Hukum Mati Pelaku Seksual Anak

Selasa, 24 Juli 2018 - 12:04 WIB
Hukum Mati Pelaku Seksual Anak
Hukum Mati Pelaku Seksual Anak
A A A
PASURUAN - Kasus kekerasan seksual terhadap anak masih marak. Celakanya kasus ini terjadi hampir di semua daerah. Kasus terbaru di Kecamatan Prajuritkulon, Kota Mojokerto, Sabtu (14/7). Seorang siswi SDN ditemukan tewas di sungai di kawasan Balongcangkring. Dugaan kuat, gadis cantik berusia 11 tahun itu dibunuh sebelum diperkosa. Sayangnya, kasus ini belum terungkap. Polisi masih menyelidiki termasuk memintai keterangan sejumlah saksi. Ancaman kejahatan seksual ini menjadi perhatian khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise dalam acara puncak peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2018 di Kebun Raya Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Yohana menegaskan, tidak ada toleransi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, apalagi sampai menyebabkan kematian atau penularan penyakit seksual kepada anak. “Ne gara melindungi anakanak. Mereka masa depan bangsa kita. Hukumnya sudah jelas, yakni hukum mati, kebiri, dan pasang chip bagi pelaku kejahatan seksual pada anak yang menyebabkan kematian dan penularan penyakit seksual,” ujarnya.

Yohana mengatakan, anakanak Indonesia harus dilindungi karena sudah dijamin oleh undang-undang. Perindungan anak-anak harus di mulai dari keluarga yang merupakan unit terkecil dan guru pertama bagi anak-anak. “Anakanak harus mampu memanfaatkan masa emasnya.

Mari secara bersama-sama melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran anak,” ujarnya. Sebelumnya hingga Maret 2018, Kementerian PPPA menerima sekitar 1.900 laporan dan kekerasan seksual mendominasi. Kasus pemerkosaan juga tinggi. Hasil survei Komnas Perempuan secara daring dari 25.213 responden, sekitar 6,5% atau 1.636 orang mengatakan mereka pernah diperkosa.

Dari jumlah itu, 93% tidak melaporkan kejahatan tersebut karena takut. Selain kekerasan seksual, pernikahan anak di bawah umur juga membutuhkan upa - ya pencegahan. Salah satunya dengan melakukan sinkronisasi dua undang-undang, yakni UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No. 35/2014 perubahan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Sinkronisasi dua UU ini sangat dibutuhkan, mengingat ada dua pemaknaan saling bertentangan. Pasal 1 UU No. 35/2014 menyatakan pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun atau masih di dalam kandungan. Sementara pada Pasal 7 UU No. 1/1974, mempelai perempuan yang diperbolehkan menikah di usia 16 tahun. “Dibutuhkan kajian ilmiah dari kalangan akademisi dan masyarakat sehingga kami memiliki referensi jelas untuk melakukan gerakan besar di seluruh Indonesia sebagai upaya menghentikan pernikahan anak,” katanya.

Menurut dia, ada beberapa provinsi yang angka pernikahan anak tergolong tinggi. Salah satunya di Sulawesi Barat. Namun, saat ini sudah ada upaya dari gubernur untuk melakukan penurunan pernikahan anak.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo menegaskan pentingnya peran keluarga dalam melindungi dan mendidik anak-anak sebagai generasi masa depan bangsa. “Saya yakin mereka dilahirkan dan dibentuk oleh orang tua luar biasa. Keluarga merupakan pendidik pertama dan utama untuk menghasilkan anak-anak yang hebat dan berkualitas, karena mereka merupakan mata rantai gene rasi emas pada 2045 mendatang,” ujarnya.

Perwakilan anak peserta Forum Anak Nasional (FAN) 2018, Elmi Septiana, 16, asal Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, NTB, bersama anggota forum anak di desanya telah mengusulkan diterbitkannya peraturan desa (perdes) perlindungan anak. Inisiatif perdes ini karena banyak pernikahan anak dan anak-anak TKI kurang mendapatkan perhatian dari orang tua.

“Sejak Desember 2017, kami melakukan proses pembuatan perdes bersama 51 anggota forum anak di desa kami. Ha rapan nya bisa segera disahkan agar anak-anak terlindungi dengan aturan desa tersebut,” ujarnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5196 seconds (0.1#10.140)