Tim Medik RSSA Selidiki Tuduhan Praktik Transplantasi Ginjal Ilegal

Jum'at, 22 Desember 2017 - 19:11 WIB
Tim Medik RSSA Selidiki Tuduhan Praktik Transplantasi Ginjal Ilegal
Tim Medik RSSA Selidiki Tuduhan Praktik Transplantasi Ginjal Ilegal
A A A
MALANG - Tim Medik Rumah Sakit Syaiful Anwar (RSSA) Malang, melakukan penyelidikan terkait adanya tuduhan praktik transplatasi ginjal secara ilegal, dan dikomersialkan dengan nilai mencapai ratusan juta rupiah.

Tuduhan adaya praktik transplantasi ginjal ilegal tersebut, muncul setelah salah seorang pendonor ginjal, Ita Diana (41) mengaku dijanjikan akan dibayar Rp350 juta setelah mendonorkan ginjalnya. Tetapi, setelah proses transplatasi ginjal selesai, dia hanya diberi uang sebesar Rp74 juta.

Adanya upaya penyelidikan ini, ditegaskan oleh Ketua Komite Medik RSSA Malang, Istan Irmansyah. “Komite medik sudah dibentuk dan sudah bekerja untuk melakukan audit internal secara obyektif,” ujar dokter spesialis ortopedi tersebut.

Dia menegaskan, kegiatan medis berupa transplatasi organ, termasuk di dalamnya transplatasi ginjal. Merupakan kegiatan medis yang dilakukan secara institusional, bukan tindakan yang dilakukan secara pribadi.

Ada prosedur ketat dalam pelaksanaan transplatasi ini. Penanganannya harus dilakukan oleh tim dokter, karena merupakan tindakan institusional RSSA Malang.

“Kami akan memeriksa semua berkas rekam medis, dan proses yang telah dilakukan. Untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan dalam proses tersebut,” tegasnya.

Apabila dari hasil audit internal yang dilakukan secara obyektif ini ditemukan adanya bukti kuat pelanggaran, maka dokter yang bersangkutan akan dikenai sanksi tegas. Selama proses audit internal berjalan, tim dokter yang sedang diaudit tersebut masih diperbolehkan untuk memberikan pelayanan kesehatan, dengan mematuhi prosedur yang berlaku.

Wakil Direktur Bidang Pelayanan Medik Keperawatan RSSA Malang, Hanief Noersajhdu menyatakan, akan menunggu hasil audit internal yang dilakukan oleh komite medik, untuk mengambil tindakan selanjutnya.

Dia sendiri merasa heran, persoalan ini baru muncul saat ini. Sementara, proses transplatasi ginjalnya sudah selesai 10 bulan yang lalu.

“Pendonornya juga mendaftarkan sendiri ke sekretariat di RSSA Malang. Sebelum dilakukan proses transplatasi, juga sudah ada prosedur ketat yang diterapkan. Termasuk penandatanganan perjanjian, bahwa tindakan ini dilakukan secara sukarela dan tidak ada transaksional di dalamnya,” timpalnya.

Apabila pendonor mengaku dijanjikan mendapatkan uang Rp350 juta untuk mendonorkan ginjalnya. Hanief menegaskan, pihak RSSA tidak mengetahui hal tersebut, karena dalam perjanjian yang ditandatangani telah secara tegas dinyatakan seluruh prosesnya dilakukan secara sukarela.

Ketua tim transplatasi RSSA Malang, Atma Gunawan, yang memimpin kegiatan transplatasi tersebut mengaku, seluruh kegiatan transplatasi yang melibatkan pendonor ginjal, dengan penerima donor sudah sesuai prosedur yang berlaku, yakni mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No38/2016.

Dalam permenkes tersebut, telah tegas diatur bahwa proses transplatasi tidak ada unsur jual beli atau komersialisasi organ tubuh manusia.

“Tidak ada unsur tawar menawar. Semuanya dilakukan secara sukarela, tulus ikhlas, dan tanpa paksaan,” tegasnya.

Dia menyatakan, tidak pernah mencari-cari pendonor ginjal. Posisinya pasif, dan pendonor datang sendiri secara sukarela. Semua prosesnya dilakukan dengan perjanjian yang ketat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya praktik makelar dan jual beli.

Surat perjanjian yang sudah ditandatangani oleh pendonor, dan pasien penerima donor, juga ditegaskan adanya klausul tidak ada unsur jual beli. Apabila ada unsur jual beli, maka langsung dibatalkan prosesnya. Hal ini sudah diatur dalam surat perjanjian tersebut.

“Kami memberikan waktu tiga haris untuk kedua pihak berpikir-pikir. Setelah semuanya setuju, maka dilanjutkan proses pemeriksaan kesehatan untuk menentukan cocok tidaknya organ yang akan didonorkan dengan penerima donor,” terangnya.

Prosedur medis yang dilakukan sebelum proses transplatasi dilakukan juga sangat ketat. Pendonor dan penerima donor harus menjalani tes medis secara menyeluruh. Dilanjutkan pemeriksaan serum. Lalu pemeriksaan radiologi anatomi, dan terakhir pemeriksaan kecocokan sel.

Apabila dalam proses pemeriksaan medis tersebut ditemukan ketidak cocokan, maka proses transplatasi tidak bisa dilanjutkan. Seluruh keputusan diambil dari hasil pembahasan tim transplatasi, bukan keputusan individu.

Sementara, kuasa hukum Ita Diana, Yassiro Ardhana mengatakan, akan segera mengajukan laporan hukum ke kepolisian atas adanya dugaan praktik transplatasi ilegal ini.

“Klien kami telah banyak dirugikan, dan ada dugaan praktik ilegal yang melanggar pasal 64 ayat 3, dan Pasal 192 UU No. 36/2009 tentang kesehatan,” tegasnya.

Pada awalnya, dia mengaku, ada janji yang diberikan kepada Ita Diana yang sedang mengalami kesulitan keuangan, untuk dibayar Rp350 juta agar bersedia menjadi pendonor ginjal. Kenyataannya, setelah semua proses selesai hanya dibayar Rp74 juta.

Ita Diana sendiri, saat ini kondisinya masih tertekan, dan berencana berangkat ke luar negeri untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW).

“Saya belum bisa memberikan keterangan apa-apa, maaf kondisi saya belum memungkinkan,” ujarnya dengan suara terisak, setelah bisa pulang ke rumahnya di Temas, Kota Batu. Sebelumnya, dia harus berada di tempat penampungan untuk bersiap berangkat menjadi TKW.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5303 seconds (0.1#10.140)