Nias Ingin Mendunia lewat Kekayaan Budaya

Senin, 23 Juli 2018 - 12:48 WIB
Nias Ingin Mendunia lewat Kekayaan Budaya
Nias Ingin Mendunia lewat Kekayaan Budaya
A A A
Dikenal sebagai surganya para peselancar dunia, Kepulauan Nias atau kadang disebut Tano Niha, terus berbenah. Tahun ini, mereka tak ingin sekadar dikenal sebagai The Surfer Paradise, melainkan juga salah satu pulau dengan wisata budaya paling eksotis di Indonesia. Seperti apa? Para peselancar memang berupaya merahasiakan lokasilokasi surfing yang mereka anggap terbaik. Karena semakin populer sebuah tempat, semakin ramai orang datang. Maka, semakin tidak nyaman pula para surfer berebut ombak. Itulah mengapa sejak bertahuntahun lalu di kalangan para peselancar dunia keberadaan Nias sebagai ”The Surfer Paradise” terus berupaya dirahasiakan. Tapi, itu dulu.

Sekarang, pemerintah kabupaten dan kota di Kepulauan Nias justru membuka tangan selebar mungkin kepada para wisatawan, baik domestik maupun manca negara untuk mengapresiasi Nias dalam dua hal, budaya dan alamnya. Di sejumlah sudut di kota Gunungsitoli, Kepulauan Nias, misalnya, Anda akan menemukan tulisan ”Ya’ahowu” dibentangkan besar-besar di banyak spanduk. Dalam Bahasa Nias, sapaan ”Ya’ahowu” diartikan sebagai ”selamat datang” atau ”Tuhan memberkati Anda”. Ya’ahowu ini dijadikan nama festival budaya yang berpusat di Gunungsitoli pada 16-20 November 2018 mendatang yang ditargetkan dapat mendatangkan sebanyak 50.000 pengunjung.

Festival tersebut sekaligus menegaskan bahwa Nias sebagai salah satu suku budaya megalitikum tertua di Indonesia itu telah membuka diri lebar-lebar. Walau berlangsungnya masih lima bulan lagi, tapi persiapan Ya’ahowu sudah mulai dilakukan. Hal itu dirasakan Tim Teras Indonesia KORAN SINDO ketika berkunjung ke Taman Ya’ahowu, di pusat Kota Gunung sitoli, Kepulauan Nias. Taman yang terletak di tepi pantai itu terlihat cukup bersih dan meriah, dengan lapangan cukup luas, rumah panggung, serta bola-bola bercat warna-warni untuk ber-selfie. Wajar jika Kota Gunungsitoli berbenah, sebab Festival Pesta Ya’ahowu akan beratraksi di Taman Ya’ahowu.

Di meriahkan oleh sejumlah atraksi budaya dari sejumlah suku-suku yang ada di Indonesia. Seperti Suku Batak, Suku Minang, Suku Aceh hingga etnis Tionghoa melalui atraksi Barongsainya. Tapi, bagaimana persiapan kawasan wisata budaya lainnya seperti Lompat Batu atau Hombo Batu/Fahombo? Tim Teras Indonesia Koran SINDO pun mendatangi langsung Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan yang atraksi budayanya terkenal hingga ke dunia internasional itu. Bawomataluo berarti bukit matahari. ”Warga dan wisatawan dapat melihat keindahan matahari terbit dan tenggelam di desa ini,” ujar Metodius, pemuda asli Bawomataluo. Fahombo sendiri merupakan tradisi yang muncul dari kebiasaan berperang antar-desa.

Masing-masing desa membentengi wilayahnya dengan batu atau bambu setinggi dua meter. Tradisi tersebut lahir sebagai persiapan sebelum berperang. Walau diwariskan turun temurun, tidak semua pemuda Nias dapat melakukan Fahombo. Latihannya saja butuh waktu 5 tahun. Menurut Metodius, dari 12 orang pelompat batu, hanya tersisa 6 orang. Sisanya merantau keluar Nias. Proses Fahombo sendiri berlangsung cepat, sekaligus mengejutkan. Mengejutkan karena sangat sulit dipercaya para pemuda yang bahkan tidak terlalu tinggi itu bisa melompati batu setinggi 2 meter dengan ketebalan 40 cm. Sulit untuk tidak kagum dan bertepuk tangan takjub melihat atraksi tersebut. Tak hanya Lompat Batu, sejak 2016, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) telah menyetujui desa Bawomataluo menjadi Cagar Budaya Nasional.

Sekarang pun sedang diupayakan sebagai Warisan Dunia di UNESCO. Di kiri dan kanan jalan desa yang lebar ada Omo Hada atau rumah adat Nias Selatan dengan bentuk yang unik (fondasi dan atapnya persegi) dan konon berusia ratusan tahun. Kepala Desa Bawomataluo Hans Martin Wau menyebut bahwa draft peraturan desa akan segera disahkan. ”Intinya, akan mengatur wisatawan dan masyarakat desa agar sama-sama nyaman dan aman,” ujar Hans. ”Seluruh Nias berbenah, kami juga ikut berbenah. Salah satunya lewat peraturan ini,” ungkapnya. Bagaimana dengan surfing?

Tentu saja, Nias tidak akan melupakan ombak yang disebut nomor dua terbaik setelah Hawaii dan membuat pulau tersebut dikenal hingga manca negara. Perlombaan surfing tingkat dunia World Surfing League (WSL) Nias 2018 akan diikuti 150 Surfer dari 20 negara siap dihelat pada 24-28 Agustus 2018. Menurut Kadis Kebudayaan Pariwisata dan Kepemudaan Olahraga Kab Nias Selatan Anggreani Dachi, event tingkat dunia yang setara dengan Krui Pro dan Bali Pro akan di helat di Pantai Sorake, Kabupaten Nias Selatan. Di bulan Juni-Juli Pantai Sorake sangat ramai dikunjungi turis asing untuk berselancar. Ketinggian ombaknya bisa mencapai 10-12 meter. Para surfer menyebutnya The Point. Karena ombaknya memecah ke kanan (right handed), dan menggulung di atas batu karang.

Di sekitar pantai sudah terdapat 136 penginapan atau homestay untuk para surfer dengan harga mulai Rp300.000 per malam. Kejuaraan Surfing Internasional seperti ini, seandainya dapat dihelat setiap tahun, tentu akan membawa manfaat ekonomi yang besar bagi warga lokal. Yang jelas, kesuksesan Pesta Ya’ahowu dan perhelatan ajang internasional seperti WSL 2018 tentu saja tergantung dari peran masyarakatnya. Mulai peran mereka menjaga kebersihan di setiap lokasi-lokasi wisata, keramahtamahan, juga memberi yang terbaik kepada pengunjung.

Sekarang sudah saatnya kekayaan budaya dan keberagaman suku Nias, termasuk potensi wisata seperti Museum Pusaka Nias, Lompat Batu, lokasi surfing Lagundri, Pulau Asu, kampung tradisional di Tumori, Danau Megoto di Alasa bisa memberikan dampak ekonomi luas dan dapat dirasakan langsung oleh penduduk lokal. Meski, masih banyak pula pekerjaan rumah yang harus dilakukan.

Misalnya soal pembangunan infrastruktur dan akses yang mendukung, yang memudahkan wisatawan menjangkau kepulauan yang berada di ujung Pulau Sumatera itu. Salah satunya, menjadikan Bandara Binaka sebagai bandara internasional yang sudah memiliki Imigrasi. Termasuk juga perbaikan infrastruktur bandara, seperti memperpanjang landasan pacu dari 1.800 meter menjadi 2.200-2.500 meter agar bisa didarati didarati pesawat berbadan besar Boeing 737 500. Pada 2017, jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Nias mencapai 40.000 wisatawan.

Angka tersebut sangat kecil jika diukur dengan pulau Bali yang mencapai 4,92 juta orang di tahun yang sama. Tapi, optimisme tetap dipupuk. Pada 2019, target kunjungan wisatawan pada di Nias mencapai 100.000 orang. Bahkan, Menteri Pariwisata Arief Yahya berani menargetkan 1 juta wisatawan pada tahun 2024 dengan devisa menca pai Rp1,1 triliun.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.1038 seconds (0.1#10.140)