Riwayat Haji Misbach, Radikalisasi Gerakan Petani di Surakarta (I)

Senin, 20 Juni 2016 - 05:05 WIB
Riwayat Haji Misbach, Radikalisasi Gerakan Petani di Surakarta (I)
Riwayat Haji Misbach, Radikalisasi Gerakan Petani di Surakarta (I)
A A A
MISBACH adalah tokoh historis dalam gerakan komunisme-Islam. Dia adalah the great man dalam gerakan komunisme Islam, di Surakarta. Karismanya terlalu besar untuk diabaikan begitu saja. Inilah riwayat mubalig merah itu.

Misbach lahir tahun 1876 di Kauman, Surakarta. Dia merupakan anak seorang pengusaha batik kaya Dipowirono. Nama kecilnya adalah Achmad. Setelah menikah, dia mengubah namanya dari Achmad menjadi Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah haji, namanya kembali diubah menjadi Misbach. Dia kemudian dikenal sebagai Haji Moehammad Misbach.

Misbach dididik dan dibesarkan dalam lingkungan pondok pesantren. Dia mampu berbahasa Arab dan pengetahuannya terhadap ilmu agama Islam sangat baik. Dia juga mengikuti pendidikan formal di sekolah bumiputera Ongko Loro.

Masa mudanya banyak dihabiskan untuk berdagang, mengikuti jejak ayahnya merintis usaha batik. Bakatnya berdagang mengantarkan bisnis batiknya tumbuh pesat, hingga melambungnya namanya sebagai orang terkaya di Surakarta.

Seperti diketahui, kampung halaman Misbach di Kauman, terkenal sebagai kampung santri. Nama Kauman sendiri berasal dari kata Qouman (Arab) yang berarti kaum (Muslim). Kampung yang terletak di sisi barat alun-alun utara Kasunanan Surakarta ini banyak dihuni oleh para penghulu dan ketib, dan memiliki pusat ibadah Masjid Agung yang tersohor.

Pada titik ini, Misbach muda adalah seorang teladan. Dia seorang santri yang taat, dan pengusaha kaya yang sangat disegani. Kepeduliannya bukan hanya terhadap perkembangan agama Islam, tetapi juga terhadap dunia pendidikan.

Saat periode zaman bergerak, Misbach ikut dalam gelombang pergerakan. Diawali dengan mendirikan pusat pengajian di Keprabon dan Kampung Sewu, serta madrasah dan pusat pertemuan rakyat yang selalu melahirkan ide-ide progresif.

Misbach mulai terlibat dalam pergerakan rakyat secara intensif, pada tahun 1914, dengan bergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB), perkumpulan wartawan pertama di Indonesia yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo. Dia juga langganan tetap surat kabar Doenia Bergerak, badan perjuangan IJB yang terbit seminggu sekali, di Solo.

Setahun setelah bergabung dengan IJB, Misbach menerbitkan surat kabarnya sendiri Medan Moeslimin. Nomor pertama surat kabar itu tertanggal 15 Januari 1915. Dalam surat kabarnya, Misbach banyak bicara tentang agama Islam.

Dalam artikel pertamanya di Medan Moeslimin berjudul Seruan Kita, Misbach menulis, "Sekarang nyatalah perintah Tuhan, kita harus bergerak bersama-sama, artinya yang kaya membantu dengan harta bendanya, yang pintar membantukan kepintarannya, dan dirinya, agar supaya bangsa kita tiada kena tipu daya orang yang ingin merusak agama Islam."

Tulisan Misbach yang mengalir deras bernada gugatan itu, seperti seorang mubalig yang sedang berbicara dalam satu pertemuan tablig. Dengan mengutip ayat-ayat suci Alquran, Misbach tampil sebagai pejuang Islam yang tangguh.

Sejak seruannya diterbitkan, Misbach berhasil menghimpun para pedagang batik di Surakarta dalam perkumpulan Sidik Amanat Tablig Vatonah (SATV). Perkumpulan ini meniru tablig Muhammadiyah yang bertujuan ingin memajukan Islam.

Namun, ada beberapa perbedaan mendasar antara SATV dengan Muhammadiyah. Jika propagandis Muhammadiyah bergerak atas dasar militansi bahwa bekerja untuk Muhammadiyah diartikan sebagai sikap seorang Muslim sejati, SATV justru bergerak atas dasar kekecewaan terhadap sikap pejabat keagamaan dan pemerintah kapitalistik yang pro-Kristen.

Para pedagang batik dalam SATV juga ingin membuktikan dirinya sebagai Muslim sejati, dengan menyatakan perang dan membongkar kebohongan para Muslim gadungan. Suara mereka bisa dibaca dalam Medan Moeslimin dan Islam Bergerak.

Selain aktif dalam SATV dan IJB, Misbach juga terlibat dalam kegiatan propaganda Sarekat Islam (SI). Misbach dipilih Tjokroaminoto sebagai propagandis Tentara Kandjeng Nabi Moehammad (TKNM) yang dibentuknya tahun 1918.

Kehadiran Tjipto Mangoenkoesoemo di arena pergerakan sebagai anggota Volksraad menyebabkan bangkitnya Insulinde di Surakarta. Pada awal 1918, Insulinde afdeling Surakarta hanya merupakan perkumpulan kecil yang tidak berpengaruh. Saat itu, anggota Insulinde sebagian besar masih di isi orang Indo, Tionghoa peranakan, dan priyayi profesional.

Namun, sejak bergabungnya Misbach, Insulinde mengalami perubahan besar dan mendasar. Dalam setahun saja, Misbach berhasil melipat gandakan anggota Insulinde menjadi 10.000 orang dengan cara memobilisasi petani di Surakarta.

Tidak hanya itu, Misbach juga berhasil mengubah keanggotaan Insulinde dari perkumpulan elite, menjadi perkumpulan terbesar yang di isi oleh bumiputera. Keberhasilan Insulinde dalam memobilisasi petani di daerah pedalaman Surakarta ini, ternyata melebihi prestasi SI dalam melakukan mobilisasi buruh dan tani sejak 1918.

Aktivitas Insulinde ini dengan cepat meradikalisasi gerakan petani di Surakarta. Kunci keberhasilan Misbach dalam memobilisasi petani adalah SATV. Melalui propaganda Islam-nya, Misbach dengan cepat menarik hati para petani.

Selain itu, Misbach juga aktif dalam Perkoempulan Kaoem Boeroeh dan Tani (PKBT) Surakarta. Perkumpulan ini adalah kelompok revolusioner yang mendapat dukungan dari Insulinde Surakarta dan SI Semarang, kubu kiri dalam SI.

Meski dikenal sebagai seorang propagandis yang tanpa kompromi terhadap musuh-musuhnya, Misbach dikenal sebagai pribadi yang ramah. Dia tidak pernah pelit dengan senyum kepada orang-orang yang ditemuinya, dan sikapnya tidak kenal kasta. Dalam pandangannya, tidak ada beda antara seorang pencuri biasa, maupun mereka yang berpangkat.

Misbach juga senang memakai kain kepala, ketimbang peci Turki atau sorban, seperti kebanyakan orang yang disebut haji. Baginya, tidak ada beda antara mereka yang bersorban cara Arab dengan mereka yang berkain kepala cara Jawa.

Penampilan dan sikap Misbach yang ramah ini, membuat sosoknya sangat disenangi kawan dan disegani lawan. Dalam kalangan anak-anak muda, Misbach bisa menjadi teman melancong. Begitu pula dikalangan wayang orang, dia lebih dihormati dari pada dalangnya. Dari sebab itu, di mana-mana Misbach memiliki kawan dari semua golongan rakyat.

Tetapi bagi orang-orang yang mengaku Islam dan lebih mementingkan mengumpulkan untuk harta benda daripada menolong kesusahan rakyat, Misbach seperti seekor harimau lapar dan buas di dalam kalangannya binatang-binatang kecil.

Periode ini merupakan puncak dari aktivitas revolusioner Misbach. Pada 23 Februari 1919, di Kelurahan Nglungge, kring Insulinde yang didirikan pada 16 Februari 1919, terjadi pemogokan petani yang dilakukan para kuli kenceng.

Penyebab pemogokan petani adalah, semua kuli kenceng diberi setengah bau tanah sawah dari tanah komunal desa, dan diharuskan membayarkan pajak tanah untuk tanah pekarangan rumah, dan lahan sawah mereka, serta melakukan kerja wajib bagi desa dan negara. Dalam kerja wajib negara, mereka harus bekerja sekali seminggu memelihara jalan umum.

Tidak hanya itu, mereka juga diharuskan menjalankan ronda malam, serta patroli di jalan umum tiap 35 hari sekali. Sedang untuk desa, mereka diwajibkan ronda lima hari sekali, dan pekerja desa dibebaskan dari kerja wajib ini.

Pemogokan petani di Nglungge ini berlangsung selama sebulan. Sebagai akibatnya, para pemimpin kring ditangkapi. Menanggapi peristiwa ini, Misbach mengajukan protes. Namun, suaranya tidak didengar dan pemogokan ditumpas.

Pemogokan juga terjadi di perkebunan Tegalgondo, tempat kring Insulinde berdiri di Karang Duren dan Klaseman, pada 10 April 1919. Sebanyak 170 orang kuli kenceng Dimoro, di Desa Klaseman mogok massal. Mereka menolak kerja wajib perkebunan dan menuntut naiknya glidig. Para pemogok juga menyatakan dirinya sebagai anggota Insulinde.

Pada 16 April 1919, pemogokan petani juga terjadi di Dese Tempel. Kemudian pada 20 April 1919, kring Karang Duren mengadakan pertemuan membicarakan pemogokan para kuli kenceng, dan hasilnya adalah mengikuti jejak pemogokan.

Situasi semakin panas setelah pidato Misbach, pada 23 April 1919. Dalam pertemuan itu, Misbach menyemangati para pemimpin kring yang melakukan pemogokan untuk terus berjuang di jalan Allah, dan menyerang sikap pemerintah.

Setelah pidato Misbach, pemogokan kembali pecah di ladang tembakau Kagokan. Aksi pemogokan ini diikuti oleh kuli kenceng di Wironangan, pada 25 April 1919. Aksi pemogokan bertambah kencang pada Mei 1919. Sebanyak 17 desa dengan jumlah 20.000 lebih petani melakukan pemogokan di perkebunan Tegalgondo, dan menuntut kenaikan glidig.

Aksi pemogokan berakhir dengan penangkapan para pemimpin kring. Yang pertama ditangkap adalah Wongsosoediro dari Dimoro, dan H Bakri. Setelah itu, terjadi penangkapan besar-besaran. Pada awal Mei 1919, 80 orang petani ditangkap. Termasuk semua pemimpin kring Karangduren, Klaseman (Dimoro), Tempel, Sraten, Wironangan, dan Kagokan.

Pada 7 Mei 1919, pemimpin teras Insulinde afdeling Surakarta ditangkap. Terdiri dari Misbach, Darsosasmito, dan Gatot Sasrodihardjo. Untuk mencegah perlawanan petani, polisi bersenjata lengkap disiagakan di desa-desa.

Sebagai tokoh terkemuka Insulinde, Misbach dianggap bertanggungjawab terhadap aksi pemogokan petani. Padahal, dia tidak terlibat. Sebab, Insulinde memang tidak pernah mengeluarkan keputusan untuk membuat suatu aksi pemogokan.

Penangkapan dan penahanan terhadap Misbach menuai protes dari kalangan pergerakan. Banyak dari mereka bersaksi bahwa Misbach tidak terlibat pemogokan petani. Tidak hanya dari Insulinde, protes juga datang dari Muhammadiyah.

Karena tidak ada bukti kuat untuk menjerat Misbach, dalam persidangan pada 22 Oktober 1919, akhirnya dia divonis bebas. Keputusan bebas Misbach disambut gembira dan suka cita. Sejak itu, Misbach dianggap sebagai pahlawan yang membela kepentingan-kepentingan petani. Penangkapannya dianggap sebagai kesalahan Residen Surakarta.

Bersambung..


Sumber Tulisan:
Dr Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1924, LKiS, Cetakan I, 2015.
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisasi Rayat di Jawa 1912-1926, Grafiti, Cetakan 2, 2005.
Edi Cahyono, Jaman Bergerak di Hindia Belanda, Yayasan Pancur Siwah-Yayasan Penebar, Cetakan Pertama, November 2003.
Zainul Munasichin, Berebut Kiri, Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926, LKiS, Cetakan I, September 2005.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9192 seconds (0.1#10.140)