Tragedi Saidjah-Adinda: Potret Pilu Dua Remaja Korban Kolonialisme

Senin, 08 Januari 2018 - 05:00 WIB
Tragedi Saidjah-Adinda: Potret Pilu Dua Remaja Korban Kolonialisme
Tragedi Saidjah-Adinda: Potret Pilu Dua Remaja Korban Kolonialisme
A A A
“Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” John F Kennedy, Presiden Ke-35 Amerika Serikat.

Jarum jam menunjukkan pukul 14.08 WIB ketika Commuter Line yang membawa kami tiba di Stasiun Rangkasbitung. Bangunan stasiun yang tua dan berhadapan langsung dengan pasar itu, begitu riuh rendah dan disesaki ratusan penumpang. Saya dan kedua anak saya langsung menuju Alun-Alun Rangkasbitung dengan naik angkutan kota, tujuan utama mengunjungi Museum Multatuli dan Perpustakaan Saidjah Adinda. Sekitar 15 menit kami pun tiba di depan gedung Perpustakaan Saidjah Adinda, sebelah timur alun-alun.

Pada hari itu Rabu 3 Januari 2018, suasana perpustakaan cukup tenang dan tampak beberapa pengunjung yang datang. Bangunan perpustakaan yang menyerupai Leuit (lumbung padi masyarakat adat Baduy) terlihat megah. Setelah berfoto di halaman gedung perpustakaan yang asri, kami pun menikmati berbagai buku bacaan yang tersaji. Kami tak sempat menjelajah Museum Multatuli yang berada tepat di sebelah Perpustakaan Saidjah Adinda, karena sedang ada pekerjaan perbaikan.

Padahal, kedua tempat ini saling terkait sehingga menarik dikunjungi. Museum Multatuli dulunya merupakan rumah Asisten Residen Lebak yang dibangun 1920. Sedangkan nama perpustakaan diambil dari nama dua tokoh sepasang remaja, Saidjah dan Adinda, dalam novel berjudul Max Havelaar yang ditulis Multatuli. Sebenarnya Multatuli merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker, mantan Asisten Residen Lebak.

Pemerintah Kabupaten Lebak pada Desember 2016 menetapkan kedua bangunan ini sebagai cagar budaya. Kedua bangunan ini seolah menjadi pengingat bahwa di Rangkasbitung ini pernah hadir seorang Asisten Residen Lebak, Eduard Douwes Dekker, yang berani mengkritik kebobrokan sistem tanam paksa pemerintah Kolonial Hindia Belanda karena menyengsarakan rakyat.

Ketika itu, Eduard Douwes Dekker berani secara terbuka menyampaikan kebobrokan sistem tanam paksa atau kerja rodi. Bahkan dia marah karena sistem itu melahirkan penindasan, korupsi, dan nepotisme, yang dipraktikan para pejabat saat itu. Sistem feodalisme pejabat pribumi dan kolonialisme penjajah Belanda, melahirkan kapitalisme yang menyengsarakan rakyat.

Sejak dilantik menjadi Asisten Residen Lebak Januari 1856 dan dihadapan residen, bupati, dan demang, dia sudah menyindir tentang kondisi rakyat Lebak yang miskin dan kelaparan. Padahal areal persawahan di Lebak sangat luas hingga bertebaran sampai ke puncak-puncak bukit. Bahkan baru sebulan menjabat, pada 24 Februari 1856 dia mengirim laporan pada Residen Serang bahwa bupati Lebak menyalahgunakan kekuasaannya dan dicurigai melakukan pemerasan.

Memang Eduard Douwes Dekker tak lama menjabat sebagai Asisten Residen Lebak. Pada 20 April 1856 dia mengundurkan diri karena tidak cocok dengan gaya kepemimpinan atasannya dan tidak menindaklanjuti laporannya. Dia kembali ke Belanda dan membawa semua manuskrip, mulai dari surat-surat dinas selama bertugas di Hindia Belanda sampai sejumlah naskah sandiwara. Kritik Eduard Douwes Dekker tak pernah surut dan tetap lantang.

Pada Januari 1858 dia tiba di Brussel, Belgia. Dari kamar losmen Au Prince Belge, selama satu bulan di musim gugur 1859 dia menulis novel berjudul Max Havelaar. Dalam novel satir yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda, dia menggunakan nama pena Multatuli. Dari bahasa Latin multa tuli berarti "banyak yang aku sudah derita"

Novel tersebut diterbitkan pada 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa sepengetahuannya. Namun, novel tersebut tetap menimbulkan kegemparan di Belanda dan Eropa. Pada 1868 novelnya terbit dalam bahasa Inggris dan pada 1875 terbit kembali edisi revisi. “Ya, aku mau dibaca!,” kata Multatuli.

Novel ini pun diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, Max Havelaar, pada 1976 dan disutradarai Fons Rademakers. Dalam film berdurasi 2 jam 40 menit ini tokoh Max Havelaar diperankan Peter Faber, sedangkan tokoh Saidjah (Herry Lantho) dan Adinda (Zulaeni). Beberapa aktris Indonesia lainnya, adalah Rima Melati dan Piet Burnama. Sayang, film ini relatif tidak populer di Indonesia.

Dalam novel ini, Multatuli menyisipkan kisah roman yang indah, namun juga mengharukan. Ada satu bab yang mengisahkan episode Saidjah dan Adinda, sepasang remaja anak keluarga petani dari Badur. Sejak kecil mereka bersahabat dan ketika beranjak dewasa keduanya saling mencintai serta berjanji untuk menikah.

Saidjah digambarkan seorang pemuda berikat kepala biru, bercelana pendek, dan telanjang dada. Saidjah pandai bermain suling dan rajin membantu orangtuanya membajak di sawah bersama kerbau kesayangannya yang diberi nama Si Pantang. Kerbaunya yang memiliki user-user (unyeng-unyeng) dua di bulu perutnya ini dianggap memiliki keistimewaan. Bahkan ketika Saidjah hendak diterkam macan, si Pantang yang menghadapi sehingga sang Macan mati dengan perut robek tertusuk tanduknya.

Malang, kerbau kesayangan Saidjah dirampas Demang Parangkujang untuk disetorkan kepada Bupati Lebak yang hendak menjamu saudaranya Bupati dari Cianjur. Ibunda Saidjah yang sangat sedih meninggal dunia dan ayahnya menjadi gila karena tidak bisa lagi membajak sawahnya.
Tragedi Saidjah-Adinda: Potret Pilu Dua Remaja Korban Kolonialisme

Saidjah pun memutuskan pergi ke Batavia (Jakarta) merantau bekerja dan mengumpulkan uang untuk membeli kerbau. Dia berharap sekembali ke Badur bisa membajak sawah orangtuanya lagi dan berjanji menikah dengan Adinda. Tragisnya, setelah tiga tahun merantau dan kembali ke Badur, Saidjah tak menemukan Adinda yang sudah pergi bersama keluarganya ke Lampung. Senasib dengan Saidjah, Adinda dan keluarganya meninggalkan Lebak karena tak ada lagi sawah yang bisa digarap dan tak sanggup membayar pajak yang tinggi.

Akhirnya Saidjah menyusul dan mencari Adinda. Ketika bertemu, Adinda sudah meninggal bersama keluarganya dibunuh oleh tentara Hindia Belanda. Saidjah yang berduka dan marah, mengamuk melawan tentara kompeni, namun dia juga mati setelah dadanya tertusuk bayonet.

Dalam novel ini disisipkan pula sejumlah puisi tentang Saidjah dan Adinda. Salah satu petikannya:
“Jika matahari kesasar jalan. Dan bulan lupa mana Timur mana Barat. Jika waktu itu belum juga datang Adinda. Maka turunlah malaikat dengan sayap kemilau. Ke atas bumi mencari apa yang tinggal. Maka mayatku terkapar di sini di bawah ketapang. Jiwaku alangkah berdukacita… Adinda!”

Novel Max Havelaar telah mempengaruhi sejumlah tokoh di tanah air untuk berjuang melawan kolonialisme. Di antaranya, Kartini, Raden Mas Tirtoadisoerjo (Tirto), dan juga Pramoedya Ananta Toer (Pram). Ketiga tokoh ini juga berjuang melalui tulisan dan karya sastra melawan sistem politik yang menindas rakyat.

“Seorang politikus yang tidak mengenal Multatatuli praktis tidak mengenal humanisme, humanitas secara modern. Dan politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politikus kejam. Pertama, karena dia tidak mengenal sejarah Indonesia, kedua karena dia tidak mengenal perikemanusiaan, humanisme secara modern, dan bisa menjadi kejam,” tutur Pram.

Jadi kehadiran Perpustakaan Saidjah Adinda dan Museum Multatuli di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, membuka kembali ingatan akan kejamnya penindasan dan sistem politik yang kotor pada masa kolonial. Tentu, hari ini dan selanjutnya, kita berharap tak ada lagi penindasan dan praktik-praktik politik kotor yang menyengsarakan rakyat.

Diolah dari berbagai sumber:
zestevien.blogspot.co.id
www.readingmultatuli.co
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8606 seconds (0.1#10.140)