Jembatan Cincin dan Menara Loji, Sisa Kejayaan Perkebunan di Jatinangor

Jum'at, 14 Juli 2017 - 05:09 WIB
Jembatan Cincin dan Menara Loji, Sisa Kejayaan Perkebunan di Jatinangor
Jembatan Cincin dan Menara Loji, Sisa Kejayaan Perkebunan di Jatinangor
A A A
Wilayah Jatinangor di Kabupaten Sumedang, saat ini dikenal sebagai kawasan pendidikan. Di sini berdiri sejumlah perguruan tinggi ternama dan menjadi kawasan yang ramai. Padahal jauh sebelumnya, Jatinangor dikenal sebagai daerah perkebunan teh dan karet.

Ada dua bangunan tua dan menjadi tanda situs bersejarah yang menjadi tanda sisa-sisa kejayaan perkebunan di Jatinangor. Kedua bangunan tersebut, adalah jembatan kereta api tua yang sudah tidak berfungsi di Kampung Cikuda, Desa Hegar Manah, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang atau yang dikenal Jembatan Cincin.

Satu lagi, adalah Menara Loji yang berada tepat di lingkungan kampus ITB Jatinangor atau lebih tepatnya di pekarangan gedung PMI (sebelum 2011 merupakan kampus Unwim). Berbeda dengan kondisi Jembatan Cincin yang tak terawat, Menara Loji sekarang semakin cantik dengan dipugarnya lingkungan dan dibuat taman cantik yang bernama Taman Loji.

Jembatan Cincin dibangun oleh Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf, sebuah perusahaan kereta api milik Belanda pada 1918. Jembatan ini berfungsi sebagai salah satu jalur kereta api yang menghubungkan daerah Rancaekek dan Tanjungsari. Kereta api ini menjadi penunjang lancarnya perkebunan karet dan transportasi masyarakat.

Penduduk sekitar perkebunan Jatinangor dan Tanjungsari menyebutnya Jembatan Cincin disebut Jembatan Kereta Api si Gobar. Si Gobar adalah nama julukan kereta api yang kerap melewati jalur rel tersebut.

Sedangkan rel kereta api yang menghubungkan Rancaekek ke Tanjungsari mulai dibangun pada 1917 dalam program proyek rel kereta api Rancaekek-Tanjungsari-Citali sepanjang 15 km. Awalnya hanya akan dibangun rel kereta api Rancaekek-Jatinangor saja sepanjang 5,25 km untuk keperluan mengangkut hasil perkebunan Jatinangor saja.

Atas permintaan pihak militer rel kereta api itu agar digunakan untuk keperluan angkutan umum juga, maka diperpanjanglah hingga ke Tanjungsari dan Citali sepanjang 11,5 km (ANRI, 1976, Memori van Overgave 1921-1930: 71).Tetapi kemudian rel kereta api hingga Citali ditangguhkan karena kekurangan biaya dan peralatan untuk menembus alam di sana sehingga rel kereta api itu hanya sampai stasiun Tanjungsari (ANRI, 1976, Memori van Overgave 1921-1930: 105).

Rute kereta api ini juga tidak melewati Sumedang, meskipun awalnya memang pernah direncanakan. Pembangunannya terkendala permasalahan alam di kawasan Cadas Pangeran. Jurang dan cadasnya terlalu curam sehingga tidak cocok untuk dijadikan jalan rel kereta api.

Jalur kereta api ini resmi dioperasikan pada 1921 dan digunakan untuk mengangkut teh dan hasil bumi dari daerah Sumedang Barat. Daftar stasiun yang dilalui, antara lain Stasiun Rancaekek, Halte Bojongloa, Halte Jatinangor, Halte Cileles, dan Stasiun Tanjungsari.

Namun, pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), rel kereta api ini dibongkar dan dipindahkan untuk pembangunan Jalur kereta api Saketi-Bayah (Banten) yang diperkirakan kaya batu bara. Sampai sekarang, bekas jalur kereta api, sejumlah jembatan kereta api, dan sisa-sisa bangunan stasiun masih bisa ditemukan meskipun kondisinya tidak terawat atau beralih fungsi.

Hanya Jembatan Cincin yang bentuk fisik bangunannya masih terlihat jelas. Meskipun kondisi jembatan saat ini sangat tidak terawat, namun masih tetap kokoh dan bisa dipergunakan oleh masyarakat. Terselip juga kisah misteri di jembatan ini, apalagi di sekitar bawah jembatan terdapat kompleks permakaman warga.

Jembatan ini memiliki 11 tiang dan 10 cincin atau bentuk lengkungan di bagian bawah jembatan. Pada bagian atas terbuat dari tembok beton yang dilapisi batu dan bagian atas dilapisi lagi oleh batuan adesit. Jembatan ini pada bagian tiang terbuat dari tembok beton yang dilapisi batu dan sangat rapih. Terdapat lubang di setiap tiang yang berfungsi sebagai saluran air dari atas jembatan.

Tiang jembatan ini berbentuk persegi melebar di bagian dasarnya, dapat di lihat dari dasar sampai ujung atas tiang terdapat pembatas atau penghubung bebatuan. Di sela-sela tiang terdapat lengkungan yang memiliki diameter berbeda.
Tinggi jembatan ini diperkirakan sekitar 20 meter, sebagian besar badan jembatan plesternya sudah terkelupas, sehingga susunan bata andesitnya bisa terlihat dengan jelas. Bata merah yang tersusun ini berukuran 25 kali 12,5 cm dan dapat menjadi patokan untuk mengetahui panjang, lebar dan tebal jembatan.

Gaya arsitektur Eropa juga dapat dilihat dengan adanya tampak depan jembatan mengikuti sumbu poros utara-selatan. Jembatan ini memiliki tiang-tiang kembar (fasade kembar) dan motif hias yang juga sama, menunjukan bentuk tiang bergaya gothik.

Begitu juga dengan Menara Loji, bangunan ini merupakan saksi bisu kejayaan kawasan perkebunan karet di Jatinangor. Menara berwarna putih dan bergaya neo-gothik Belanda ini memiliki atap berbentuk segi delapan dan mengerucut di bagian atasnya dengan hiasan garpu tiga jari seperti senjata trisula.
Jembatan Cincin dan Menara Loji, Sisa Kejayaan Perkebunan di Jatinangor

Sebelum menjadi bagian dari gedung PMI Jatinangor, menara ini seolah tidak terurus. Banyak sekali coretan-coretan tangan jahil dan disekitar menara banyak ditumbuhi rumput-rumput liar. Bahkan lonceng yang dulu menghiasi bagian atas menara ini sudah tidak ada lagi karena telah dicuri pada 1980-an dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya.

Menara Loji ini merupakan simbol kejayaan perkebunan karet milik Willem Abraham Baud yang dikembangkan pada 1844. Perusahaan yang bernama Maatschappij tot Exploitatie der Baud-Landen ini menguasai tanah yang membentang dari tanah IPDN, tanah ITB, dan tanah Unpad hingga Gunung Manglayang. Pada awal mulanya perkebunan ini hanya meliputi usaha perkebunan teh, tetapi kemudian juga ditambah dengan usaha perkebunan karet.

Willem Abraham Baud (1816–1879) adalah salah satu anak Jean Chrétien Baud (1789–1759) yang pernah menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Timur (1833–1836), Menteri Kolonial (1840–1848), dan Menteri Kelautan (1840 – 1842). Pada tahun 1842, WA Baud pergi ke Jawa sesuai keinginan ayahnya agar dia meniti karier sebagai pegawai pemerintah di tanah jajahan.

WA Baud kemudian berhasil mendapatkan kontrak untuk perkebunan teh di daerah Jatinangor di Priangan. Kontrak ini disetujui oleh pemerintah gubernemen di Batavia dalam dekrit nomor 2 pada tanggal 26 Agustus 1844 yang antara lain juga meliputi pinjaman bebas bunga dari pemerintah sebesar 42.409 Gulden.

Saking luasnya perkebunan teh dan karet milik WA Baud ini, dikawasan ini pula dibangun sebuah menara jam sebagai penanda waktu para pekerja perkebunan. Ini untuk mempermudah para pekerja dalam bekerja yang saat itu belum memiliki aturan waktu dan jam sendiri. Menara jam yang oleh masyarakat sekitar sering disebut dengan nama Menara Loji.

Menara tersebut pada mulanya berfungsi sebagai lonceng yang berbunyi pada waktu-waktu tertentu sebagai penanda kegiatan yang berlangsung di perkebunan karet milik WA Baud. Bangunan ini dulunya berbunyi tiga kali dalam sehari. Pertama, pukul 05.00 sebagai penanda untuk mulai menyadap karet; pukul 10.00 sebagai penanda untuk mengumpulkan mangkok-mangkok getah karet; dan terakhir pukul 14.00 sebagai penanda berakhirnya kegiatan produksi karet.

Sumber:
wikipedia
widyonugrahanto73.blogspot
ridwanderful.com
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4214 seconds (0.1#10.140)