Rumah Sakit Kardinah: Bangunan Bersejarah Saksi Perjuangan Adik RA Kartini

Minggu, 22 April 2018 - 05:00 WIB
Rumah Sakit Kardinah: Bangunan Bersejarah Saksi Perjuangan Adik RA Kartini
Rumah Sakit Kardinah: Bangunan Bersejarah Saksi Perjuangan Adik RA Kartini
A A A
Rumah Sakit Kardinah yang berada di Jalan KS Tubun No 4, Kejambon, Tegal Timur, Kota Tegal, Jawa Tengah, mempunyai nilai sejarah tersendiri. Bangunan ini seakan menjadi monumen hidup perjuangan adik kandung Raden Ajeng (RA) Kartini, yaitu Raden Ajeng (RA) Kardinah.

RA Kardinah tidak kalah gigih usahanya dalam meningkatkan derajat kaum wanita. Sejak kecil dia bersama saudara kandungnya, Kartini dan Roekmini, mengabdikan diri demi kemajuan wanita dan bangsa.

Pada 1902 Kardinah menikah dengan RM Reksoharjono dan mengikuti suaminya ke Pemalang dan Tegal. Saat suaminya menjadi patih di Pemalang, di lingkungan Kepatihan, Kardinah pun mengajari anak-anak belajar menulis dan menjahit. Cara mendidiknya menarik perhatian kaum priayi karena itu banyak di antara mereka menitipkan anak-anaknya.

Setelah enam tahun di Pemalang, pada 1908 suami Kardinah diangkat menjadi Bupati Tegal bergelar Reksonegoro X. Di Tegal, Kardinah semakin bergairah untuk mencerdaskan perempuan pribumi.

Dia membangun sekolah kepandaian putri bagi gadis pribumi bernama Wismo Pranowo. Selain mengelola sekolah itu, dia mengajarkan anak didiknya membatik dan memasak.

Bukan itu saja, Kardinah pun merintis pembangunan rumah sakit untuk membantu masyarakat agar mendapat pengobatan yang baik. Apalagi sejak kecil Kardinah bercita-cita membangun rumah sakit untuk umum. Cita-cita itu berawal dari seringnya dia melihat ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan.

Apabila sakit, dia berbaring di tempat tidur dengan memakai selimut dan obatnya dari dokter. Tetapi bila pelayan yang sakit, hanya berbaring di balai-balai berselimut tipis dan obatnya seadanya.

Dalam pikiran Kardinah, meskipun kecil, harus sebuah rumah sakit umum. Lalu dia pergi ke Pekalongan menemui Residen Pekalongan Schilling, untuk membicarakan rencana pembangunan rumah sakit tersebut.

Residen menyatakan sangat setuju dengan gagasan Kardinah dan menyanggupi akan memberi bantuan, dengan catatan rumah sakit itu harus diberi nama Kardinah. Akhirnya pada 1927 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan rumah sakit oleh Soematri Sosrohadikoesoemo, adik Kardinah.

Saat itu Kardinah sakit dan harus dirawat di Semarang, sehingga rancangan dan pelaksanaan pembangunan rumah sakit itu diserahkan kepada temannya yang berkebangsaan Belanda, B Hommes. Rumah sakit itu ternyata dibangun dari uang hasil penjualan buku dan kompensasi sekolah kepandaian putri Wismo Pranomo, yang diambil alih Pemerintah Belanda.

Waktu itu Kardinah berhasil mengumpulkan uang 16.000 gulden (F 16.000), jumlah yang sangat besar pada waktu itu. Buku karya Kardinah yang dijual pada Pemerintah Belanda adalah buku penuntun memasak dan membatik.

Semula Kardinah berharap ada subsidi dari pemerintah. Namun subsidi yang dia tunggu untuk membantu pembiayaan sekolah yang dia bangun, tidak kunjung datang. Keadaan ini menghidupkan kembali semangat untuk mewujudkan apa yang belum terlaksana dan apa yang berguna untuk bangsa.

Akhirnya rumah sakit yang diidam-idamkan Kardinah berdiri. Rumah sakit baru yang disediakan kardinah untuk masyarakat umum ini diberi nama Kardinah Ziekenhuis. Dari hasil penjualan buku-bukunya itu, Kardinah masih dapat mendirikan sebuah rumah penampungan bagi orang-orang miskin, tidak jauh dari rumah sakit.

Atas kerja sosialnya, Kerajaan Belanda memberi bintang kepada Kardinah, yakni: Ridder van Oranje Nassau. Suaminya, Haryono yang menjadi Bupati Tegal sampai 1930, juga mendapat bintang Ridder in de Orde van de Nederlandsche Leeuw.

Pada pertengahan Oktober 1945, Kardinah berada di Tegal lagi, bersama anak-mantu dan juga cucunya. Kala itu revolusi Indonesia mulai bergolak dan revolusi sosial mengikuti. Peristiwa tombreng-tombreng yang menjadi rangkaian dari pemberontakan Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pekalongan) meninggalkan pengalaman traumatis bagi Kardinah.

Para gerombolan yang tidak menemukan Bupati Tegal Sunarjo (menantu Kardinah) akhirnya menculik Kardinah dan mengaraknya. Kardinah yang sudah berusia 64 tahun diberi pakaian karung goni dan rencananya akan dibunuh.

Namun, saat diarak di depan Rumah Sakit Tegal, Kardinah pura-pura sakit dan oleh beberapa orang yang mengaraknya dimasukkan ke rumah sakit dan dirawat. Pada malam harinya ada usaha penyelamatan oleh orang-orang yang loyal atas jasa Kardinah yang besar bagi Tegal.

Jejak Kardinah sejak peristiwa itu seperti tenggelam ditelan bumi, tidak diketahui lagi keberadaanya. Yono Daryono, Budayawan Tegal, dalam infotegal.com menuliskan keberadaan Kardinah baru terendus di Salatiga setelah hampir 24 tahun sejak peristiwa tersebut. Sampai pada saat Sumiati Sarjoe, istri Wali Kota Tegal menaruh perhatian besar untuk menyingkap keberadaaan Kardinah.

Setelah dibujuk terus oleh Sumiati Sarjoe akhirnya Kardinah mau ke Tegal pada 1969. Pada tahun itu juga pemerintah mengakui jasa-jasa besar Kardinah dengan menganugerahkan Lencana Kebaktian Sosial Republik Indonesia. Penyematan anugerah dilakukan Gubernur Jawa Tengah (waktu itu) Mayjen Moenadi.

Pada 1971 Kardinah tutup usia di Salatiga. Atas inisiatif warga Tegal, jenazah Kardinah dimakamkan di Tegal. Makam Kardinah berada di Tegalarum, Tegal.

Diolah dari berbagai sumber:
www.rsukardinah.net
https://infotegal.com
http://www.kotasalatiga.com
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8590 seconds (0.1#10.140)