Kisah Kho Ping Hoo, Pedagang Obat yang Mahir Mendongeng Cerita Silat

Senin, 20 November 2017 - 05:00 WIB
Kisah Kho Ping Hoo, Pedagang Obat yang Mahir Mendongeng Cerita Silat
Kisah Kho Ping Hoo, Pedagang Obat yang Mahir Mendongeng Cerita Silat
A A A
Nama Kho Ping Hoo tidak bisa dipisahkan dari cerita silat bersambung yang sangat populer di era 60-90an. Kho Ping Hoo memang kaya pengagum dari pembaca remaja, dewasa hingga mereka yang berusia beranjak senja, tidak sedikit yang menggandrunginya. Mereka rela berhari-hari menyisihkan waktu demi menuntaskan cerita silat berseri yang dia buat.

Maklum, nyaris tidak ada karya Kho Ping Hoo yang berjilid tipis. Mereka adalah penekur cersil yang tumbuh kembang di rentang medio 60-90an. Generasi zaman old. Bukan zaman now yang lebih banyak terbirit-birit bacaan teenleet dan semacamnya. Tidak hanya menikmati narasi adu jotos, kecerdikan jurus beladiri, sabetan pedang, tikaman trisula, kibasan toya atau tebasan golok pendekar.

Deskripsi yang dibangun Kho mampu menyihir pembaca seolah-olah tengah menikmati adegan perkelahian silat di layar lebar. Dari cerita silatnya yang berarus kesedihan, tawa, jengkel dan amarah, tidak sedikit pembaca mendulang nilai kebijakan dan kebajikan.
Mendiang artis Suzanna dan juga Marini kerap meminta petuah tentang hidup kepada Kho Ping Hoo.

Namun penyakit jantung menamatkan riwayatnya. Kabar duka itu secara cepat tersiar dari mulut ke mulut, bergema dari telinga ke telinga. Para penyuka cerita silat (cersil) Bu Kek Siansu, Pedang Ular Merah (1960), Darah Mengalir di Borobudur (1960), Iblis Mengamuk Di Mataram (Jakarta, 1961), Si Naga Merah (Jakarta, 1962) dan ratusan judul cerita silat lainnya sontak bergerak.

Mereka berkabung, menangisi kepergian Asmarawan Sukowati Kho Ping Hoo, pengarang cerita silat bersambung yang namanya telah melegenda. Kho Ping Hoo tutup usia pada 22 Juli 1994, diumur 68 tahun ajal menjemputnya.

Myra Sidharta, penulis yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mencatat, jasad Kho diantar berbondong bondong penggemarnya menuju ruang pembakaran (krematorium). Di pantai selatan para "follower" dengan ragam latar belakang itu mengiring abu jenazah Kho Ping Hoo.

Serupa kisah cersilnya, abu Kho ditaburkan. "Ribuan penggemarnya datang melayat dan mengantar jasadnya (Kho Ping Hoo)," tulis Myra dalam buku biografi delapan penulis peranakan, Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman.

Keluarga Tionghoa Jawa

Kho Ping Hoo lahir di Sragen, Solo Jawa Tengah pada 17 Agustus 1926. Dia berasal dari keluarga peranakan Tionghoa Jawa. Nenek dari garis ayah adalah orang Jawa. Begitu juga buyut dari silsilah ibu. Juga berdarah Jawa. Tidak heran, meski kulit dan gestur muka Tionghoanya lebih tergurat, Kho fasih bertutur kata Jawa, baik tinggi (Kromo Inggil) maupun rendah (Ngoko). Dia juga piawai menulis aksara Jawa modern dan kuno.

Dibanding tradisi leluhur Tionghoa, keluarga besar Kho Ping Hoo lebih mendekatkan budaya Jawa kepada anggota keluarganya.

Pendekatan itu yang membuat Kho mengenal kebudayaan Jawa dengan baik. Dia faham kisah-kisah wayang, termasuk laku kebatinan Jawa. Bahkan Kho juga penganut gerakan Subud, yakni gerakan mistik yang meliputi bermacam macam agama. Dari ayahnya, Kho Ping Hoo mengenal seni bela diri yang kelak menjadi salah satu sumber bahan cerita silatnya.

Melalui disiplin latihan yang keras, ayahnya seorang pendekar aliran Siau Liem Sie mewariskan ilmu silatnya. Kho pernah disuruh menjerang air diatas arang. Gemblengan itu untuk memperkokoh kuda kudanya.

"Saya baru boleh berhenti setelah airnya mendidih, "tutur Kho Ping Hoo dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984. Dari buku buku ayahnya, dia banyak menimba pengetahuan ilmu gaib, ilmu hipnotis dan telepati. Bahkan Kho sangat tertarik membongkar rahasia rahasianya.

"Ayahnya seorang tengkulak gula yang memiliki 15 anak. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan bertapa. Mereka hidup di garis kemiskinan, "tulis Myra Sidharta.

Kho mengenyam pendidikan pertama kali di sekolah Kristen (HIS Zending School). Secara formal dia belajar bahasa Belanda dan Melayu. Namun karena tak sanggup membayar, Kho hanya diizinkan mengikuti pelajaran sekolah.

Faktor kemiskinan yang membuat pihak sekolah tidak pernah memberinya ijazah. Begitu juga saat bersekolah di tingkat menengah pertama.

Di umur 14 tahun, Kho memutuskan drop out (DO), keluar dari sekolah dan memilih berkelana menjelajahi kota kota. Praktis dia hanya bersekolah sampai kelas satu MULO (setingkat SMP).

Berbagai pekerjaan dijajalnya. Di Surabaya (1943-1945) dia menekuni hidup sebagai pedagang obat. Kho menjajakan obatnya dengan mengetuk pintu, door to door. Sayang, tidak ada catatan yang menyebut obat apa yang dia jual.

Sebelumnya dia pernah melintasi masa sebagai pelayan toko dan kuli pabrik. Kho menjual tenaga sebagai buruh di pabrik rokok kretek di Kudus. Perjalanan hidupnya dinamis.

Meloncat loncat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dari satu tempat ke tempat lain. Pada tahun 1950, Kho Ping Hoo hijrah ke Tasikmalaya Jawa Barat (1950-1960). Dia bekerja di sebuah perusahaan pengangkutan, dengan truk sebagai kendaraan angkutnya.

Di sana (Tasikmalaya) Kho berinteraksi dengan masyarakat Tionghoa totok. Meski Tionghoa peranakan, dia mampu secara cepat beradaptasi. Kho belajar bahasa Sunda dan Hakka, dialek yang biasa dipakai dalam pergaulan Tionghoa totok.

Dia juga belajar bahasa Mandarin dan Inggris. Dalam waktu singkat bahasa bahasa itu dia kuasai dengan baik. Pengaruh pergaulan Tionghoa totok yang membuat Kho memilih menjadi warga negara Tiongkok.

Saat itu Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian dwikewarganegaraan (1955). Dia juga berniat hijrah ke Tiongkok saat pemerintah menerapkan peraturan No 10 tahun 1959 (PP 10 Tahun 1959).

PP 10 melarang warga negara asing berdagang di wilayah pedesaan Indonesia. Tidak sedikit WNA terutama Tionghoa yang bermukim di pedesaan dengan menyambung hidup sebagai pedagang.

Karena pertimbangan anak-anaknya masih bersekolah dan tidak mudah pergi dari Indonesia (paska peristiwa 1965), Kho Ping Hoo memohon menjadi warga negara Indonesia. Status WNI baru dia peroleh sekitar tahun 1970an.

Di fase Tasikmalaya minat Kho pada tulis menulis timbul. Dia mulai merangkai cerita. Disela kesibukannya bekerja, Kho menjadi koresponden harian Keng Po. Dia juga membantu Pikiran Rakyat Bandung.

Kho juga mengirim tulisan ke majalah Teratai yang pernah terbit di Bandung pada tahun 1960an. Teratai menyediakan space untuk cerita cerita silat.

"Diluar dugaan, cerita saya digemari," tutur Kho Ping Hoo di sebuah wawancara tahun 80an. Cersilnya juga muncul di beberapa majalah populer.

Sebuah peristiwa kerusuhan di Sukabumi dan Bandung (1963) memaksanya meninggalkan Tasikmalaya. Kerusuhan sosial itu merembet ke Tasikmalaya. Para perusuh menjarah dan membakari rumah rumah warga, termasuk tempat tinggal Kho Ping Hoo. Tidak hanya rumah dan perabotnya. Mesin cetak untuk usaha membuat majalah baru, scooter vespa, dan sepeda anak anaknya turut hangus tak tersisa.

Dalam keputusasaan Kho Ping Hoo memboyong keluarganya keluar dari Tasikmalaya dan memutuskan kembali ke Solo. Dia menyambung hidup hanya dari menulis cerita silat yang kerap dimuat di majalah dan surat kabar secara berseri.

Sambil terus menulis Kho mencoba merintis ulang usaha percetakan. Perlahan kehidupan ekonominya membaik. Dari satu mesin manual yang diatur dengan tangan, dia menambah tiga unit mesin otomatis.

"Namun mesin lama tetap digunakan. Karena dia tidak mau memberhentikan karyawan yang telah bekerja lama di tempatnya," tulis Myra Sidharta dalam bukunya.

Tidak hanya melayani cetak sampul buku. Usaha percetakan ini juga menerima cetak tiket parkir, juga label untuk macam macam jamu. Kho Ping Hoo juga membuka usaha penerbitan yang melayani buku-buku karya anak muda yang belum terkenal.

Di pekerjaan ini, khususnya soal manajemen, penyuntingan dan distribusi, dia dibantu anak anak dan menantunya. Dengan demikian Kho tetap bisa borkosentrasi menulis yang biasa dia lakukan di kawasan pegunungan Tawangmangu, lereng Gunung Lawu, dekat Solo.

Kho Ping Hoo mampu menyelesaikan satu buku dalam seminggu. Lebih dari 200 judul cersil dengan satu judul terdiri dari beberapa bahkan puluhan seri, lahir dari tangannya.

Tulisan mengantarnya mudah bepergian kemana mana. Kho Ping Hoo pernah melancong ke Amerika, Eropa, Tiongkok dan Hongkong.

Dia bertemu artis film Mandarin Shan Kuan Lin Feng di Hongkong. Dia kerap hadir untuk memberi dukungan setiap pembulu tangkis Lim Swie King bertanding di luar negeri.

Kho Ping Hoo yang memiliki 13 anak dari pernikahannya dengan Roos Hwa alias Rosita mengidamkan bisa terus menulis hingga akhir hayat. Tidak hanya sekedar membuatnya makmur dengan anak anak mengenyam pendidikan baik.

Dari tulisan Kho juga berharap bisa membantu orang lain. Dari karya karyanya setidaknya dia bisa memberi hiburan dan pengetahuan mengenai kebudayaan, sejarah dan moral.

"Saya mengarang untuk mengeluarkan uneg uneg. Dan saya selalu puas dengan apa yang ada". Mengenai apa yang sudah dikerjakan, Kho Ping Hoo berucap "Whatever you do in your life, do it with love in your heart". Begitu pesannya sebelum penyakit jantung menjemput ajalnya.

Sumber:
- Biografi Delapan Peranakan, Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (Myra Sidharta)
- Tokoh tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (Drs Sam Setyautama)
- Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 dan diolah dari berbagai sumber
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5954 seconds (0.1#10.140)