Tantangan Berat Penyelenggara Pemilu, Gelar Pilkada di Tengah Pandemi

Rabu, 22 Juli 2020 - 16:56 WIB
loading...
Tantangan Berat Penyelenggara...
Kapolda Jawa Tengah Irjend Pol Ahmad Lutfi saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Pilkada Serentak Jateng 2020 Aman dan Bergembira Tanpa Provokasi. Foto: Tangkapan Layar.
A A A
SOLO - Pemilihan kepala daerah (pilkada) di tengah situasi pandemi COVID-19 menjadi tantangan bagi pemerintah, aparat keamanan dan penyelenggara pemilu. Pesta demokrasi lima tahunan ini harus tetap berjalan sukses tanpa menimbulkan resiko.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk "Pilkada Serentak Jateng 2020 Aman dan Bergembira Tanpa Provokasi", yang digelar secara daring melalui aplikasi Zoom, Rabu (22/7/2020).

Diskusi yang digelar PWI Surakarta bersama Polda Jateng , KPU Provinsi Jateng dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), menghadirkan empat pembicara. Yakni Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi, Presidium Mafindo Anita Wahid, Ketua KPU Provinsi Jateng Yulianto Sudrajat dan Pengamat Politik dan Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riwanto.

Sejumlah wartawan dari berbagai media, memantau jalannya diskusi dari area Gedung Monumen Pers, di Kota Solo. Untuk wilayah Jateng, pilkada serentak akan digelar di empat kota dan 17 kabupaten. Dalam diskusi, mengemuka terkait penerapan protokol kesehatan yang mutlak harus diterapkan agar pilkada tidak menjadi klaster baru dalam kasus COVID-19. Persoalan lainnya adalah kemungkinan turunnya tingkat partisipasi, maupun potensi pelanggaran aturan pemilu.

Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi menegaskan, pihak terkait akan diajak berkoordinasi untuk memastikan, bahwa penerapan protokol kesehatan harus diterapkan dalam setiap tahapan pilkada.

"Polisi yang bertugas juga sudah dibekali 13 langkah penerapan protokol kesehatan. Seperti memakai masker, cuci tangan, baju lengan panjang, dan sebagainya. Sebelum menertibkan masyarakat, polisi harus tertib menerapkan protokol," tandas Ahmad Lutfi.(Baca juga : Achmad Purnomo Beri Sinyal Mundur dari Dunia Politik )

Untuk pengamanan pilkada, ada 14.575 personel yang diterjunkan Polda Jateng, plus backup 720 anggota Brimob. Mereka akan mem-back up pengamanan di 44.385 TPS di seluruh wilayah yang menyelenggarakan pilkada.

Presidium Mafindo Anita Wahid menyoroti fenomena hoaks yang selalu marak di setiap helatan pilkada. Dari penelusuran Mafindo, menjelang Pilkada 2018, produksi hoax tiap bulan selalu lebih dari 60 berita. Bahkan di bulan April mencapai 101 informasi palsu.

Sementara di Oktober sebanyak 111 informasi palsu. Lainnya di kisaran angka 70 hingga 80 berita palsu. "Hoaks sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Namun saat ini, dengan perkembangan teknologi digital, hoaks jadi lebih mudah disebar, jangkauannya luas dan cepat, biayanya murah. Kerap berisi tentang black campaign, atau informasi yang menyerang pihak tertentu. Di Indonesia, isu agama, ras, ideologi paling banyak untuk materi hoaks," jelas Anita Wahid.

Di dunia politik, hoaks kerap digunakan sebagai senjata untuk menyerang kubu lawan.
Namun target utama dari penyebaran hoaks adalah masyarakat umum, yang akan menerima informasi-informasi palsu tersebut, hingga akhirnya mempercayai berita palsu yang disebarkan menjadi kebenaran.

"Dan pada akhirnya, karena informasi palsu yang terus menerus diterima, akan berubah menjadi kebencian. Dan itu berlangsung tidak hanya sehari-dua hari, tapi bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Kita tahu, efek Pilpres 2014 masih berlangsung hingga sekarang," tuturnya.

Menurutnya, hoaks terus disebarkan dengan tujuan memelihara kebencian, hingga orang tidak bisa berpikir netral dan rasional. "Dampaknya, karena termakan hoaks, kita kehilangan makna hidup bersama, persaudaraan terkikis," tuturnya.

Untuk mengantisipasinya, Anita berharap, agar semua stakeholder bergandeng tangan, mencegah informasi palsu beredar luas di masyarakat. Misalnya KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu, harus lebih cermat mendengar info yang beredar di masyarakat. Jika menemukan indikasi hoaks, segera lakukan klarifikasi.

Jangan sampai dibiarkan terlalu lama. Sebab, hoaks yang dibiarkan lebih dari empat jam tanpa klarifikasi akan sangat susah untuk meluruskannya. Stakeholder terkait juga harus selalu mengingatkan masyarakat, bahwa pilkada hanya event sesaat. Yang lebih penting adalah pasca pilkada, bahwa kita semua bersaudara, tetap sedulur, tetap guyub, meskipun berbeda pilihan saat pesta demokrasi.

“Ini penting, agar pesta demokrasi tidak merusak hubungan antarmanusia, antar teman, dan sebagainya. KIta harus menjaga sisi kemanusiaan kita," imbuhnya.

Ketua KPU Jateng Yulianto Sudrajat menegaskan, pihaknya terus menyosialisasikan terselenggaranya pesta demokrasi yang gembira tanpa dinodai hoaks.

"Kita punya kultur adiluhing. Jangan sampai pemilu menjadi semakin liberal, makin mengutamakan kelompok, sehingga proses kontestasi menjadi sangat gaduh," ucap Julianto. Terkait pelaksanaan pemilu di tengah pandemi COVID-19, Yulianto menyebutkan, tantangannya sangat berat.

Sebab, penyelenggara pemilu dituntut untuk bisa menjalankan seluruh tahapan pilkada dengan nyaman, sehat dan selamat. "Penerapan protokol kesehatan menjadi mutlak. KPU sudah mengeluarkan Peraturan KPU 6 / 2020 tentang pilkada di masa pandemi. Di situ mengatur seluruh tahapan yang harus mematuhi standar protokol kesehatan," katanya.

KPU juga membangun rasa optimistis ke masyarakat, bahwa pilkada bisa dilaksanakan dengan aman, tanpa memunculkan kekhawatiran akan menjadi klaster baru kasus COVID-19.

Diakuinya membutuhkan banyak penyesuaian. Misalnya nanti, rapat pleno terbuka hanya dihadiri pihak terkait dan disiarkan via medsos, agar masyarakat bisa menyaksikan.

“Kampanye juga ada penyesuaian, agar tidak menghadirkan kerumunan massa. Lebih memanfaatkan teknologi informasi. Debat paslon digelar dengan menyesuaikan situasi," tandasnya.

Pengamat Pengamat Politik dan Hukum UNS Agus Riwanto mengatakan, COVID-19 berpotensi memundurkan dan menyebabkan cacat demokrasi.

Sebab, COVID-19 dengan beragam aspeknya mengganggu pelaksanaan praktik-praktik demokrasi. "Ada banyak agenda demokrasi yang tidak bisa dijalankan dengan baik. Anggaran pemilu juga berpotensi membengkak. Ini risiko dari tetap dijalankannya pesta demokrasi di tengah suasana COVID," urai Agus. Salah satu tantangan terberat adalah tingkat partisipasi masyarakat yang rendah.(Baca juga : Sah, Pasangan Hidup di Bangunan Tua Menikah di Kantor Polisi )

Karena mereka takut untuk berkerumun, datang ke TPS untuk memberikan hak suara, ataupun terlibat dalam kegiatan lain terkait pemilu. Risiko lain dari pilkada di masa pandemi adalah kompetisi yang tidak fair. Ada kemungkinan penyalahgunaan bansos, kampanye yang tidak maksimal dan politik uang makin tinggi. Maka di Pilkada 2020 ini, yang paling berpotensi menang itu incumbent," imbuhnya.
(nun)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2619 seconds (0.1#10.140)