Penghuni Sriwedari Mulai Ketar-ketir

Kamis, 17 September 2015 - 10:20 WIB
Penghuni Sriwedari Mulai Ketar-ketir
Penghuni Sriwedari Mulai Ketar-ketir
A A A
SOLO - Konflik sengketa lahan Sriwedari membuat para pedagang dan penghuni lahan tersebut resah. Mereka tetap berharap dapat menempati lokasi itu meski kepemilikan lahan peninggalan Raja Keraton Kasunanan Surakarta Pakoe Boewono (PB) X tersebut berpindah tangan.

Ketua paguyuban pedagang bukuSriwedari, ChoirulAnnam mengungkapkan, ada sekitar 100-an pedagang buku yang berjualan diarea Sriwedari disisi selatan, tepatnya di Jalan Kebangkitan Nasional. Mereka telah berjualan turun-temurun sejak 1980. Bahkan, bisnis berjualan buku telah memasuki generasi kedua.

Konflik sengketa tanah yang tak kunjung usai membuat para pedagang waswas. Terlebih sengketa telah mencapai puluhan tahun. “Setiap kali persoalan muncul ke permukaan, hati kami tidak tenang,” ujar Choirul Annam seusai dialog bersama dengan Forum Komunitas Sriwedari (Foksri) kemarin.

Terlebih, nasib Sriwedari terlihat sudah di ujung tanduk menyusul rencana Pengadilan Negeri (PN) Solo yang akan mengeksekusi Sriwedari setelah gugatan dimenangkan ahli waris Wiryodiningrat. Para pedagang berharap konflik segera selesai dan Sriwedari tetap dipertahankan sebagai ruang publik.

Sehingga para pedagang bisa tetap nyaman karenaSriwedariselamainimenjadi tempat untuk mengais rezeki. Dalam sehari, pedagang buku mendapatkan omzet penjualan sekitar Rp500.000. Mereka berharap tidak tergusur jika Sriwedari benar-benar dieksekusi dan kepemilikannya berpindah.

Perdagangan buku di Sriwedari selama ini menjadi tempat jujugan warga yang ingin mendapatkan buku dengan harga murah. Buku-buku bekas banyak dijual. Bahkan, buku-buku tertentu yang sulit dicari justru terkadang bisa ditemukan di kios-kios pedagang buku Sriwedari. Tak jauh berbeda diungkapkan Ketua Foksri Syafik Hanafi. Tercatat, ada 18 paguyuban di dalam Foksri yang penghasilannya menggantungkan dari lahan Sriwedari.

Seperti paguyuban pedagang buku, mobil bekas, pedagang kaki lima (PKL) Bhayangkara, Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari, tukang parkir, pemain wayang orang, tukang parkir, dan pedagang pusat jajanan sarwo asri (Pasari). Sriwedari selama ini telah menjadi pusat perekonomian, kebudayaan dan seni.

“Ada ribuan orang yang selama ini menggantungkan nasib di Sriwedari,” ujar Syafik. Poksri berharap bisa bertemu dengan ahli waris Wiryodiningrat dan meminta agar Sriwedari tetap dipertahankan. Dia yakin ahli waris tetap memiliki hati dan tidak mengusir para penghuni Sriwedari.

Syafik mengatakan tidak ada permusuhan dengan pihak-pihak yang selama ini bersengketa. Pada bagian lain, rencana eksekusi lahan Sriwedari mengundang reaksi anak muda di Kota Solo. Mereka tak rela lahan seluas 9,9 hektare (ha) dan sebagian merupakan kawasan cagar budaya lepas dan berpindah tangan ke perseorangan.

Sebagai bentuk keprihatinan, bendera warna merah dipasang di sejumlah sudut Sriwedari sebagai simbol tanda kematian. “Kami sangat prihatin dengan lepasnya Sriwedari. Sebab, di area itu terdapat banyak bangunan bersejarah bagi bangsa Indonesia,” ungkap Soni Arendra Fardlan, koordinator pemasangan bendera merah simbol kematian.

Bangunan bersejarah itu antara lain Museum Radya Pustaka yang menjadi museum tertua di Indonesia, Stadion Sriwedari yang menjadi penyelenggaraan PON pertama di Indonesia. Selain itu, terdapat gedung wayang orang yang selama ini menjadi tempat pementasan kesenian khas tradisional Jawa tersebut. Jika semuanya digusur, praktis ribuan orang akan kehilangan mata pencaharian.

Masyarakat juga terancam tidak bisa menikmati berbagai hiburan yang ada di Sriwedari, serta kehilangan ruang publik. Sriwedari merupakan barometernya kesenian dan kebudayaan di Kota Solo. Sebagai wujud keprihatinan, Soni memasang 40 bendera warna merah berbentuk segitiga yang selama ini dikenal menjadi simbol lelayu atau kematian.

Soni menilai bahwa Sriwedari merupakan tanah peninggalan para leluhur yang patut dilestarikan. Jadi, Sriwedari yang terletak di jantung kota, tepatnya di pinggir Jalan Slamet Riyadi bukan hanya milik Pemkot Solo atau perorangan, melainkan milik masyarakat karena menjadi simbol identitas budaya.

Ary wahyu wibowo
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7073 seconds (0.1#10.140)