Landreform dan Aksi Sepihak BTI Mengganyang Setan Desa

Senin, 12 September 2016 - 05:05 WIB
Landreform dan Aksi Sepihak BTI Mengganyang Setan Desa
Landreform dan Aksi Sepihak BTI Mengganyang Setan Desa
A A A
HANCURNYA kekuasaan kolonial pada 1942, memiliki arti yang sangat penting, lebih dari sekedar peralihan tampuk kekuasaan dari tangan kolonial ke penguasa fasisme Jepang dan akhirnya ke Pemerintah Republik Indonesia (RI) yang berdaulat.

Ditinjau secara sosiologis, terungkap bahwa hancurnya kekuasaan kolonial membawa pula kehancuran nilai-nilai kepatuhan, aturan, disiplin sosial, dan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa.

Puluhan tahun kekuasaan kolonial telah memberikan pemahaman dan citra ala kadarnya tentang bangunan sosial kepada masyarakat.

Administrasi rutin yang sudah berjalan selama berpuluh tahun, lenyapnya tuan-tuan kebun, kontrolir, polisi intelijen, polisi desa, dan macetnya produksi kolonial, memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada masyarakat, bahwa semua hal bisa hancur dalam sekejap.

Berakhirnya masa pendudukan Jepang, kian menambah tajam konsep kemerdekaan Indonesia. Dalam minggu-minggu pertama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi banyak kekacauan di pedesaan.

Banyak kepala desa, polisi, dan pejabat daerah yang dicopot langsung oleh rakyat. Di beberapa daerah, bahkan kepala daerah dibunuh secara kejam. Dalam situasi yang serba kacau itulah, gerakan petani atau sengketa agraria yang merebak pasca kemerdekaan berlanjut di tahun 1960 dalam bentuk aksi-aksi sepihak.

Bagaimana jalannya peristiwa itu? Benarkah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penjarahan tanah? Berikut ulasan ringkas Cerita Pagi.

Sebelum masuk ke pokok bahasan, baiknya kita ulas secara singkat riwayat pembentukan Undang-undang Agraria yang diklaim sebagai produk komunis.

Dalam kata pengantar buku karangan Aminuddin Kasdi yang berjudul Kaum Merah Menjarah, Guru Besar Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Prof Dr Soegijanto Padmo membantah klaim tersebut.

Menurutnya, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 mengenai landreform bukan produk kaum komunis. Karena yang menyusun konsep perundang-undangan dan penataan sistem agraria itu adalah UGM.

"Dalam upaya melaksanakan imbauan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk restrukturisasi agraria.. maka pemerintah RI meminta Fakultas Hukum UGM untuk menyusun konsep perundang-undangan bagi penataan sistem agraria di Indonesia," katanya.

Sementara terkait tudingan Aminuddin Kasdi yang menyatakan kaum merah melakukan penjarahan, salah seorang pejabat teras PKI Hasan Raid membantah.

Dalam konteks landreform, menurutnya yang melakukan penjarahan atas tanah adalah para tuan tanah, bukan petani penggarap. Hal itu dapat dibuktikan dengan mempelajari sejarah perkembangan masyarakat yang dimulai dari masyarakat primitif, pemilikan budak, feodalisme, kapitalisme, dan sosialisme.

Pada konteks ini, petani penggarap harus dilihat sebagai korban penjarahan dari tuan tanah yang menuntut balik haknya. Penjarahan oleh tuan tanah terhadap petani penggarap dilakukan dengan menghisap hasil tenaga kerja kaum tani.

Kembali ke pokok persoalan, rancangan awal UUPA pertama kali dibuat pada 1948 dengan dibentuknya Panitia Agraria Yogya, dan Panitia Agraria Jakarta pada 1951. Panitia ini bertugas menyusun dasar-dasar hukum agraria baru sebagai pengganti hukum agraria warisan Belanda.

Pada tahun 1955, pemerintah membentuk Kementerian Agraria yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Setahun kemudian, pada 1956, pemerintah membentuk panitia agraria yang baru untuk menyusun rancangan UUPA yang bersifat nasional.

Peletakkan batu pertama UUPA ditancapkan pertama kali oleh Bung Karno, pada 17 Agustus 1959. Saat itu, Bung Karno menyatakan akan menghapus hak eigendom tanah warisan kolonial dalam hukum pertahanan Indonesia. Setahun kemudian, persoalan ini ditegaskan lagi dalam pidatonya,

"Landreform.. berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.. Tanah untuk tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!" tegasnya.

Pidato Bung Karno inilah yang dijadikan pedoman umum pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) No 2 Tahun 1960 akhirnya disahkan. Disusul dengan disahkannya UUPA No 5 Tahun 1960 mengenai landreform.

Secara umum, pelaksanaan landreform meliputi larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas, larangan kepemilikan tanah absentee, redistribusi tanah yang kelebihan dari batas maksimum dan yang terkena absentee, pengaturan pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan ulang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan batas minimun kepemilikan tanah pertanian.

Meski keputusan pelaksanaan landreform telah dicanangkan pemerintah pada 1960, namun pelaksanaan riilnya harus menunggu dua tahun kemudian. Pada 1961 hingga pelaksanaan landreform, pemerintah menyusun aturan-aturan landreform, dan panitia pelaksana program itu.

Seluruh pejabat pusat dan daerah dilibatkan dalam kepanitiaan landreform. Mulai dari Presiden, gubernur, bupati, camat, dan lurah. Namun penanggungjawab kegiatan tetap berada di pemerintah tingkat kota dan kabupaten.

Setelah dua tahun berjalan, akhirnya program landreform dilakukan dengan batas waktu hingga tahun 1964 harus sudah selesai semua. Tahap pertama landreform dilakukan di Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Tahap kedua di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya.

Tanah yang menjadi sasaran landreform adalah tanah-tanah absentee, tanah swapraja, dan tanah-tanah yang berada di bawah kekuasaan negara. Awalnya, luas tanah yang terkena landreform adalah 966.150 hektare. Namun akhirnya dikoreksi oleh pemerintah pada 1963, menjadi hanya 337.445 hektare.

Dalam praktiknya, pemerintah tidak berdaya menjalankan landreform. Pada saat itulah, PKI dan BTI memainkan peran sebagai pelaksana UUPBH dan UUPA. Tercatat, sebanyak 396 perjanjian bagi hasil telah dibuat atas dorongan mereka.

PKI dan BTI juga berhasil mendorong kenaikan upah buruh tani di sejumlah sejumlah kecamatan. Upah mencangkul dari yang sebelumnya Rp7,50 naik menjadi Rp10, bajak sawah dari Rp15 naik menjadi Rp25, dan upah tandur dari Rp2,50 naik menjadi Rp3,50.

Menanggapi kelemahan pemerintah, Ketua BTI Asmoe menyatakan, perubahan tanah hanya bisa dilakukan oleh kaum tani sendiri. BTI lalu membuat gerakan 6, yakni turun sewa, turun bunga, naik upah, naik produksi, naik kebudayaan, dan naik politik.

Sejak pernyataan Asmoe dalam Kongres Nasional ke-VI BTI, pada 23 Juli 1962, aksi-aksi kaum tani menuntut pelaksanaan bagi hasil dan pembagian tanah berlangsung di seluruh Jawa. Hingga 1963, BTI mencatat tanah yang dibagi-bagikan sudah mencapai 35.978 hektare.

Namun, angka itu dikoreksi oleh PKI dengan menyatakan tanah telah dibagikan hingga 1963 baru 19 ribu hektare. Pada 1965, Menteri Agraria Sadjarwo mengumumkan pelaksanaan landreform tahap pertama telah selesai dan telah berjalan dengan cukup lancar.

Sadjarwo juga menyatakan, hingga 1964, sudah 450 ribu hektar tanah yang dibagikan. Tetapi laporan ini mendapat koreksi total dari PKI. Dengan menunjukkan data kuat, mereka menyatakan baru 18 ribu hektare tanah yang dibagikan di Jawa Timur. Sedang sisanya, yakni 30 ribu hektare tanah masih belum dibagikan.

Dalam laporannya, PKI juga memberikan bukti-bukti adanya berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan landreform, seperti sabotase, dan permainan tuan tanah dengan pejabat agraria.

Dalam sidang Pleno CC PKI 1963, DN Aidit menegaskan dari satu juta hektare tanah lebih, baru 200 ribu hektare yang telah terdaftar. Dari jumlah tanah yang terdaftar, baru 9% atau sekitar 18 ribu hektare yang telah dibagikan.

Dalam riset yang dilakukan PKI, salah satu penghambat dari pelaksanaan UUPBH dan UUPA adalah setan desa yang salah satunya adalah tuan-tuan tanah jahat. Para tuan tanah jahat ini terdiri dari bekas anggota Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang menyokong pemberontakan DI-TII.

Secara khusus, riset PKI itu juga mengungkapkan, para tuan-tuan tanah jahat itu banyak bersarang di dalam Majelis Ulama (MU) dan suka mencari perlidungan pada alat-alat kekuasaan sipil dan militer setempat, seperti lurah, koramil, bintara pembina wilayah, hansip, organisasi pertahanan rakyat, dan lainnya.

Di antara tuan-tuan tanah itu adalah haji dan kiai yang menyalahgunakan agama untuk memperluas milik tanahnya dan memperhebat penghisapan terhadap kaum tani.

Aksi-aksi sepihak BTI dalam menjalankan landreform mulai muncul ke permukaan sebagai isu nasional setelah mendapatkan pertentangan keras dari organisasi-organisasi keagamaan, seperti Pemuda Ansor dari Nahdlatul Ulama (NU).

Di Klaten, aksi sepihak dimulai dengan rapat terbuka di alun-alun kota, pada 1964. Dalam aksinya, massa BTI membentangkan spanduk bertuliskan Tanah Untuk Petani Penggarap, dan Gantung Setan Desa. Tokoh PKI hadir dalam aksi petani ini di antaranya adalah Nyoto.

Aksi-aksi sepihak petani diarahkan untuk pengambilalihan tanah-tanah gadai dan sewa, pengubahan perjanjian bagi hasil menurut UUPBH, pembatalan penggadaian tanah dan ijon, dan pembelaan terhadap petani liar yang menempati daerah perkebunan atau absentee.

Menurut Aminuddin Kasdi, aksi sepihak tahun 1964 mengikuti model peristiwa Jengkol,di Kediri, pada 15 November 1961. Bedanya, dalam kasus Jengkol tanah yang disengketakan adalah milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), dan pada aksi sepihak tanah yang disengketakan adalah tanah lebih.

"Pendapat ini muncul berdasarkan asalan.. bentuk penggalangan massa, model-model perkelahian, penggarapan lahan, dan pengumpulan dana yang dilakukan di Jengkol juga dilakukan BTI di tempat lain, misal di Desa Bukur, Patianrowo, Nganjuk," terangnya.

Dalam melaksanakan landreform, massa BTI/PKI kerap terlibat bentrok dengan setan-setan desa. Di Jawa Timur, aksi sepihak dilakukan sepanjang tahun 1964. Hingga tahun 1965, sedikitnya empat anggota PKI/BTI tewas, 43 petani mengalami luka-luka, 409 kader BTI dibui, 50 hektare tanaman hancur, dan 13 rumah anggota BTI dibakar.

Pada peringatan 1 Mei 1965, sekitar 100 pemuda Islam dari PII, Pemuda Muhammadiyah, dan Pemuda Ansor berkumpul ke Dadung. Mereka diminta untuk menggagalkan aksi landreform yang dilakukan BTI.

Saat rapat landreform yang menghadirkan perwakilan BTI, tuan tanah, dan perwakilan pemerintah memanas, tiba-tiba terdengar bunyi peluit yang diikuti dengan teriakan Allahu Akbar. Sebanyak 100 pemuda langsung berhamburan mengepung lokasi rapat, mereka langsung menangkapi, dan memukuli para petani.

Para petani penggarap yang kabur dikejar, ditangkap lalu dipukuli dan ditendang kepalanya. Rumah-rumah mereka diserang batu dan dibakar. Korban penganiayaan ini adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang tidak berdaya, berusia antara 30-60 tahun.

Demikian program landreform yang dicanangkan pemerintah mengalami kegagalan di banyak tempat, dan aksi-aksi sepihak petani berhasil dihancurkan. Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi diakhiri, semoga memberikan manfaat.

Sumber Tulisan
*Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, Jendela, Cetakan Pertama, Mei 2001.
*Andi Achdian, Tanah bagi Yang Tak Bertanah, Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965, Kekal Press. Cetakan Pertama, Februari 2009.
*Y Wartaya Winangun, Tanah, Sumber Nilai Hidup, Kanisius, 2004.
*Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno, Ideologi dan Politik 1959-1960, Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, 2012.
*DN Aidit, Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1964.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6345 seconds (0.1#10.140)