Marco Kartodikromo dan Syair Sama Rata Sama Rasa

Senin, 11 Januari 2016 - 05:05 WIB
Marco Kartodikromo dan Syair Sama Rata Sama Rasa
Marco Kartodikromo dan Syair Sama Rata Sama Rasa
A A A
SAMA RATA SAMA RASA merupakan ungkapan yang sangat populer di Indonesia. Ungkapan ini biasa digunakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menafsirkan tujuan politiknya sendiri pada 1920-an.

Tetapi tahukah anda siapa orang yang pertama kali menulis syair itu? Dialah Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis yang sangat ditakuti oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Seperti apa kisahnya?

Banyak orang berpendapat bahwa syair Sama Rata Sama Rasa yang ditulis Mas Marco adalah kepunyaan PKI dan kaum komunis. Padahal tidak demikian, karena syair ini berisi ungkapan realita sosial saat itu.

Apalagi syair Sama Rata Sama Rasa ditulis saat PKI masih dalam rahim. Syair ini ditulis oleh Mas Marco saat berada dalam penjara kolonial dan dipublikasikan pertama kali dalam Sinar Djawa pada 10 April 1918.

Pandangan yang mengatakan syair itu milik PKI dan bukan rakyat Indonesia berasal dari Kolonial Hindia Belanda yang diteruskan oleh rezim Orde Baru untuk menggelapkan sejarah perjuangan rakyatnya.

Seperti diketahui, sejak cultuurstelsel diberlakukan dan berakhir pada 1830-1870, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuka keran liberalisme melalui masuknya modal asing dalam agrarische wet.

Dengan masuknya modal asing itu, penderitaan rakyat semakin bertambah parah. Kemiskinan merajalela, angka kriminalitas menjadi sangat tinggi, dan konflik perburuhan kian meruncing tidak berkesudahan.

Tanah petani yang lama terbengkalai akibat sistem cultuurstelsel, disewa dengan sangat murah melalui berbagai paksaan untuk dijadikan pabrik tebu. Hal ini menyulut berbagai pemberontakan para petani.

Guru Besar Sejarah dan Studi Asia Universitas Cornell dan Center for Southeast Asian Studies Universitas Kyoto Takashi Shiraishi menyebut periode yang penuh dengan gejolak itu sebagai masa zaman bergerak.

Pada masa itu, hanya keluarga dari kalangan priyayi sajalah yang bisa mengenyam pendidikan. Mas Marco Kartodikromo yang lahir di Cepu, pada 1890 termasuk yang sangat beruntung berasal dari keluarga itu.

Mas Marco lulus sekolah bumiputera Angka Dua di Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputera Belanda di Purworejo. Sebelum terjun ke dunia pergerakan, dia menjadi juru tulis di Dinas Kehutanan pada 1905.

Tidak lama kemudian, dia pindah ke Semarang dan menjadi juru tulis di NIS sambil belajar bahasa Belanda dari seorang Belanda secara privat. Pada 1911, dia meninggalkan Semarang dan pindah ke Bandung.

Di Bandung, Marco bergabung dengan Medan Prijaji sebagai wartawan magang. Dari sinilah karir Mas Marco sebagai jurnalis dimulai. Di bawah bimbingan Tirtoadhisoerjo, Marco menjadi jurnalis tangguh.

Selain berguru dengan Tirtoadhisoerjo, selama berada di Bandung Mas Marco juga berguru kepada Soewardi. Namun demikian, dia selalu berusaha keluar dari bayangan kedua gurunya dengan pindah ke Surakarta.

Di tempat barunya ini, Marco mendirikan perkumpulan wartawan yang pertama di Indonesia, yakni Inlandsche Journalistenbond (IJB) pada 1914 dan menerbitkan surat kabarnya sendiri dengan nama Doenia Bergerak.

Kehadiran surat kabar IJB Doenia Bergerak, semakin mewarnai dunia pergerakan saat itu. Setahun sebelumnya, pada 1913, seorang komunis dari Belanda Sneevliet tiba di Indonesia dan menetap di Surabaya.

Setibanya di Surabaya, Sneevliet bergabung dengan surat kabar Soerabajaasch Handelsblad dan pindah ke Semarang setelah mendapat pekerjaan baru sebagai sekretaris di Semarangshe Handelsvereniging.

Pada Mei 1915, Sneevliet mendirikan perkumpulan komunis pertama di Indonesia, yakni Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Kehadiran ISDV di Semarang awalnya kurang menarik perhatian umum.

Apalagi saat itu ISDV hanya merupakan kelompok debat kaum sosialis yang isinya orang-orang Belanda. Sementara itu, situasi pergerakan tahun 1914-1915 sedang panas oleh perang tulisan di media massa.

Salah satu pemantik perang itu adalah artikel Mas Marco dalam surat kabar Sarekat Islam (SI) Sarotomo yang berisi kritiknya atas Welvaart Commissie yang bertugas meneliti sebab kemiskinan di Jawa.

Menurut Marco, orang-orang Belanda yang terpilih dalam commissie itu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang masyarakat miskin di Jawa. Tidak hanya itu, dia juga menyerang para priyayi bumiputera.

Menurutnya, banyak para priyayi bumiputera yang dipercaya oleh Kanjeng Gubermen sebagai penjilat, karena memberikan informasi sesat tentang keadaan rakyat miskin di Jawa yang sesungguhnya.

Akibat artikel itu, Ketua Umum Sarekat Islam (SI) H Samanhoedi mendapat surat teguran dari Penasehat Urusan Pribumi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda Dr DA Rinkes. Surat itu berisi kecaman terhadap Marco.

Surat teguran Rinkes itu kemudian dimuat oleh Marco dalam Doenia Bergerak dengan judul Marco: Pro of Contra Dr Rinkes. Selain memuat surat tersebut, dalam artikel itu Marco juga menjawab tantangan Rinkes.

Perkara Mas Marco dengan Rinkes berbuah delik pers. Sejak itu, Marco mendapat predikat baru sebagai orang berpendidikan tanggung tetapi dengan lancar menulis dan terus dipantau oleh penguasa kolonial.

Meski begitu, Marco tidak pernah takut. Surat kabar yang dipimpinnya tetap berjalan sejak pertengahan 1914-1915. Kendati berumur sangat singkat, surat kabar itu cukup membekas dalam ingatan penguasa.

Pada 1915, Doenia Bergerak memuat empat artikel yang dinilai membahayakan kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Akibat artikel ini, Mas Marco kembali terseret ke dalam kasus delik pers.

Sebagai pemimpin surat kabar itu, Mas Marco diminta mengungkap penulis surat itu. Namun pantang bagi dirinya untuk membocorkan identitas penulis surat itu. Sebagai gantinya, Mas Marco dibui sembilan bulan.

Dalam persidangan, Mas Marco dihukum tujuh bulan penjara. Namun dia naik banding dan kalah, hingga akhirnya divonis sembilan bulan. Vonis penjara kepada Mas Marco mendapat tentangan kaum pergerakan.

Di antaranya datang dari Sneevliet yang membentuk sebuah komite bersama DJE Reserved dari ISDV, GL Topee, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Kessing dari Insulinde. Dukungan juga disampikan oleh Soewardi.

Dalam pertemuan komite itu, Mas Marco mengatakan, selama rakyat Hindia (Indonesia) tidak memiliki satu keberanian, maka selamanya mereka akan diinjak-injak dan hanya akan menjadi seperempat manusia.

Selama dalam penjara, Mas Marco tidak berhenti menulis. Buah penanya saat dipenjara pada Juli 1915-Maret 1916 ini adalah tiga jilid buku berjudul Mata Gelap. Keluar dari penjara, Marco pergi ke Belanda.

Di negeri penjajah itu, dia bekerja sebagai wartawan khusus Pantjaran Warta. Di sana, dia menetap selama lima bulan dan kembali ke Jawa pada awal Februari 1917 dan diminta mengelola Pantjaran Warna.

Dalam majalah itu, Marco mengkritik kampanye milisi bumiputera dan orang Eropa, serta menuntut adanya persamaan antara bumiputera dengan orang Eropa. Akibat tulisannya itu, Marco kembali terjerat delik pers.

Hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah satu tahun penjara, mulai Juli 1917-Maret 1918. Saat dalam penjara inilah Marco menulis syairnya yang sangat terkenal hingga kini, yakni Sama Rata Sama Rasa.

Sejak syair itu diterbitkan dalam Sinar Djawa pada 10 April 1918, banyak tokoh pergerakan yang mengutipnya sebagai semboyan untuk membangkitkan semangat pergerakan rakyat dan membuatnya sangat terkenal.

Sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer menulis, syair Sama Rata Sama Rasa Mas Marco di kalangan rakyat jelata memiliki kekuatan abadi yang menghidupi perjuangan kemerdekaan menuju keadilan sosial.

Sebagai penulis otodidak yang lahir di zaman bergerak, Mas Marco telah mendahului masanya. Karya tulisnya bukan hanya melewati kecenderungan sosialis, tetapi telah masuk ke taraf realisme-sosialis yang lebih maju.

Menurut Pramoedya, puncak produktivitas Mas Marco terjadi hingga tahun 1919. Berbagai karya tulisnya yang penting lahir di periode ini, seperti Syair Rempah-rempah, Mata Gelap, Student Hidjo, dan Rasa Mardika.

Melalui karya sastra, Marco berhasil menyajikan realita yang objektif dari hasrat manusia Indonesia untuk merdeka, baik merdeka secara politik sebagai nasion, maupun merdeka dari kemiskinan dan takhayul.

Dengan semua kelebihan dan kekurangan yang dimiliki Marco, Pramoedya menaruh penghargaan setinggi-tingginya kepada Marco sebagai pemula sastra realisme-sosialis Indonesia yang wajib dicatat sejarah.

Meski karya-karyanya banyak mengkritik kapitalisme dan sistem kolonial Hindia Belanda, faktanya Marco bukan pengikut paham komunis saat berada di Semarang. Namun suaranya tetap terdengar militan.

Marco baru terlibat aktif dalam pergerakan komunis pada tahun 1924. Kemunculannya yang pertama kali sebagai anggota PKI terjadi saat dilangsungkannya vergadering SI Merah Salatiga pada Februari 1924.

Sebelum aktif di PKI dan terkenal sebagai jurnalis yang paling ditakuti Belanda, Marco aktif dalam SI. Meski bukan orang Solo, Marco merupakan salah satu tokoh penting dalam pendirian SI Surakarta pertama-tama.

Namun setelah meninggalkan Surakarta pada 1915, dia benar-benar terpisah dari aktivitas SI dan menempuh aktivitas dari penjara ke penjara kolonial. Marco pertama kali dipenjara saat di Semarang.

Di kota ini Marco mendekam mulai Juli 1915-Maret 1916. Setelah bebas dan sempat singgah di Belanda selama lima bulan, Marco kembali masuk penjara Weltevreden, mulai Juli 1917-Maret 1918.

Bebas dari Weltevreden, Marco langsung ke Semarang bergabung dengan Semaoen dan menjadi komisaris SI Semarang. Di sini, Mas Marco banyak mencurahkan perhatiannya di Sinar Hindia dan Soero Tamtomo.

Pada 1920, Marco kembali dituntut delik pers untuk ketiga kalinya karena artikel berjudul Syairnja Sentot. Tulisan ini dianggap sangat berbahaya oleh kolonial Belanda. Marco dibui dari April-Oktober 1920.

Setelah masa tahanannya berakhir, Mas Marco pergi dari Semarang dan bergabung dengan CSI Yogyakarta. Di sini, dia aktif dalam Pembrita CSI dan mengkritik komunisme dengan brosurnya Pan Islamisme.

Selain brosur Pan Islamisme, Marco juga menerbitkan brosur Rahasia Kraton Terboeka, sebuah novel Matahariah, dan jurnal Pemimpin yang langsung disita polisi kolonial tidak lama setelah diterbitkan.

Ketika Agus Salim dan Abdoel Moeis mendominasi CSI dan mengeluarkan orang-orang komunis dari CSI, Marco lantas berhenti dari jabatannya sebagai Wakil Sekretaris CSI pada 1921 dan menyatakan pensiun.

Pengunduran diri Marco dari CSI sebenarnya sebuah protes atas kepemimpinan CSI yang mulai terpecah belah. Partai yang awalnya diharapkan menjadi kawan seperjuangan, ternyata hancur dipecah dari dalam.

"Saya tidak lagi punya banyak teman yang mau memikul bersama perasaan yang sama, tujuan yang sama, perjuangan yang sama dan sebagainya dengan saya," tulisnya saat mengundurkan diri dari CSI.

Marco kemudian pindah ke Salatiga pada 1921. Pada tahun yang sama di bulan Desember, dia lagi-lagi terjerat delik pers atas brosurnya yang disita polisi kolonial. Untuk keempat kalinya Marco hidup dibui.

Marco dipenjara selama dua tahun hingga Desember 1923. Saat bebas, dia pulang ke Salatiga dan kembali terjun ke dunia politik. Namun tujuannya kali ini bukan SI, tetapi PKI yang dipimpin oleh Semaoen.

Saat aktif dalam PKI, Marco melanjutkan aktivitas jurnalisnya dengan menerbitkan jurnalnya sendiri yang dinamai Hidoep. Dia juga menulis ulang sejarah Jawa dari zaman Hindu sampai masa pergerakan.

Buku sejarah versi Mas Marco itu diberi nama Babab Tanah Djawa. Inilah salah satu tulisan Marco yang sangat penting. Dalam buku itu, Marco merekonstruksi sejarah Jawa versi Javanolog Belanda abad ke-19.

Sayang buku ini tidak pernah selesai dituliskan. Marco hanya menulis sampai pada kedatangan Belanda dan berdirinya Batavia. Proyeknya itu terputus oleh aktivitasnya di PKI dan Sarekat Rakyat (SR) Surakarta.

Di bawah kepemimpinan Marco, PKI dan SR Surakarta tumbuh sangat pesat. Dalam setiap pertemuan, Marco selalu berpidato dengan gaya bahasanya yang lugas dan berapi-api selalu menyerang tatanan kolonialisme.

Pada akhir 1925, Hoofdbestuur PKI memutuskan suatu rencana untuk melakukan pemberontakan. Keputusan ini dikenal dengan Putusan Prambanan. Terjadi pro dan kontra dalam partai saat menyikapi keputusan itu.

Marco berada dipihak yang propemberontakan. Bersama PKI dan SR Surakarta yang dipimpinnya, dia terlibat langsung dalam persiapan pemberontakan. Situasi menjadi sangat revolusioner dengan PKI memimpin digarda terdepan.

Pemberontakan PKI akhirnya pecah di Banten, pada 12 November 1926. Di Surakarta, pemberontakan PKI dilangsungkan pada 17 November 1926 malam yang disusul dengan berbagai aksi pemogokan buruh.

Aksi PKI ini berakhir dengan kegagalan. Serangan para pemberontak dengan mudah dipatahkan. PKI hancur berantakan dan para pemimpinnya ditangkapi. Mereka ada yang ditahan dan dibuang ke Boven Digoel, Papua.

Mas Marco merupakan salah seorang pimpinan PKI yang ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel bersama 1.308 orang lainnya. Marco tiba di Boven Digoel pada 21 Juni 1927 dan meninggal di sana pada 1932.

Selama di pembuangan Boven Digoel, Marco tetap menjalankan aktivitas jurnalisnya. Laporannya tentang kehidupan orang-orang buangan dan pesannya dari Digoel sangat dalam untuk dijadikan perenungan.

"Kepada kalian orang Indonesia, kami tujukan kata-kata ini. Renungkanlah. Untuk apa kami telah berjuang dan menderita? Ingatlah bahwa kami telah berkorban untuk Ibu Indonesia," tulisnya dalam pembuangan.

Mas Marco meninggal dalam pelukan Roesminah, istri yang ikut menemaninya di pembuangan. Sebuah foto yang sangat haru sempat diambil ketika Roesminah berada di sisi Marco sebelum ajal datang menjemput.

Sebagai penutup ulasan Cerita Pagi hari ini, baiknya dikutip secara penuh syair Sama Rata Sama Rasa Mas Marco yang memberikan penghidupan abadi bagi pergerakan rakyat itu. Semoga memberikan manfaat.

Sama Rasa dan Sama Rasa
Oleh Mas Marco Kartodikromo
Sinar Djawa, 10 April 1918

Syair inilah dari penjara,
Waktu kami baru dihukumnya.
Di Weltevreden tempat tinggalnya,
Dua belas bulan punya lama.

Ini bukan syair Indie Weerbaar,
Syair mana yang bisa mengantar.
Dalam bui yang tidak sebentar,
Membikin hatinya orang gentar.

Kami bersyair bukan kroncongan,
Seperti si orang pelancongan.
Mondar mandir kebingungan,
Yaitu pemuda Semarangan.

Dulu kita suka kroncongan,
Tetapi sekarang suka terbangun.
Dalam SI Semarang yang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.

Ini syair nama: Sama Rasa,
Dan Sama Rata, itulah nyata.
Tapi bukan syair bangsanya,
Yang menghela kami di penjara.

Di dalam penjara tidak enak,
Tercerai dengan istri dan anak.
Kumpul maling dan perampok banyak,
Seperti bangsanya si pengampak.

Tetapi dia juga bangsa orang,
Seperti manusia yang memegang.
Kuasa dan harta benda orang,
Dengan berlaku yang tidak terang.

Ada perampok alus dan kasar,
Juga perampok kecil dan besar.
Bertopeng beschaving dan terpelajar,
Dengan berlaku yang tidak terang.

Dia itulah sama perampoknya,
Minta orang dengan laku paksa.
Tidak mengingat kebangsaannya,
Bangsa manusia di dunia.

Hal ini baik kami kuncikan,
Lain hal yang kami bicarakan.
Perkara yang mesti dipahamkan,
Dan akhirnya kita melakukan.

Banyak orang tidak mengetahui,
Dua kali kami kena duri.
Artikel wetboek yang menakuti,
Juga panasnya seperti api.

Kaki kami sudah lama luka,
Kena duri yang kuinjak-injak.
Juga palang-palang yang kudupak,
Sudah ada sedikit terbuka.

Haraplah saudaraku ditendang,
Semua barang yang malang-malang.
Supaya kita berjalan senang,
Ke tempat kita yang amat terang.

Buat sebentar kami berhenti,
Di jalan perempat tempat kami.
Merasakan kecapaian diri,
Sambil melihati jalan ini.

Jangan takut kami putus asa,
Merasakan kotoran dunia.
Seperti anak yang belum usia,
Dan belum bangun dari tidurnya.

Kami sampai di jalan perempat,
Kami berjalan terlalu cepat.
Teman kita yang berjalan lambat,
Ketinggalan masih jauh amat.

Kami berniat jalan terus,
Tapi kami berasa haus.
Adapun pengharapan tak putus,
Kalau perlu boleh sampai mampus.

Jalan yang kutuju amat panas,
Banyak duri pun anginnya keras.
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang juga kami papas.

Supaya jalannya Sama Rata
Yang jalan pun Sama me Rasa
Enak dan senang bersama-sama,
Yaitu: Sama Rasa, Sama Rata. (*)


Sumber Tulisan
*Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Grafiti, Cetakan Kedua, 2005.
*Edi Cahyono, Jaman Bergerak di Hindia Belanda, Yayasan Pancur Siwah, Cetakan Pertama, 2003.
*Koesalah Soebagyo Toer, dalam Mas Marco Kartodikromo, Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel, Kepustakaan Populer Gramedia, Cetakan Pertama, November 2002.
*Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Lentera Dipantara, Cetakan I, Oktober 2003.
*Marco Kartodikromo, Student Hijo, Aksara Indonesia, Cetakan Pertama, Februari 2000.
*Purnama Suwardi, Koloni Pengucilan Boven Digoel, Cetakan Pertama, 2003.

PILIHAN
Pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang 1926-1927 (1)
Pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang 1926-1927 (2-habis)
RM Sosrokartono, Saksi Perjanjian Damai Rahasia Perang Dunia I
Pembantaian Massal 1965, Kejahatan Kemanusiaan yang Terlupakan
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0186 seconds (0.1#10.140)