Istikhlaf: Kekuasaan Politik dan Tugas yang Dibebankan Allah kepada Manusia

Selasa, 09 Januari 2024 - 08:16 WIB
loading...
Istikhlaf: Kekuasaan Politik dan Tugas yang Dibebankan Allah kepada Manusia
Wahai Daud Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi. Ilustrasi: Ist
A A A
Muhammad Quraish Shihab mengatakan paling tidak, dari dua istilah Al-Quran kita dapat menjumpai uraian tentang kekuasaan politik, serta tugas yang dibebankan Allah kepada manusia. Kedua istilah tersebut adalah istikhlaf dan isti'mar.

Dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007), Quraish menjelaskan tentang istikhlaf dengan menyebut surat Al-Baqarah (52) : 30 yang menyatakan: "Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat di bumi khalifah."

Menurutnya, kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dalam Al-Quran sebanyak dua kali, yakni ayat di atas, dan surat Shad (38) : 26: "Wahai Daud Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi."

Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam khulafa' dan khalaif. Masing-masing mempunyai makna sesuai dengan konteksnya.

Seperti terbaca di atas, kata Quraish Shihab, ayat-ayat yang berbicara tentang pengangkatan khalifah dalam Al-Quran ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud .



Khalifah pertama adalah manusia pertama (Adam) dan ketika itu belum ada masyarakat manusia, berbeda dengan keadaan pada masa Nabi Daud. Beliau menjadi khalifah setelah berhasil membunuh Jalut. Al-Quran dalam hal ini menginformasikan bahwa, "Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan atas kerajaan, dan hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya ( QS Al-Baqarah [2] : 251].

Ayat ini menunjukkan bahwa Daud memperoleh kekuasann tertentu dalam mengelola satu wilayah, dan dengan demikian kata khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud adalah kekhalifahan dalam arti kekuasaan mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan politik.

Hal ini didukung pula oleh surat Al-Baqarah (2): 251 di atas yang menjelaskan bahwa Nabi Daud a.s. dianugerahi hikmah yang maknanya telah dijelaskan sebelum ini.

Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak khulafa'. Perhatikan konteks ayat-ayat surat Al-A'raf (7) : 69 dan 74, serta Al-Naml (27) : 62.



Menarik juga untuk dibandingkan bahwa ketika Allah menguraikan pengangkatan Adam sebagai khalifah, digunakan bentuk tunggal dalam menunjuk pengangkatan itu: "Sesungguhnya Aku akan mengangkat di bumi khalifah" (QS Al-Baqarah [2]: 30).

Sedangkan ketika berbicara tentang pengangkatan Daud sebagai khalifah digunakannya bentuk plural (jamak):"Sesungguhnya Kami telah mengangkat engkau khalifah."

Pengggunaan bentuk tunggal pada Adam cukup beralasan karena ketika itu memang belum ada masyarakat manusia, apalagi ia baru dalam bentuk ide. Perhatikan redaksinya yang menyatakan, "Aku akan". Sedangkan pada Daud, digunakan bentuk jamak serta past tense (kata kerja masa lampau), "Kami telah" untuk mengisyaratkan adanya keterlibatan selain dari Tuhan (dalam hal ini restu masyarakatnya) dalam pengangkatan tersebut.

Di sisi lain dapat dikatakan bahwa mengangkat seseorang sebagai khalifah boleh-boleh saja dilakukan oleh satu oknum, selama itu masih dalam bentuk ide. Tetapi kalau akan diwujudkan di alam nyata maka hendaknya ia dilakukan oieh orang banyak atau masyarakat.

Ayat Sesungguhnya Aku akan mengangkat khalifah di bumi (QS Al-Baqarah 12]: 31) menginformasikan juga unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau wilayah, (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta (3) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah SWT).

Kekhalifahan itu baru dinilai baik apabila sang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3434 seconds (0.1#10.140)