Kisah Raden Angga Wacana dan Sejarah Janur Kuning

Jum'at, 14 Oktober 2016 - 05:00 WIB
Kisah Raden Angga Wacana dan Sejarah Janur Kuning
Kisah Raden Angga Wacana dan Sejarah Janur Kuning
A A A
Raden Angga Wacana merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di wilayah Sukapura, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran. Namun tak banyak orang yang mengetahui mengenai sejarah tokoh tersebut, karena tidak dicantumkan dalam buku kurikulum atau ditulis dalam sebuah buku muatan lokal.

Sejarah tersebut hanya dituangkan dalam sebuah buku Babad Cijulang yang merupakan buku kumpulan sejarah dan sebagai Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) nya para karuhun orang Cijulang.

Dalam buku Babad Cijulang diterangkan nama Raden Angga Wacana pada waktu kecil bernama Naga Wacana, seiring dengan usianya yang terus bertambah dan ilmu agamanya semakin fasih, akhirnya dijuluki Raden Angga Wacana.

Salah satu tokoh supranatural asal Cijulang Tatang mengatakan, dikisahkan suatu hari Raden Angga Wacana mendapat kabar bahwa di Kerajaan Cirebon ada sayembara para jawara se Nusa-Jawa.

Peserta sayembara tersebut oleh Raja Cirebon akan diuji untuk meratakan Gunung Hata. Sehingga siapa saja yang berhasil meratakannya akan diberi hadiah salah satu putri Raja Cirebon untuk dinikahi.

“Rencana Raja Cirebon meratakan Gunung Hata bertujuan untuk mendirikan sebuah masjid agar penyebaran Agama Islam bisa maksimal,” kata Tatang.

Kemudian Raden Angga Wacana akhirnya berpamitan ke istrinya hendak mengikuti sayembara tersebut, akhirnya istrinya pun mengizinkannya. Kepergian Raden Angga Wacana hanya dibekali satu nasi bungkus atau nasi timbel untuk menuju lokasi sayembara.

“Setelah sampai di lokasi sayembara, Raden Angga Wacana tidak masuk arena, namun dia merangkai sisa serpihan kayu tatal untuk dijadikan pondasi dan rangka bangunan masjid diluar arena sayembara,” tambah Tatang.

Dengan ilmu yang dimiliki Raden Angga Wacana akhirnya berhasil membuat pondasi dan rangka bangunan masjid dalam hitungan jam.

Setelah rangka dan pondasi selesai dibuat akhirnya Raden Angga Wacana mulai meratakan Gunung Hata dan mulai meletakan rangka dengan pondasinya.

“Tidak lama setelah Gunung Hata rata dan telah disimpan rangka bangunan akhirnya Raja Cirebon kaget dan memberhentikan pertarungan yang diikuti para jawara,” jelasnya.

Raja Cirebon kemudian bertanya kepada seluruh peserta yang hadir dan mengikuti sayembara itu, para jawara dari berbagai daerah akhirnya mengaku kalau rangka bangunan dan Gunung Hata rata oleh para peserta saembara.

“Karena seluruh peserta saling mengklaim dan semua merasa ingin menjadi pemenang akhirnya Raja Cirebon memutuskan untuk mengambil inisiatif lain dengan cara membuat burung dari janur kuning,” paparnya.

Burung tersebut lah yang akan menentukan siapa yang meretakan Gunung Hata.

Setelah janur kuning tersebut berhasil menjadi burung oleh Raja Cirebon akhirnya diterbangkan. Burung itu akhirnya singgah di Raden Angga Wacana, Raja Cirebon pun kemudian berkata kalau pondasi dan rangka bangunan masjid dan Gunung Hata rata merupakan hasil pekerjaan Raden Angga Wacana.

“Raja Cirebon berkata, Raden Angga Wacana, karena engkau berhasil meratakan Gunung Hata dan telah menyiapkan rangka bangunan masjid beserta pondasinya, maka engkau ber hak untuk menikahi putri kami,” urai Tatang.

Namun karena Raden Angga Wacana telah mempunyai isteri akhirnya dia tidak mau menikahi putri Raja Cirebon dan memilih pulang ke Sukapura. Tetapi Raja Cirebon akhirnya mengutus prajurit untuk menyusul Raden Angga Wacana dan harus dinikahkan dengan putrinya.

Setelah prajurit Kerajaan Cirebon berhasil menemukan Raden Angga Wacana, kemudian membujuk Raden Angga Wacana untuk menikahi putri Raja Cirebon. Tapi Raden Angga Wacana tidak mau menikahinya dan terjadilah perkelahian.

Dalam perkelahian tersebut seluruh prajurit Raja Cirebon kalah lantaran setiap prajurit yang menyerang Raden Angga Wacana mematung menjadi batu sesuai posisinya masing-masing. Namun hanya satu orang yang tidak bisa dikalahkan yaitu kakak laki-laki putri Raja Cirebon bernama Sembah Langkung.

“Sembah Langkung akhirnya berhasil membujuk Raden Angga Wacana agar mau menikahi adiknya dan Raden Angga Wacana pun meminta syarat sebagai simbol pernikahannya disaksikan oleh riasan janur kuning,” tegas Tatang.

Setelah Sembah Langkung berhasil menikahkan adiknya ke Raden Angga Wacana akhirnya seluruh peralatan yang dibawa oleh prajurit Kerajaan Cirebon dikumpulkan dan disimpan di sebuah tempat yang kemudian tempat tersebut menjadi batu.

“Hingga saat ini, riasan janur kuning menjadi budaya dan tradisi dalam setiap hajatan terutama hajatan pernikahan di wilayah Jawa Barat,” pungkas Tatang.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4547 seconds (0.1#10.140)