Dihajar Jepang, Penyiar Proklamasi Itu Pincang Selamanya

Jum'at, 14 Agustus 2020 - 05:01 WIB
loading...
Dihajar Jepang, Penyiar Proklamasi Itu Pincang Selamanya
Naskah Proklamasi Kemerdekaan dibaca oleh Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta pada Jumat pagi tanggal 17 Agustus 1945. Malam pukul 19.00, Moehammad Joesoef Ronodipoero menyiarkannya lewat radio milik Jepang.
A A A
ADAcerita lain di balik kegembiraan rakyat Indonesia di hari kemerdekaan pada Jumat, 17 Agustus tahun 1945 itu. Usai pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta (Tugu Proklamasi, sekarang), seorang penyiar yang bekerja di kantor berita radio milik pemerintah Jepang, bertaruh nyawa. Nama penyiar itu adalah Joesoef Ronodipoero.

Pada hari bersejarah itu, lelaki bernama lengkap Moehammad Joesoef Ronodipoero, sejak pagi sudah berada di dalam kantor radio bernama Hoso Kyoku. Pagi itu, dia tidak mengetahui apa yang terjadi di Jakarta, khususnya lagi terkait pembacaan atau pengumuman hari kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta. Joesoef hanya mengetahui dan merasakan ada situasi berbeda di kantor radio yang dikendali pemerintah Dai Nipon itu.

Bedanya, hari itu kantor dijaga ketat oleh aparat polisi Jepang. Tamu yang datang diawasi ketat, tidak seperti sebelumnya. Paling dirasa aneh, para panyiar -termasuk Joesoef- yang ada di dalam kantor dilarang keluar kantor. Dengan ini, Jepang ingin agar berita tentang Proklamasi Kemerdekaan tidak diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Pun juga, warga dunia tidak mengetahuinya.

Tapi apa yang terjadi? Atas berkat rahmat Allah, niat kuat para pemuda untuk menyampaikan kabar gembira itu lolos ke khalayak publik segenap bangsa khususnya dan dunia umumnya lewat suara Joesoef dari stasiun Hoso Kyoku yang dijaga ketat. (Baca: Cinta Inggit Garnasih Antarkan Indonesia ke Gerbang Kemerdekaan)

Adalah Adam Malik, pemimpin gerakan pemuda di Jakarta, yang berinisiatif untuk menyampaikan teks proklamsi agar dibacakan di stasiun milik kompeni Jepang. Pada hari menjelang siang, kala itu, Adam Malik meminta Syahruddin, yang juga jurnalis radio agar menyerahkan kertas berisi teks proklamasi itu kepada Joesoef. Kehadiran Syahruddin tentu membuat Joesoef sedikit kaget mengingat penjagaan ketat yang diterapkan polisi militer Dai Nipon.

Namun, lolosnya kertas rahasia berisi teks proklamasi itu ke saku Joesoef tidak serta-merta langsung bisa disiarkan. Usai menerima kertas itu, Joesoef dalam pergulatan. Satu sisi dia harus membacakan naskah itu untuk seluruh rakyat Indonesia dan warga dunia bahwa Indonesia sudah merdeka. Sisi lain, dia dalam pengawasan ketat di ruang kerja yang juga ada penyiar Jepang serta serdadu yang selalu melotot perilaku penyiar Tanah Air di saat-saat genting itu. Joesoef benar-benar ada dalam tegangan antara peluang dan tantangan.

Dalam situasi itu dia mencari cara bersiasat. Dalam pikirannya, dia teringat sebuah ruang kosong di kantor tersebut yang tidak digunakan. Ruang itu pernah dipakai sebagai studio untuk menyiarkan berita-berita luar negeri. Joesoef dan penyiar Indonesia lainnya menyelinap ke ruang itu untuk mengeceknya. Sayangnya, ruangan itu benar-benar kosong. Sudah tidak ada sambungan pemancar yang bisa mengudarakan pesan teks proklamasi. Joesoef tak menyerah. Ia dengan sigap menyambungkan pemancar siaran dari studio lain ke ruang kosong itu. Setelah itu beres, dia tinggal menunggu waktu yang pas untuk mengudara.

Tepat pukul 19.00 WIB, Joesoef sudah berada di ruang darurat tersebut dan siap mengudara. Penuh keyakinan dan tanpa ada rasa ragu, Jumat malam itu suara Joesoef menggema di seantero Tanah Air. Dia juga membacakan teks itu dalam bahasa Inggris. Radio-radio negara-negara lain pun gayung bersambut menggemakan pesan teks proklamasi ke warga dunia bahwa Indonesia sudah merdeka.

Jepang yang terjepit dalam perang, gelagapan atas siaran itu. Dua jam setelah siaran itu, tepatnya pukul 21.00 WIB, Joesoef dan temannya Bachtiar Lubis ditangkap polisi Dai Nippon. Keduanya dihajar babak belur oleh militer Jepang. Tubuh mereka bersimbah darah. Kerasnya siksaan Jepang membuat anggota tubuh, kaki Joesoef cacat hingga pincang selamanya.

Tidak hanya diinterogasi dan disiksa, Joesoef dan Bachtiar nyaris regang nyawa. Kala itu, seorang polisi militer Jepang sudah mencabut pedangnya dan siap ditebaskan ke leher dua lelaki pemberani itu. Untung saja, atas berkat rahmat Allah, pedang itu urung diayun setelah seorang perwira Jepang menghardik serdadu pemilik pedang itu. Perwira ini mengenal baik kedua penyiar Indonesia tersebut.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1228 seconds (0.1#10.140)