Soeharto, dari Gestok sampai Supersemar

Minggu, 06 Maret 2016 - 05:05 WIB
Soeharto, dari Gestok sampai Supersemar
Soeharto, dari Gestok sampai Supersemar
A A A
SURAT Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 merupakan tonggak penting dalam sejarah lahirnya Orde Baru. Namun sejak Orde Baru tumbang dan berganti rezim reformasi hingga saat ini, peristiwa itu mulai banyak dilupakan orang.

Penulisan sejarah lahirnya Supersemar dalam pengertian politik dewasa ini tentu tidak relevan. Tetapi sebagai pengetahuan sejarah bagi generasi muda, Supersemar merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari.

Sedikitnya ada tiga hal yang membuat Supersemar penting bagi pelajaran generasi muda. Pertama, Supersemar merupakan satu "terobosan berani" dalam karir politik Soeharto yang membawanya menjadi Presiden menggantikan Soekarno.

Kedua, melalui Supersemar, Soeharto berhasil dengan sangat gemilang mengubah wajah politik Indonesia sampai ke dasarnya yang paling dalam. Ketiga, dampak Supersemar masih bisa dirasakan hingga saat ini dan oleh generasi yang akan datang.

Besarnya dampak peristiwa itu menarik Cerita Pagi. Sebagai suatu peringatan atas lahirnya Supersemar, penulis akan mencoba mengulas peristiwa bersejarah itu. Ulasan ini akan dimulai pada malam sebelum pecahnya Gerakan 1 Oktober 1965.

Malam sebelum Prahara

Malam hari ditanggal 30 September 1965, sekitar pukul 21.00 Wib, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta, Soeharto beserta sang istri Tien Soeharto datang membesuk anaknya Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto.

Saat itu, Tommy menderita sakit akibat tersiram sup air panas. Usia Tomy saat itu baru empat tahun. Sekitar pukul 22.00 Wib, Kolonel Latief yang juga pemimpin Gerakan 30 September (G30S) datang menemui Soeharto memberikan laporan.

Dalam laporannya, Latief memastikan bahwa besok pagi ditanggal 1 Oktober 1965 ada tujuh orang jenderal AD yang akan dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Mendengar laporan Latief, Soeharto manggut-manggut tanda setuju.

Soeharto lalu bertanya kepada Latief, siapa yang memimpin gerakan? Dijawab Latief, "Letkol Untung." Setelah memberikan laporan singkat itu, Latief meninggalkan Soeharto bersama keluarganya di rumah sakit pukul 23.00 Wib.

Setelah menerima laporan Latief, Soeharto tidak langsung melapor kepada atasannya, yakni A Yani dan AH Nasution yang ternyata termasuk jenderal yang akan dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Sebaliknya, Soeharto diam menunggu.

Dalam buku otobiografi, Soeharto mengatakan setelah Latief pergi, dirinya diminta Ibu Tien pulang karena anaknya yang bungsu di rumah sendiri. Saat itu pukul 12.00 Wib. Setibanya di rumah, Soeharto langsung tidur di kasur empuk.

Pasukan Liar Soeharto


Jauh hari sebelum Soeharto bertemu Latief, Letkol Untung datang menghadap. Pertemuan Soeharto dengan Untung terjadi pada 15 September 1965. Saat itu, Untung melapor bahwa dirinya ingin mendahului gerakan Dewan Jenderal.

Reaksi Soeharto saat mendengar laporan Untung pertama-tama adalah sangat tenang, lalu menyatakan setuju. Dia bahkan menawarkan jasa memberikan bantuan pasukan kepada Untung yang didatangkan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Melalui radiogram pada 21 September 1965, Soeharto meminta agar Yon 530/Para Brigade 3/Brawijaya datang ke Jakarta dengan alasan untuk persiapan Hari Ulang Tahun (HUT) ABRI ke-20 pada 5 Oktober 1965.

Dalam radiogram bernomor 220 dan 239, Soeharto meminta agar semua pasukan yang datang menggunakan perlengkapan tempur garis pertama. Perintah langsung dilaksanakan dan pasukan diberangkatkan. Inilah pasukan yang dijanjikan Soeharto.

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, sekira pukul 02.00 Wib, pasukan Yon 530 yang dipimpin Wakil Komandan Bataliyon 530/Para/Brawijaya Mayor TNI (Purn) Soekarbi diberangkatkan menuju kompleks Monumen Nasional (Monas).

Di kompleks Monas, pasukan Soekarbi ditempatkan di depan Istana Presiden. Tentara inilah yang kemudian dikenal sebagai pasukan liar. Padahal, itu adalah pasukan yang dikirim Soeharto untuk membantu Untung mendahului Dewan Jenderal.

Sepulang dari rumah sakit, ternyata Soeharto tidak langsung pulang ke rumah dan tidur seperti yang dipaparkan dalam buku otobiografinya. Tetapi langsung ke Makostrad dan melakukan pengecekan terhadap pasukannya yang ada di sekitar Monas.

Setelah memastikan pasukannya telah siap, dia baru pulang ke rumahnya, di Jalan H Agus Salim, Jakarta dan bisa tertidur pulas. Informasi ini diketahui berdasarkan keterangan dari Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio.

Penculikan dan Pembunuhan

Dini hari tanggal 1 Oktober 1965, laporan Latief terbukti. Beberapa perwira tinggi AD diculik dari rumah mereka saat tengah tertidur pulas dan dibunuh dengan kejam oleh Gerakan 30 September (G30S) pimpinan Letkol Untung.

Para perwira tinggi itu adalah Letjen A Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Brigjen DI Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo dan Pierre Tendean. Sementara AH Nasution berhasil meloloskan diri.

Saat Latief datang melapor, Soeharto sebenarnya sudah menduga akan adanya pembunuhan itu. Karena dalam militer tidak ada istilah menculik, yang ada hanya tangkap atau hancurkan seperti yang telah dipaparkan Serma Boegkoes.

Saat peristiwa itu, Serma Boegkoes adalah Komandan Peleton Kompi C Bataliyon Kawal Kehormatan yang memimpin pasukan G30S untuk menangkap Mayjen MT Harjono. Karena dihalangi masuk rumah oleh istri Harjono, maka jenderal itu dibunuh.

Dalam buku otobiografinya, Soeharto mengaku tidak merasa kaget dan tetap tenang saat mengetahui adanya suara tembakan. Di sini, Soeharto mengaku teringat dengan ajaran tiga pepatah Jawa, "Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh."

Setelah bisa mengendalikan diri, Soeharto berangkat ke Kostrad dengan mengendarai mobil Jeep-nya tanpa pengawalan. Sebelum ke Kostrad, dia kembali mengecek posisi pasukannya di sekitar Monas.

Menggantikan Posisi A Yani

Setibanya di Kostrad, Soeharto langsung mengumpulkan informasi dari intelejen tentang perkembangan G30S yang berhasil merebut RRI dan Telkom, serta posisi Presiden Soekarno yang batal ke Istana dan menuju Halim Perdanakusuma.

Pukul 07.00 Wib, melalui RRI Letkol Untung membuat siaran persnya yang pertama. Setelah mendengar laporan Untung, Soeharto terlebih dahulu memerintahkan Komandan Batalyon yang berada di sekitar Monas agar segara menarik mundur pasukannya.

Kemudian, Soeharto meminta kepada Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dengan pasukan RPKAD-nya untuk segera merebut kembali RRI dan Telkom. Serangan terhadap RRI dan Telkom dilakukan pada malam hari dan berjalan dengan sangat lancar.

Setelah berhasil merebut RRI dan Telkom, Soeharto menyampaikan siarannya. Dalam siarannya, Soeharto meminta masyarakat jangan panik karena pimpinan AD telah diambil alih, dan situasi telah berhasil dikuasai.

Dari RRI dan Telkom, pasukan Sarwo Edhie diminta untuk merebut Halim Perdanakusuma yang dijadikan markas G30S, tempat di mana Presiden Soekarno berada. Untuk itu, Soeharto meminta Presiden Soekarno untuk segera menyingkir ke Istana Bogor.

Setelah Soekarno meninggalkan Halim, dengan kekuatan lima kompi yang terdiri dari 600 tentara Sarwo Edhie bergerak menuju Halim melewati Klender pada tengah malam. Hanya ada sedikit pertempuran di sana, dan Halim berhasil direbut.

Meski diwarnai dengan kesuksesan besar memimpin AD menghancurkan G30S di Jakarta, rupanya Presiden Soekarno telah menunjuk Mayjen Pranoto Rekso Samudro sebagai care taker Men/Pangad menggantikan Jenderal A Yani yang dibunuh oleh pasukan G30S.

Penunjukkan Pranoto sempat membuat Soeharto marah. Dengan berat hati, akhirnya Soeharto menerima jabatan Pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Sedang Pranoto diangkat menjadi Pelaksana Harian.

Setelah sempat terjadi dualisme kepemimpinan, akhirnya Soekarno memilih Soeharto sebagai Men/Pangad menggantikan Jenderal A Yani pada 4 Oktober 1965 dan disahkan pada 6 Oktober 1965. Sejak itu, nasib Pranoto tidak jelas kabar beritanya.

Menyebarkan Berita Bohong

Ditemukannya jenazah para jenderal tertumpuk di dalam sumur tua, pada 4 Oktober 1965, di kawasan Desa Lobang Buaya, dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma menimbulkan kesedihan mendalam bagi rakyat Indonesia.

Jenazah pertama yang diangkat dari dalam sumur adalah Pierre Tendean, kemudian Mayjen Soeprapto yang diikat menjadi satu dengan Mayjen S Parman, Letjen A Yani, Mayjen Harjono MT, Brigjen Sutojo Siswomihardjo, dan Brigjen DI Panjaitan.

Setelah diangkat, jenazah itu diautopsi. Baru pada esok harinya, pada 5 Oktober 1965 dan bertepatan dengan HUT ABRI ke-20, jenazah para jenderal itu dimakamkan dalam satu upacara militer yang disaksikan langsung oleh masyarakat.

Belum selesai masa berkabung terhadap penemuan jenazah para jenderal di Lobang Buaya, kabar duka datang dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Ade Irma, putri Jenderal menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebelum meninggal, Ade Irma sempat menjalani masa perawatan selama enam hari akibat luka tembak dari jarak satu meter oleh pasukan G30S. Pada 7 Oktober 1965, jenazah bocah malang ini akhirnya dimakamkan di Blok P Kebayoran.

Kemarahan rakyat terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi binaannya semakin menjadi saat surat kabar milik Angkatan Darat (AD) Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha menyebarkan kabar bohong tentang hasil autopsi para jenderal.

Dalam laporan media loreng itu dikatakan, para aktivis Gerwani melakukan Tari Harum Bunga sembari memutilasi mayat para jenderal dan anggota PR menyanyikan lagu rakyat Genjer-genjer sambil mengiringi perbuatan sadis itu.

Pembunuhan Satu Juta Orang

Tiga minggu setelah meletus G30S, terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Banjir darah pertama menggenangi wilayah Jawa Tengah. Pembunuhan massal di kawasan ini terjadi pada Oktober 1965.

Dari Jawa Tengah, pembunuhan massal menjalar ke seluruh wilayah Jawa Timur sejak November 1965, diikuti dengan aksi jagal-jagal di Kepulauan Bali. Selain ketiga wilayah itu, pembantaian serupa juga terjadi di daerah lainnya.

Mereka yang selamat dari pembantaian massal, kebanyakan pria, diseret ke penjara tanpa pengadilan dan dibuang ke Pulau Buru, di Kepulauan Maluku. Sedang wanitanya yang dari Jawa, ditahan di penjara Desa Plantungan, Jawa Tengah.

Menurut data Komisi Peneliti Korban Gestapu, jumlah korban pembunuhan massal dalam tiga bulan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, mencapai satu juta orang lebih. Jumlah itu belum termasuk di luar daerah itu.

Sedang mereka yang dibuang ke Buru mencapai 10 ribu orang. Mereka yang dituduh tercemar komunisme tidak boleh bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tentara. Stigma ini terus melekat dan berlanjut jauh setelah peristiwa 65.

Dalam buku otobiografinya, Soeharto mengakui dalam kondisi tertentu AD turun langsung melakukan pembunuhan itu. Namun, AD lebih suka mempersenjatai rakyat agar melakukan pembersihan di daerahnya masing-masing dari benih-benih jahat.

Mendesak Presiden Soekarno

Saat berlangsung Sidang Kabinet 11 Maret 1966, massa barisan antikomunis menggelar demonstrasi besar-besaran di sekitar istana. Di antara massa pendemo, terdapat tentara tidak dikenal hendak menangkap dan menghabisi Soebandrio.

Saat Presiden Soekarno membuka sidang, tiba-tiba Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur menyodorkan secarik kertas berisikan pesan singkat, "Di luar banyak pasukan yang tidak dikenal." Tiba-tiba, situasi menjadi sangat tegang.

Presiden Soekarno langsung menghentikan pidatonya dan menyerahkan pimpinan sidang kepada Leimena. Bersama Soebandrio dan Chairul Saleh, ketiganya langsung terbang dengan helikopter menuju Istana Bogor.

Merasa situasi sudah tidak kondusif dan tidak bisa dikendalikan lagi, Leimena akhirnya menghentikan sidang dan menyusul Presiden Soekarno di Istana Bogor. Dalam situasi genting itu, Soeharto tidak berada di tempat.

Dia mengaku sedang sakit flu berat, dan sakit tenggorokan. Padahal, sebenarnya Soeharto sedang memantau jalannya sidang dan demonstrasi di istana di rumah. Terbukti dengan datangnya tiga orang jenderal menemuinya untuk menerima perintah.

Ketiga jenderal itu adalah Menteri Veteran Mayjen Basuki Rachmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen M Jusuf, dan Pangdam V Jaya Brigjen Amirmachmud. Kepada mereka, Soeharto minta Presiden memberikan kepercayaan kepadanya.

Usai menerima arahan Soeharto, ketiganya langsung menuju Istana Bogor menemui Soekarno. Mereka diterima di gedung utama dan berbicara cukup lama. Setelah beberapa jam berlangsung, pembicaraan pun akhirnya selesai.

Soebandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh yang lebih dahulu berada di istana dipanggil Presiden ke gedung utama. Kepada mereka, Soekarno meminta pendapat tentang kesepakatan yang telah dibuatnya dengan ketiga jenderal suruhan Soeharto.

Kesepakatan itu dibuat tertulis dalam secarik kertas. Sebelum surat diteken, Soekarno meminta Soebandrio untuk membacanya kembali. Reaksi Soebandrio saat itu tidak setuju dan mengusulkan agar disampaikan secara lisan saja.

Tetapi ketiga jenderal suruhan Soeharto itu tidak terima. Mereka kemudian mendesak Soekarno agar segera meneken surat itu dengan membaca bismillah. Setelah diteken, Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 dibawa menuju Soeharto.

Mengusir Gerombolan Kera

Dari Istana Bogor, ketiga jenderal itu langsung kembali ke Jakarta dan memberikan Supersemar kepada Soeharto. Setelah memahami isi surat tersebut, Soeharto yang sebelumnya mengaku sakit langsung memimpin rapat di Kostrad.

Dalam rapat itu, Soeharto memutuskan menggunakan Supersemar untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Surat Keputusan Presiden No 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 dengan ditandatangi dirinya sendiri dan bukan Presiden Soekarno.

Keputusan Soeharto membubarkan PKI disambut hangat masyarakat yang saat itu telah terbakar semangat antikomunis. Tetapi sangat membuat marah Presiden Soekarno yang langsung membuat Surat Perintah 13 Maret 1966 atau Supertasmar.

Surat itu kemudian dibawa Leimena untuk diserahkan kepada Soeharto. Tetapi alangkah terkejutnya Leimena saat mendengar jawaban Soeharto yang berani melawan Presiden Soekarno. "Pak Leimena jangan ikut campur, saya yang bertanggungjawab."

Leimena lalu menyampaikan jawaban Soeharto kepada Soekarno. Saat mendengar keterangan Leimena, Soekarno sudah mulai merasa bahwa kekuasaannya telah mencapai titik nadir. Dengan sangat marah, Soekarno nyaris tidak bisa berkata apa-apa.

Setelah PKI dibubarkan, Soeharto menangkap tiga pimpinan PKI hidup-hidup. Mereka adalah DN Aidit, Njoto, dan Lukman. Soeharto lalu memerintahkan kepada ketiganya untuk ditembak mati secara terpisah dan mayatnya dibinasakan.

Setelah itu, Soeharto bertindak semakin berani. Dengan menggunakan Supersemar, dia menangkap 15 menteri yang masih aktif dan langsung menahannya. Saat menghadap Presiden Soekarno, Soeharto minta izin mengawal para menteri itu.

Namun nyatanya mereka malah dimasukkan ke dalam kamp tahanan dengan tuduhan subversif dan dicap PKI. Para menteri yang ditahan itu adalah para pendukung utama dan setia Presiden Soekarno. Penangkapan menteri berlanjut hingga 21 orang.

Menapak Jalan Kekuasaan

Setelah membubarkan PKI dan menyingkirkan para menteri pendukung setia Presiden Soekarno, Soeharto dengan memakai Supersemar untuk mengganti anggota DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS dengan orang-orangnya sendiri.

Dengan Supersemar, Soeharto juga meminta agar MPRS segera bersidang untuk mengukuhkan Supersemar secara konstitusional. Dalam sidang MPRS Juni 1966, diputuskan Republik Indonesia kembali kepada UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Kemudian, melalui MPRS, Soeharto mencabut Ketetapan MPRS Juni 1963 yang menyatakan Soekarno Presiden Seumur Hidup dan memutuskan gelar Pemimpin Besar Revolusi yang diemban Soekarno tidak mempunyai kekuatan hukum.

Awal Juli 1966, Soeharto menunjuk Nasution sebagai Ketua MPRS. Selang beberapa hari, pada 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan keputusan Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk membentuk kabinet. Maka terbentuklah Kabinet Ampera.

Kabinet ini menggantikan Kabinet Dwikora yang dibentuk Presiden Soekarno dan kabinet bentukan Soeharto itu tidak berada langsung di bawah Presiden. Sejak berdirinya Kabinet Dwikora, maka berakhir pula Pemerintahan Soekarno secara formal.

Sejak itu, Soeharto memegang kendali pemerintahan. Pada Desember 1966, Panglima AU Oemar Dani ditangkap sepulangnya dari Kamboja. Penangkapan Oemar Dani diikuti dengan penangkapan-penangkapan sejumlah perwira lainnya.

Melalui UU No 10 tahun 1966, DPRGR dan MPRS meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas terjadinya G30S. Namun permintaan ditolak dengan dasar persoalan itu tidak ada dalam GBHN dan berada di luar kewenangan seorang Presiden.

Pada 7 Maret 1967, MPRS menggelar sidang Istimewa. Dalam sidang itu diputuskan Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan kepemimpinan nasional kepada pemegang Supersemar, yakni Soeharto sebagai pejabat Presiden.

Berdasarkan SK MPRS pada 27 Maret 1968, Soeharto dikukuhkan sebagai Kepala Negara menggantikan Soekarno. Saat pidato pengangkatan Presiden, Seoharto menggunakan pakaian sipil dan peci hitam.

Penutup

Dalam buku otobiografinya, Soeharto menyatakan Supersemar bukan sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan, bukan juga sebagai alat untuk mengadakan coup secara terselubung, tetapi senjata perjuangan Orde Baru.

Soeharto juga mengakui bahwa ada kalanya dia menggunakan Supersemar untuk mencapai tujuan politiknya. Sebagai contoh, ketika segerombolan monyet menyerang ladang jagung si Polan dapat diusir dengan tepukan tangan penjaganya.

Maka itu, tidak baik memobilisasi satu kompi kendaraan berlapis baja cuma untuk mengusir segerombolan kera. Demikian Soeharto menganggap Supersemar sebagai perintah yang dikeluarkan saat negara dalam keadaan sangat berbahaya.

Sampai di sini ulasan Cerita Pagi tentang Supersemar dan Pembangkangan Soeharto diakhiri. Semoga memberikan manfaat kepada pembaca sekalian.

Sumber Tulisan
*G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, PT Citra Lamtoro Gung Persada, Cetakan Kedua, 1989.
*Manai Sophiaan, Kehormatan bagi yang Berhak, Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI, Visimedia, Cetakan Kedua, 2008.
*Bernd Schaefer dan Baskara T Wardaya, 1965, Indonesia dan Dunia, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama, September 2013.
*H Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, Visimedia, Cetakan Ketiga, 2008.
*John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Hasta Mitra, Cetakan Pertama, 2008.
*Bakri AG Tianlean, Bung Karno antara Mitos dan Realita (Dana Revolusi), Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran, Jakarta 2002.
*Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto, Media Pressindo, Cetakan Ketiga, Juni 2001.
*AM Hanafi Menggugat, Kudeta Jenderal Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, Montblance, Lile-France, 1998.
*Eros Djarot, Siapa Sebenarnya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Sejharah G30S/PKI, Mediakita, Cetakan ke-14, 2008.
*Dr H Soebandrio, Yang Saya Alami, Peristiwa G30S, Sebelum, saat Meletus dan Sesudahnya, PT Bumi Intitama Sejahtera, Cetakan Pertama, Mei 2006.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5391 seconds (0.1#10.140)