkayu-Wawako Tangsel Rakor dengan DJSN
Bahas BPJS, Bupati Pasangkayu-Wawako Tangsel Rakor dengan DJSN
A A A
JAKARTA - Bupati Pasangkayu Agus Ambo Djiwa dan Wakil Wali Kota Tangerang Selatan Banyamin Davnie Rapat Koordinasi dengan Dewan Jaminan Sosial (DJSN) membahas peran Pemda dalam Implementasi Porgram Jaminan Sosial Nasional.

Kehadiran Agus Ambo Djiwa sebagai Sekretaris Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi). Sedangkan kehadiran Benyamin Davnie mewakili Wali Kota Tangerang Airin Rachmi Diani yang juga menjabat Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) periode 2016-2020.

Bupati Pasangkayu Agus Ambo Djiwa mengatakan, tantangan dalam melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di daerah adalah data kepesertaan yang belum muktahir. Hal ini disebabkan sumber daya manusia (SDM) di dinassosial masing-masing daerah masih sangat minim dan terbatas.

Implementasi JKN juga terkendala minimnya sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) Puskesmas. Lalu masalah ketersediaan obatyang tidak memadai di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL), rumah sakit daerah (RSUD), dan stagnasi dana perimbangan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) jugaberimplikasi terhadap program JKN dan program pendukung lainnya.

“Tantangan yang kami hadapi adalah pemerataan tenaga kesehatan dan tenaga medis di daerah-daerah,khususnya daerah kepulauan dan perbatasan,” kata Agus saat berbicara dalam Rapat Koordinasi dengan Dewan Jaminan Sosial (DJSN) bertema “Peran Pemda dalam Implementasi Program Jaminan Sosial Nasional” di Jakarta, Kamis (27/9/2018).

Menurut Agus, pemerintah daerah juga memiliki masalah dalam pemenuhan fasilitas dan sumber daya manusia (SDM) proporsional pada implementasi JKN di daerah. Hal ini terkait dengan peningkatan alokasi dana perimbangan DAK dan DAU.

“Tantangan lainnya yakni, sosialisasi dan transparansi oleh BPJS Kesehatan. Juga portabilitas pada pengguna layanan JKN dilakukan tanpa merugikan FKTP,” kata Agus.

Untuk itu, kata Agus, Apkasi menyarankan segera dilakukan pemuktahiran data kepesertaan berkala, peningkatan fasilitas fisik dan tenaga medis. Meliputi dokter umum, dokter gigi, dan spesialis di daerah-daerah, khususnya daerah kepulauan, perbatasan dan terpencil.

“Perlu dilakukan komunikasi optimal antara BPJS Kesehatan dan faskes. Juga dilakukan peningkatan sosialisasi program JKN kepada masyarakat,” ujar Agus.

Menurut Agus, perlu ada regulasi implementasi portabilitas penggunaan layanan FKTP tanpa merugikan FKTP. Juga diperlukan anggaran operasional khusus dalam program JKN bagi FKTP di daerah kepulauan, perbatasan dan terpencil.

Sementara itu, Wakil Wali Kota Tangerang Selatan Banyamin Davnie mengatakan, persoalan pelaksanaan jaminan sosial di kota, khususnya dalam BPJS Kesehatan yakni, masih banyak penolakan pasien BPJS oleh pihak rumah sakit (RS) dan banyaknya kasus pasien BPJS dipaksa pulang dalam kondisi tidak layak pulang.

“Banyak juga kejadian pasien BPJS diminta bayaran untuk obat, administrasi dan darah. Pasien menanti berbulan-bulan untuk diambil tindakan. Rendahnya sosialisasi dan edukasi tentang regulasi JKN masih jadi kendala,” kata Benyamin.

Sedangkan dalam BPJS Ketenagakerjaan, kata Benyamin, masalah yang dihadapi pemerintah kota adalah rendahnya sosialisasi dan edukasi tentang regulasi Jaminan Kecelakaan (JKk)- Jaminan Kematian (Jkm), Jaminan Hari Tua (JHT) dan pensiun.

“Terutama JKK-JKm dan JHT untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), peserta tidak mengetahui perhitungan imbal hasil JHT tiap tahun. Relatif sulit mendapatkan pelayanan penyakit akibat kerja (PAK) dan kinerja investasi dana pekerja di BPJS Ketenagakerjaan yang tidak transparan,” kata Benyamin.

Bahkan Benyamin mengungkapkan contoh masalah yang pernah dihadapi Pemerintah Kota Mojokerto. Yakni ketika klaim BPJS Ketenagakerjaan, terjadi perselisihan Jaminan kesehatan dan pada saat perusahaan tidak mau mengeluarkan referensi kerja maka klaim tidak bisa atau akan sulit cair.

Sebab dalam peraturan BPJS Ketenagakerjaan disebutkan bahwa kalau ada klaim harus menyertakan surat referensi kerja dan jika perusahaan tutup harus menyertakan surat pernyataan penutupan dari perusahaan. Padahal kadang perusahaan tidak mau mengeluarkan referensi kerja karena jengkel dengan pekerjanya, atau ketika perusahaan tutup, pengusahanya sudah kabur.

“Kami mengusukan agar jika perusahaan tidak mau mengeluarkan referensi kerja atau tidak mau memberikan keterangan penutupan perusahaan maka pemerintah kota atau daerah melalui mediator hubungan industrial. Dalam hal ini, selaku wakil masalah ketenagakerjaan, pemerintah dapat mengeluarkan surat keterangan yang dianggap sama dengan referensi kerja atau surat keterangan penutupan sehingga klaim pekerja dapat dicairkan dan pekerja tidak dirugikan,” urai Benyamin.

Sedangkan, Komisioner DJSN Zainal Abidin mengakui implementasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di daerah masih menghadapi banyak kendala. Untuk itu diperlukan sebuah terobosan untuk mengatasi masalah tersebut.

“Misalnya metode sistem kapitasi dalam pembayaran jasa dokter kurang pas diterapkan di daerah terdepan, terluar dan tertinggal kurang pas. Bila pasiennya tidak ada maka dokter tidak mendapatkan honor. Akibatnya adalah tidak ada dokter yang mau bertugas di daerah 3 T. Saya menyarankan agar di daerah 3 T diterapkan kebijakan pembayaran honor dokter secara flat dan fixed. Jadi ada atau tidak ada pasien maka dokter mendapatkan honornya yang memadai,” pungkas Zainal.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3156 seconds (0.1#10.140)