5 Fakta Gempa Sumedang, Bermagnitudo Kecil Tapi Merusak

Jum'at, 12 Januari 2024 - 06:21 WIB
loading...
5 Fakta Gempa Sumedang,...
BMKG mengungkapkan lima fakta terbaru mengenai gempa merusak dengan kekuatan M4,8 di Sumedang, Jawa Barat. Foto/BMKG
A A A
SUMEDANG - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan lima fakta terbaru mengenai gempa merusak dengan kekuatan M4,8 di Sumedang, Jawa Barat, yang terjadi pada malam pergantian tahun baru, 31 Desember 2023 lalu.

1. Gempa Sumedang merupakan jenis gempa ‘kerak dangkal’ (shallow crustal earthquake).

Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan gempa semacam ini dipicu aktivitas sesar aktif, yang seluruh pelepasan energinya terkonsentrasi pada wilayah lokal. “Meskipun magnitudonya relatif kecil 4,8, Gempa Sumedang dapat merusak lebih dari 149 bangunan rumah,” ungkap Daryono dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (12/1/2024).

Daryono pun menambahkan selain kedalaman gempanya yang dangkal, episenter gempa kerak dangkal yang terletak di zona tanah lunak dan tebal akan memicu resonansi yang berujung amplifikasi atau penguatan gelombang gempa sehingga gempa kerak dangkal dikenal sangat merusak dan mematikan.



Beberapa contoh gempa kerak dangkal adalah Gempa Cianjur 2022 (lebih dari 600 orang Meninggal Dunia-MD), Gempa Yogyakarta 2006 (lebih dari 6000 orang MD), Gempa Turki 2023 (lebih dari 17,000 orang MD), Gempa Sichuan China 2008 (lebih dari 70,000 orang MD).

“Gempa Sumedang memberi pelajaran akan pentingnya mitigasi konkrit dengan mewujudkan bangunan dengan struktur kuat dan Rencana Tata Ruang Wilayah yang aman, berbasis risiko gempabumi,” ujarnya.

2. Gempa Sumedang sebenarnya terjadi di zona kegempaan rendah (low seismicity).

Daryono menjelaskan dalam Peta Seismisitas Jawa Barat, tampak bahwa Kota Sumedang tidak terdapat kluster seismisitas mencolok seperti lazimnya di jalur sesar aktif. Gempa Sumedang mirip Gempa Kalaotoa di Laut Flores M7,4 (2021), Gempa Talamau 2022, dan Gempa Probolinggo M4,1 (2022) yang juga terjadi di zona seismisitas rendah.

“Gempa Sumedang memberi pesan akan pentingnya mitigasi gempabumi meski di wilayah dengan aktivitas kegempaan rendah,” kata Daryono.

3. Gempa Sumedang memiliki magnitudo kecil tetapi merusak.

BMKG mencatat sejumlah gempa kerak dangkal dengan magnitudo kecil yang terbukti merusak seperti Gempa Madiun 4,2 (2015), Gempa Pangalengan 4,2 (2016), Gempa Garut 3,7 (2017), Gempa Banjarnegara 4,4 (2018), Gempa Lebak 4,4 (2018), dan Gempa Kuningan-Brebes 4,2 (2020).

“Gempa Sumedang memberi pesan kepada kita agar tidak mengabaikan setiap gempa kerak dangkal, meskipun magnitudonya kecil,” ingat Daryono.

4. Gempa Sumedang diduga merupakan perulangan gempa pada 14 Agustus 1955.

Daryono mengingatkan agar tidak melupakan sejarah bahwa gempa ini diduga perulangan gempa tahun 1955. “Jangan melupakan sejarah, dalam seismologi kita mengenal konsep ‘return period’ atau periode ulang gempa, bahwa gempa yang pernah terjadi di suatu tempat, satu saat akan terjadi lagi.”

Gempa Sumedang, kata Daryono, memberi pesan agar kita mempelajari sejarah gempa masa lalu di daerah kita masing-masing, bisa jadi satu saat gempa akan terjadi lagi menghampiri tempat yang kita anggap aman karena ketidaktahuan akan sejarah gempa merusak masa lalu.

“Periode ulang gempa memberi pesan kepada kita akan pentingnya kesiapsiagaan (preparedness) terhadap bencana gempabumi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang,” ujarnya.

5. Gempa Sumedang dipicu aktivitas sesar aktif yang belum terpetakan.

Daryono menjelaskan dalam hal ini gempa Sumedang mirip Gempa Solok M5,3 (2019), Gempa Ambon M6,5 (2019), Gempa Kalaotoa Laut Flores M7,4 (2021), Gempa Ampana Sulawesi Tengah M6,5 (2021), dan Gempa Cianjur M5,6 (2022).

“Gempa Sumedang menjadi ‘human interest’ terkait nama sesar pembangkit gempa. Data hiposenter gempa BMKG terelokasi menunjukkan kluster seismisitas cenderung berarah Utara-Selatan, melintasi Kota Sumedang,” katanya.

Lebih lanjut, Daryono mengatakan ini mirip sejumlah kota yang dilalui jalur sesar aktif seperti Palu (Sesar Palu-Koro), Sorong (Sesar Sorong), Aceh (Sesar Aceh), Gorontalo (Sesar Gorontalo), Semarang (Sesar Semarang), Lembang (Sesar Lembang) dll.

“Dimana nama sesar aktif merujuk nama tempat yang berisiko sehingga akan memberikan muatan pesan kesiapsiagaan dan edukasi mitigasi gempabumi bagi masyarakat setempat,” pungkasnya.
(hri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3024 seconds (0.1#10.140)