Kisah Perang Gayo, Benteng Terakhir Perlawanan Terhadap Belanda di Nusantara

Sabtu, 19 Agustus 2017 - 05:00 WIB
Kisah Perang Gayo, Benteng Terakhir Perlawanan Terhadap Belanda di Nusantara
Kisah Perang Gayo, Benteng Terakhir Perlawanan Terhadap Belanda di Nusantara
A A A
Perang Gayo merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Perang Aceh. Dimana Perang Gayo merupakan salah satu benteng terakhir perlawanan terhadap kolonial Belanda di Nusantara. Perang Gayo dimulai saat Kesultanan Aceh pada awal tahun 1900-an yang terus melakukan perlawanan terhadap Belanda mulai terdesak. Dimana saat Sultan Muhammad Daudsyah Raja Aceh terakhir ditangkap di Pidie pada 1903. Namun meskipun Sultan Aceh telah ditangkap, perlawanan masih saja berlangsung.

Sehingga mulai disusun strategi gerilya jangka panjang di belantara hutan Pengunungan Gayo untuk menghindari penangkapan pasukan Belanda. Tanah Gayo merupakan salah satu wilayah yang paling terakhir dimasuki Belanda selama menjajah seantero Nusantara.

Ada banyak nama para pejuang dari tanah Gayo diantaranya Tengku Tapa yang berasal dari Telong. Konon Tengku Tapa banyak memiliki ilmu kanuragan. Ilmu ini dimilikinya sekembalinya selama tujuh tahun bertapa di Gunung Geureudong dekat Telong Takengon.

Dia adalah salah seorang pejuang yang sangat ditakuti oleh Belanda saat itu. Tengku Tapa sendiri diyakini sebagai salah satu panglima di Kesultanan Aceh. Sehingga perjuangannya banyak mendapat simpati dari masyarakat yang membuat moral pasukan Belanda yang begitu ditakuti di seluruh nusantara menjadi jatuh.

Tengku Tapa ditemani oleh dua anak buahnya Pang Pren dari Munte Kala, Kampung Kung Pegasing dan Pang Ramung dari Kebayakan. Pang Pren dan Pang Ramung sering berada di Aceh Timur dan Aceh Utara bersama panglima Tengku Tapa.

Bahkan kedua-duanya sering diikutsertakan menghadap Sultan Aceh dan pembesar-pembesar lainnya di Kutaraja. Pang Pren diberi tugas oleh Panglima Tengku Tapa di daerah Bebesan-Pegasing, sementara Pang Ramung mendapat tugas memimpin daerah Bukit kebayakan di Gayo Lut.

Selain itu Tengku Tapa memiliki strategi perang yang hebat dan juga seorang ahli propaganda yang membuatnya memiliki banyak pengikut di pesisir.

Salah satu strategi propaganda Tengku Tapa adalah dengan cara menghidupkan kembali legenda Malem Dewa yang hidup di masyarakat. Propaganda ini terbukti mampu membuatnya mendapatkan pengikut dalam jumlah besar (karena para pengikut itu) merasa sedang melakukan perang suci atau jihad.

Pasukan Panglima Tengku Tapa merupakan gabungan antara pasukan dari Dataran Tinggi Gayo dan pasukan dari Aceh. Mereka bergerak di sekitar Aceh timur dan Aceh Utara sekitar tahun 1898 dan 1900. Pasukan ini dikenal sangat tangguh, berani.

Karena begitu besarnya kerugian materil maupun moril yang diderita oleh Belanda akibat perlawanan pasukan Tengku Tapa. Belanda langsung mengutus Jenderal terbaiknya, JB Van Heutsz didampingi penasihat Snouck Hurgronje.

Van Heutsz sendiri terpaksa berangkat ke Idi untuk memadamkan perlawanan yang tidak disangka-sangka itu. Namun, pasukan Tengku Tapa terus maju menghadang pasukan meriam dan infanteri Van Heutsz, sehingga banyak di antara mereka yang menjadi syahid.

Pasukan Van Heutsz memperoleh kemenangan dalam serbuan itu, dan mereka terus mengejar sisa-sisa pasukan Tengku Tapa hingga ke Seuneubok. Tengku Tapa akhirnya syahid di daerah Pasee Aceh Utara pada tahun 1900. Namun perlawanan diteruskan oleh sisa-sisa laskar Tengku Tapa di wilayah Pegunungan Gayo.

Setelah Van Heutsz ditunjuk sebagai Gubernur militer dan sipil di Aceh pada bulan Februari tahun 1904 dia memerintahkan Letnan Kolonel BCE Van Daalen memimpin pasukan Marsose untuk menyerang Tanah Gayo dan Alas di tengah-tengah pegunungan Aceh untuk menamatkan perlawanan rakyat di sana.

Serangan pertama dilancarkan di Gayo Laut, kedua ke Gayo Linge, ketiga ke Gayo Lues dan serangan keempat ke Tanah Alas. Perang berlangsung selama 10 tahun dengan korban yang tidak sedikit di pihak Belanda maupun para pejuang Aceh.

Kemudian pada 8 Februari sampai dengan 23 Juli 1914 dibawah perintah Letkol GCE Van Daalen, suatu kolone marsose mengadakan penyerbuan ke tanah Gayo dan Alas.

Pertempuran di Gayo dan Alas ini memakan korban yang sangat besar. Orang-orang Gayo telah siap menyambut pasukan marsose yang datang ke kampungnya dengan pakaian serba putih menandakan mereka siap untuk mati syahid.

Dalam perlawananpun mereka hanya menggunakan senjata pukul dengan bedil lantak tua yang tidak sebanding dengan persenjataan pasukan marsose, sehingga dalam waktu yang sekejap mereka berhasil ditumpas.

Perang di Gayo tidaklah berakhir pada 1913 atau 1914. Karena dari tahun 1914 masih banyak terjadi perlawanan di Aceh. Sehingga pada 12 Maret 1942 pasukan Jepang mendarat di Aceh, mereka terus menggempur pasukan Belanda yang masih tersisa.

Akhirnya pada 28 Maret 1942, tiga minggu setelah Jawa menyerah ke Jepang, Jenderal Overakker menyatakan takluk. Aceh merupakan wilayah terakhir yang dimasukan ke dalam teritorial wilayah Belanda, Aceh juga yang pertama kali keluar dari pemerintahan Belanda.

Sumber:
- ajaysamaragravira.wordpress.
- lintasgayo
- kebudayaan.kemdikbud.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4931 seconds (0.1#10.140)