Kisah Konflik Keluarga Pangeran Diponegoro dengan Sultan Hamengkubuwono IV Imbas Dekat dengan Belanda
loading...
A
A
A
Pangeran Diponegoro merupakan keturunan ningrat atau pejabat keraton. Tetapi hubungannya dengan pejabat keraton Yogya itu tidak sepenuhnya berjalan mulus. Sang pangeran bahkan pernah bermusuhan dengan sang adik sendiri Sultan Hamengkubuwono IV, saat bertahta di Kesultanan Yogyakarta.
Permusuhan Pangeran Diponegoro dengan sang adik ini bukan tanpa sebab. Konon saat itu pihak keraton yang dipimpin Sultan Hamengkubuwono IV cenderung memiliki kedekatan dengan pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh Nahuys Van Burgst selaku residen Belanda di Yogyakarta.
Apalagi sebelumnya sempat timbul pemberontakan atau perlawanan dari beberapa kerabat keraton, salah satunya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Pemberontakan ini sendiri akhirnya gagal, karena ketiadaan dukungan dari pejabat-pejabat pribumi dan kegagalan strategi.
Dari sanalah konon sang pangeran sebagaimana dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855" tulisan Peter Carey, memendam kekecewaan dengan Keraton Yogyakarta. Ketegangan antara Diponegoro dengan keraton membuncah saat dokumen yang ditulis oleh ayah Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono III, yang mengakui hak kesulungan atas tahta Yogya. Masalah ini telah menjadi bahan perbantahan antara Pangeran Diponegoro dan ibu tirinya, pada waktu membicarakan soal penunjukan pejabat polisi (gunung) baru, yang telah disebut.
Menurut kesaksian Pangeran Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono IV pernah datang ke Tegalrejo, di ujung tahun 1822 untuk menemuinya. Dikisahkan pertemuan antara Pangeran Diponegoro dengan Sultan Hamengku Buwono IV, untuk tujuan meminta dokumen yang berisi perihal semua perjanjian politik sejak masa Inggris.
Namun Diponegoro konon enggan menyerahkan dokumen yang tersimpan dalam arsip pribadinya, sambil betul - betul menekankan agar dokumen itu dijaga dengan baik. Tapi menurut beberapa cerita dan sumber, saat raja muda ini kembali ke keraton, Diponegoro justru langsung membakar dokumen itu. Hal ini untuk menghilangkan jejak bukti - bukti yang dapat mengancam tahtanya.
Hal ini pula yang menjadikan kemudian Pangeran Diponegoro mempercepat penolakannya untuk terus melakukan tugas - tugasnya dengan baik sebagai wali, dan bermuara pada putusnya hubungan antara Pangeran Diponegoro dengan Keraton Yogyakarta. Dengan demikian, sultan keempat Yogya telah melakukan sebuah tindakan yang mengakibatkan terjadinya bencana di masa depan.
Hingga sang sultan wafat pada 6 Desember 1822 sekitar pukul 15.30 WIB, sekembalinya ia di Keraton Yogyakarta, setelah melakukan perjalanan pulang dari salah satu tempat peristirahatannya. Caranya meninggal adik Pangeran Diponegoro ini juga konon dinilai tidak wajar. Tubuhnya mendadak membengkak, suatu petunjuk, menurut dugaan beberapa orang di masa itu, bahwa ia diracun.
Tetapi isu itu tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya atas dugaan itu. Tubuhnya Sultan Hamengku Buwono IV di akhir hayatnya tubuhnya kian gemuk, kegemarannya makan makanan berbumbu, serta sikapnya yang selalu memaksakan diri naik ke sadel kuda, telah memberinya serangan jantung pada usia masih sangat muda, yakni 18 tahun.
Gaya hidupnya yang mempertontonkan hasrat hati karena pengaruh residen Belanda Nahuys Van Burgst dan asistennya R.C.N d'Abo membawanya kian cepat menghadap ke Sang Kuasa. Sultan Hamengku Buwono IV adalah raja pertama yang menjadi gaya hidup kebarat-baratan yang melanda keraton - keraton Jawa selatan - tengah pasca 1816.
Hal ini yang menjadikan pula Pangeran Diponegoro begitu kurang menghargai dan memutuskan hubungan dengan keraton di bawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IV.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
Permusuhan Pangeran Diponegoro dengan sang adik ini bukan tanpa sebab. Konon saat itu pihak keraton yang dipimpin Sultan Hamengkubuwono IV cenderung memiliki kedekatan dengan pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh Nahuys Van Burgst selaku residen Belanda di Yogyakarta.
Apalagi sebelumnya sempat timbul pemberontakan atau perlawanan dari beberapa kerabat keraton, salah satunya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Pemberontakan ini sendiri akhirnya gagal, karena ketiadaan dukungan dari pejabat-pejabat pribumi dan kegagalan strategi.
Dari sanalah konon sang pangeran sebagaimana dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855" tulisan Peter Carey, memendam kekecewaan dengan Keraton Yogyakarta. Ketegangan antara Diponegoro dengan keraton membuncah saat dokumen yang ditulis oleh ayah Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono III, yang mengakui hak kesulungan atas tahta Yogya. Masalah ini telah menjadi bahan perbantahan antara Pangeran Diponegoro dan ibu tirinya, pada waktu membicarakan soal penunjukan pejabat polisi (gunung) baru, yang telah disebut.
Menurut kesaksian Pangeran Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono IV pernah datang ke Tegalrejo, di ujung tahun 1822 untuk menemuinya. Dikisahkan pertemuan antara Pangeran Diponegoro dengan Sultan Hamengku Buwono IV, untuk tujuan meminta dokumen yang berisi perihal semua perjanjian politik sejak masa Inggris.
Namun Diponegoro konon enggan menyerahkan dokumen yang tersimpan dalam arsip pribadinya, sambil betul - betul menekankan agar dokumen itu dijaga dengan baik. Tapi menurut beberapa cerita dan sumber, saat raja muda ini kembali ke keraton, Diponegoro justru langsung membakar dokumen itu. Hal ini untuk menghilangkan jejak bukti - bukti yang dapat mengancam tahtanya.
Hal ini pula yang menjadikan kemudian Pangeran Diponegoro mempercepat penolakannya untuk terus melakukan tugas - tugasnya dengan baik sebagai wali, dan bermuara pada putusnya hubungan antara Pangeran Diponegoro dengan Keraton Yogyakarta. Dengan demikian, sultan keempat Yogya telah melakukan sebuah tindakan yang mengakibatkan terjadinya bencana di masa depan.
Hingga sang sultan wafat pada 6 Desember 1822 sekitar pukul 15.30 WIB, sekembalinya ia di Keraton Yogyakarta, setelah melakukan perjalanan pulang dari salah satu tempat peristirahatannya. Caranya meninggal adik Pangeran Diponegoro ini juga konon dinilai tidak wajar. Tubuhnya mendadak membengkak, suatu petunjuk, menurut dugaan beberapa orang di masa itu, bahwa ia diracun.
Tetapi isu itu tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya atas dugaan itu. Tubuhnya Sultan Hamengku Buwono IV di akhir hayatnya tubuhnya kian gemuk, kegemarannya makan makanan berbumbu, serta sikapnya yang selalu memaksakan diri naik ke sadel kuda, telah memberinya serangan jantung pada usia masih sangat muda, yakni 18 tahun.
Gaya hidupnya yang mempertontonkan hasrat hati karena pengaruh residen Belanda Nahuys Van Burgst dan asistennya R.C.N d'Abo membawanya kian cepat menghadap ke Sang Kuasa. Sultan Hamengku Buwono IV adalah raja pertama yang menjadi gaya hidup kebarat-baratan yang melanda keraton - keraton Jawa selatan - tengah pasca 1816.
Hal ini yang menjadikan pula Pangeran Diponegoro begitu kurang menghargai dan memutuskan hubungan dengan keraton di bawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IV.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
(hri)