Ungeling Gangsa Tandai Dimulainya Tradisi Sekaten di Solo

Kamis, 17 Desember 2015 - 17:52 WIB
Ungeling Gangsa Tandai Dimulainya Tradisi Sekaten di Solo
Ungeling Gangsa Tandai Dimulainya Tradisi Sekaten di Solo
A A A
SOLO - Prosesi upacara Ungeling Gangsa menandai dimulainya acara Sekaten yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta, Kamis (17/12/2015) siang.

Dua gamelan Sekaten, Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari ditabuh secara bergantian di halaman Masjid Agung, Solo.

Ketika bunyi pertama gamelan Kiai Guntur Madu ditabuh, ratusan pengunjung yang sudah menanti sejak pagi langsung berebut janur yang dipasang di Bangsal Pradangga, tempat gamelan diletakkan.

Mayoritas pengunjung yang merupakan ibu-ibu, usai berebut janur lalu mengunyah daun sirih sembari mendengarkan irama gamelan dengan Gending Rambu, dilanjutkan Gending Rangkung yang dimainkan dari Gamelan Kiai Guntur Sari.

“Prosesi Ungeling Gangsa diawali dengan datangnya utusan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang memberi perintah pada para abdi dalem pradangga untuk menabuh gamelan,” ujar Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, Kanjeng Pangeran (KP) Winarno Kusumo di sela-sela acara, Kamis (17/12/2015) siang. Memainkan alat musik gamelan bermakna agar umat Islam melaksanakan ajaran Tuhan dengan baik dan benar.

Selain itu, umat muslim dapat melaksanakan kehidupan sehari-hari dengan mengacu pada ajaran Islam. Sedangkan tradisi mengunyah sirih atau dalam bahasa Jawa disebut nginang, bermakna agar umat Islam selalu tekun dan taat melaksanakan perintah tuhan.

Selama tujuh hari ke depan, gamelan Sekaten akan ditabuh secara bergantian hingga tengah malam. Ada pun jumlah penabuh masing-masing gamelan sebanyak 22 orang, termasuk pemimpinnya atau yang biasa disebut tindih.

Gamelan berhenti ditabuh hanya saat waktu salat saja. Khusus hari Jumat, gamelan baru mulai ditabuh setelah waktu Salat Ashar. “Gamelan ditabuh setelah waktu Ashar karena sebelumnya umat Islam menjalankan Salat Jumat,” terangnya.

Salah satu pengunjung Sekaten, Rubinem (70) warga Ngemplak, Boyolali mengaku setiap tahun selalu mengikuti tradisi Ungeling Gangsa.

Selain untuk mendapatkan janur kuning, dia juga datang untuk nginang saat gamelan sekaten ditabuh. Dirinya percaya mengunyah sirih saat gamelan Sekaten pertama dibunyikan akan membuat awet muda.

Sedangkan janur yang diperoleh saat berebut akan dimasukin ke air dan digunakan untuk mandi. Harapannya, semuanya lancar, sehat dan tidak terkena penyakit.

“Sebagian mau saya pasang di pojok-pojok rumah untuk tolak bala. Nanti saya juga mau beli bunga setaman untuk disebar di sawah biar panennya bagus dan tidak diserang hama,” ungkap Rubinem.

Hal berbeda diungkapkan Sri Rahayu (50) pengunjung lainnya. Dirinya ikut tradisi nginang semata karena ingin melestarikan tradisi budaya turun temurun.

“Lagipula nginang bisa membuat gigi sehat. Jadi tidak ada salahnya ikut tradisi ini, sekaligus melestarikan tinggalan nenek moyang,” tutur Sri Rahayu.

Sementara, acara Sekaten membawa berkah bagi para pedagang sirih. Dalam sehari, mereka mampu meraup omzet antara Rp100-400 ribu.

“Daun sirih dan perlengkapan untuk nginang dijual satu bungkus Rp1.000,” ungkap Sri Mulyani (50) salah satu pedagang sirih.

Selain daun sirih, dirinya juga menjual bunga yang biasanya untuk nyekar saat ziarah ke pemakaman. Dalam Sekaten, ada tujuh dagangan inti yang diperdagangkan. Yakni daun sirih, wedang ronde, nasi liwet, cabuk rambak, gangsingan, pecut, dan telur asin.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 7.3985 seconds (0.1#10.140)