Rumah Masa Kecil Soekarno, Inggit Garnasih dan Misteri Peci Miring

Jum'at, 23 Desember 2016 - 05:00 WIB
Rumah Masa Kecil Soekarno, Inggit Garnasih dan Misteri Peci Miring
Rumah Masa Kecil Soekarno, Inggit Garnasih dan Misteri Peci Miring
A A A
Selain Ndalem Gebang atau Istana Gebang di Kota Blitar, Koesno atau Soekarno sang Proklamator juga banyak melintasi masa kecilnya di rumah Dusun Krapak Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Membakar jagung di sawah, mandi di kali, bermain sekaligus menangkap ikan.

Bahkan di rumah berarsitektrur joglo itu, putra guru priyayi Jawa Raden Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai Srimben itu berganti nama Karno atau Soekarno. Bocah kecil yang sempat diserang Malaria dan Disentri di tubuhnya itu dikemudian hari menjadi founding father sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia.

"Secara sirri pergantian nama beserta acara ritual itu berlangsung di rumah ini (Ndalem Pojok). Namun kemudian legitimasinya dilakukan di rumah kakek Bung Karno di Kabupaten Tulungagung,“ tutur Kushartono (41) putra bungsu almarhum Raden Mas (RM) Haryono yang juga salah satu pewaris Ndalem Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri.

Secara geografis berada di kaki Gunung Kelud. Ndalem Pojok berdiri diatas tanah seluas 1 hektare. Tidak berjarak jauh di sebelah kiri berada musala.

Sedangkan di sisi kanan berdiri bangunan balai seni budaya. Secara umum konstruksinya melebar dengan model memanjang ke belakang. Berbeda dengan bangunan Istana Gebang di Kota Blitar yang seluruhnya berupa tembok kukuh.

Dinding Ndalem Pojok hanya bersusun batu bata di bagian bawah dengan sambungan anyaman bambu di bagian atas.

Anyaman bambu bercat putih juga menjadi langit langitnya. Cat itu tampak kelewat tebal. Pertanda disana telah berlapis lapis, menumpuk tak pernah berganti. Di halaman dan samping rumah rimbun tanaman khas alam desa.

Pohon sawo kecik, kelengkeng, dan kantil tua menjulang mengangkasa. Meliar juga keluarga rumput rumputan, semak, alang alang di sekitarnya. Karena faktor usia ditambah kayunya yang mulai keropos merapuh, sekitar tahun 2005 dan 2007 bagian depan rumah direnovasi.

“Sebelumnya juga anyaman bambu separuh tembok. Namun karena telah rusak akhirnya bagian depan diganti tembok semua. Total keseluruhan ada 40 hektare. Namun tepat situs sejarahnya 1 hektare, “ kata Kushartono.

Merunut sejarahnya pembangunan Ndalem Pojok berlangsung antara tahun 1862-1830. Pendirinya adalah RM Panji Soemo Hatmodjo. Eyang Panji begitu Kuswanto memanggil merupakan pejabat tinggi di lingkungan Keraton Surakarta.

Almarhum ayahnya (RM Haryono) menuturkan, bahwa Eyang Panji juga pengikut laskar Pangeran Diponegoro yang memberontak melawan penjajah Belanda.

Dia kabur ke Kediri setelah Diponegoro kalah dalam perang Jawa 1825-1830. Mengacu Tambo Tambo yang bergetok tular, sebagian besar loyalis Pangeran Diponegoro itu berpencar menyelamatkan diri ke arah Jawa bagian Timur, termasuk eks Karasidenan Kediri. Di tempat barunya mereka selalu memberi tetenger, ciri khas atau penanda pohon sawo kecik dan musala.

“Dari pernikahan Eyang Panji dengan wanita keturunan Bupati Kediri, lahir Raden Mas Soerati Soemosewoyo atau Den Mas Mendung dan Raden Mas Sayid Soemosewoyo," papar Kushartono.

Ayah Kushartono adalah adalah putra laki-laki RM Sayid Soemosewoyo. Karena Den Mas Mendung menjalani laku wadat atau tidak menikah, yang menjadi pewaris Ndalem Pojok adalah keturunan dari garis Sayid Soemosewoyo.

Dalam kondisi sakit kecing manis (diabetes) yang parah, kata Kushartono, ayahnya menuturkan kalau di Ndalem Pojok itu nama Koesno ditanggalkan.

Pengubahan nama itu sebagai syarat penyembuhan. Kepada Cindy Adam dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Soekarno menyebut mengidap Malaria dan Disentri.

Saking parahnya konon Bung Karno kecil sampai sekarat mengalami mati suri. Usai melalui upacara ritual Jawa yang dipimpin Den Mas Mendung, nama Koesnopun berganti Karno atau Soekarno. Sepotong nama yang terinspirasi dari tokoh wayang purwa Adipati Karno, yakni saudara tua Pandawa.

“Selama proses penyembuhan itu Bung Karno kecil mulai sering menginap di Ndalem Pojok. Orangtua Bung Karno sendiri bertempat tinggal di wilayah Kedungpring, Kabuh, Kabupaten Jombang. Itu sebelum pindah ke Mojokerto. Karenanya mereka wira wiri Kediri-Jombang, “ jelas Kushartono.

Ndalem Pojok memiliki sembilan kamar dengan tiga diantaranya pernah ditiduri Bung Karno dan orangtuanya. Dua kamar berada di ujung paling depan dengan letak bersebelahan.

Di dalam ruangan sisi kiri itu Soekarno muda kerap menghabiskan waktunya. Disana dia menuntaskan tugas akhir untuk meraih gelar insinyur Technische Hooheschool (THS) Bandung (sekarang ITB) 26 Mei 1926.

“Dalam tugas akhir itu Bung Karno juga membuat jembatan di Kedak Kabupaten Kediri. Desain jembatan dirancang di kamar ini,“ katanya.

Di kamar itu pula Bung Karno yang stylish kerap mengaca pada cermin meja rias lawas yang berada di pojokan ruangan. Dengan peci beludru hitam yang selalu dia kenakan, Soekarno kerap mematut matut diri.

Peci itu selalu dalam posisi sedikit miring ke kiri. Mengutip keterangan almarhum ayahnya, menurut Kushartono posisi miring itu untuk menyembunyikan bekas luka codet pada dahi sebelah kiri. Luka itu diperoleh Soekarno di usia 3-5 tahun, yakni saat berlari kecil dan terjatuh. Saat terjerembab itu dahinya mengenai benda tajam yang dibawanya.

“Dan peci yang miring ke kiri itu sebenarnya untuk menutupi bekas luka. Namun pada saat itu justru menjadi tren setter bagi tokoh pergerakan yang lain,“ ungkapnya sembari tertawa.

Sebut saja tokoh komunis Musso atau tokoh Murba Sukarni. Dalam mengenakan peci mereka juga mengikuti “madzab”sedikit miring ke kiri. Tidak diketahui pasti apakah model peci miring para tokoh pergerakan meniru Soekarno atau memang style saat itu.

Setelah sembuh, Soekarno kecil kerap menjadikan Ndalem Pojok sebagai rumah singgahnya. Setiap libur sekolah dia selalu menginap disana berhari hari. Dengan didampingi para abdi utusan orangtuanya, Soekarno suka mandi di sungai, menangkap ikan, atau memetik jagung muda untuk dibakar.

Soekarno juga menganggap Den Mas Mendung dan Sayid Soemosewoyo sebagai ayah angkatnya. Karenanya kepada kedua orang tua itu memanggilnya bapak.

Dalam buku “Kuantar Ke Gerbang, kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno” karya Ramadhan KH terungkap bahwa hanya keluarga Soemosewoyo yang menjadi saksi pernikahan Bung Karno dengan Inggit Garnasih (hal 42-43). Orangtua Soekarno tidak ada yang datang.

Karena pernikahan kedua Bung Karno, yakni setelah menceraikan Utari anak HOS Cokroaminoto, dan Inggit usai bercerai dengan Sanusi saudagar sekaligus tokoh SI Bandung konon awalnya kurang disukai keluarga, terutama dari pihak Bung Karno. Hal itu mengingat Soekemi Sosrodihardjo, ayah Soekarno merupakan teman baik Cokroaminoto.

Disisi lain keluarga Soemosewoyo memiliki hubungan emosional sejak Soekemi Sosrodihardjo (ayah Soekarno) berusia muda.

Soemosewoyo berperan besar dalam ikhtiar Soekemi Sosrodihardjo saat mengejar cinta Idayu Nyoman Rai Srimben, gadis penari suci asal Buleleng Bali. Karenanya keluarga Soemosewoyo dipercaya mewakili orangtua Bung Karno.

Ndalem Pojok menjadi tempat “pelarian” Bung Karno saat dirundung galau. Terutama menyangkut kehidupan pribadinya.

Demikian juga dengan Inggit Garnasih yang merasa lebih akrab dengan keluarga Ndalem Pojok daripada dengan keluarga Istana Gebang Blitar. Menurut Kushartono, Inggit kerap berkunjung ke Ndalem Pojok, belajar membuat jamu, obat dan bedak kosmetik kecantikan Jawa.

Durasi kunjungnya semakin meningkat saat Soekarno menjalani masa pembuangan hingga akhirnya bertemu Fatmawati dan memutuskan untuk menikah yang ketiga kalinya. Tidak heran saat menjadi presiden dan beristana di Yogyakarta, Bung Karno memilih Ndalem Pojok sebagai lokasi kunjungan resminya ke daerah yang pertama kali.

Konon kunjungan resmi itu tidak lepas dari insiden penangkapan Sayid Soemosewoyo oleh militer TNI karena dianggap menyebarkan kabar dusta terkait kedatangan Presiden Soekarno ke Ndalem Pojok Kediri. Selain berziarah Presiden Soekarno kata Kushartono menginap semalam di Ndalem Pojok. Dia tidur kamar di ujung paling belakang.

Sebagai ranjang tidurnya, protokoler dari militer mendatangkan ranjang sendiri. Ranjang besi berteknologi spiral itu konon berasal dari salah satu kamar di Loji perkebunan anggrek di kawasan lereng Gunung Kelud. Selanjutnya di kamar yang sama Bung Karno secara pribadi pernah tidur 5-7 kali.

Saat kembali ke Istana Yogyakarta, lanjut Kushartono, Bung Karno membawa serta Sayid Soemosewoyo, ayahnya (Haryono) dan salah seorang perempuan yang masih kerabat dekat.

Ketiganya tinggal di Istana Negara. Bung Karno mengangkat Sayid Soemosewoyo sebagai Kepala Rumah Tangga Istana sekaligus penasehat spritual presiden.

Bung Karno juga menganugerahi Sayid dengan gelar pahlawan perintis kemerdekaan. “Sebelum meninggal dunia Mbah Sayid sempat berwasiat kepada keturunanya untuk selalu nguri nguri (melestarikan) situs sejarah ini. Sebab berkaitan dekat sejarah perjalanan founding father bangsa Indonesia,“ ujarnya.

Sebagai situs sejarah, ironisnya tidak banyak masyarakat yang berkunjung kesana. Dalam setiap hari rata rata kunjungan hanya 3-5 orang.

Tidak terlihat juga upaya Pemerintah daerah setempat membesarkan situs sejarah perjuangan bangsa ini. Bahkan, sebagai keturunan biologis Bung Karno, Megawati Soekarnoputri hanya sekali bertandang kesana.

Padahal sejarawan dan Indosianis Peter Carey, Peter Kasenda, peneliti Panji dari negara Belgia serta Rektor Universitas Bung Karno pernah berkunjung ke Ndalem Pojok.

“Bu Mega pernah kesini. Yakni jauh sebelum menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan. Justru yang kerap kesini adalah keluarga dari Bu Inggit. Belum lama ini satu rombongan juga kemari,“ pungkasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3835 seconds (0.1#10.140)