Pentingnya Determinan Sosial Kesehatan untuk Mengatasi Ketimpangan Kesehatan di Indonesia
loading...
A
A
A
BOGOR - Meskipun secara umum capaian pembangunan kesehatan di Indonesia sudah menunjukkan perbaikan. Misalnya angka harapan hidup yang meningkat dan prevalensi stunting yang semakin berkurang, namun ketimpangan kesehatan masih nyata antar wilayah, antar kelas ekonomi, tingkat pendidikan, dan determinan sosial lainnya.
Pada Rabu 8 Maret 2023, Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (Dept. PKIP FKM-UI) menyelenggarakan sebuah webinar tentang "Determinan Sosial Kesehatan untuk Mengatasi Ketimpangan Kesehatan di Indonesia."
Webinar ini bertujuan untuk menyampaikan laporan hasil kajian determinan sosial kesehatan di Indonesia oleh tim peneliti dari Dept. PKIP FKM-UI dan Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI) yang didukung oleh WHO Indonesia.
Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan FKM-UI, Dr. Ir. Asih Setiarini, M.Sc dalam sambutannya menyampaikan bahwa FKM-UI terus berusaha menyampaikan gagasan terkini untuk upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
"Sosialisasi mengenai determinan sosial kesehatan ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk agar pembangunan berkelanjutan di Indonesia mulai mengacu pada penerapan kebijakan yang berwawasan kesehatan di lintas sektor," ujar Asih.
Senada dengan itu, Jelsi N. Marampa, MKKK selaku Asisten Deputi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK-RI) mengatakan, kondisi Indonesia yang unik secara geografis dengan beragam suku budaya tentunya memerlukan penangan tersendiri agar menjadi potensi yang bisa dimaksimalkan.
"Pembangunan manusia perlu disesuaikan dengan etape kehidupan dan determinan sosial yang mempengaruhi hasilnya," kata Jelsi.
Aspek sosial budaya dan kepercayaan misalnya sangat berpengaruh dalam upaya penanganan stunting, pemberian ASI Eksklusif, imunisasi dasar lengkap, dan upaya pembangunan manusia Indonesia lainnya.
Upaya pembangunan manusia Indonesia tidak bisa menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan saja. Sinergitas pentahelix melalui peran lintas sektor yang didukung oleh dunia usaha, dunia industri, akademisi, media, dan masyarakat tentunya dapat mengatasi kesenjangan dalam upaya pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya.
"Sebagai cara pandang yang baru, determinan sosial kesehatan diharapkan bukan hanya disosialisasikan kepada para pengambil kebijakan di Indonesia, tapi juga dengan meningkatkan keterlibatan peran perempuan dan kelompok-kelompok marjinal di Indonesia," sebut Jelse.
Dr. Suvajee Good sebagai Penasehat Regional WHO-SEARO menyampaikan, bahwa determinan sosial kesehatan adalah kondisi tempat tinggal seseorang, mulai dari dilahirkan, dibesarkan, bekerja, berkeluarga, hingga menghabiskan hari tua, yang dapat berdampak pada status kesehatannya.
"Kondisi sepanjang hayat ini tentunya berbeda-beda tergantung dari wilayah geografis dan sosial budaya setempat, namun determinan sosial inilah yang paling berperan dalam ketimpangan kesehatan," kata Suvajee.
Untuk mengatasi ketimpangan kesehatan, WHO melalui Deklarasi Rio de Janeiro tentang determinan sosial kesehatan merekomendasikan seluruh kebijakan harus berwawasan kesehatan (Health in all policies) kepada seluruh negara anggotanya. Indonesia merupakan pionir yang membantu WHO dalam pengembangan indikator kesetaraan kesehatan.
Dalam paparan hasil kajian determinan sosial kesehatan di Indonesia, Prof. Dr. drg. Ella N. Hadi, M.Kes menyampaikan bahwa ketimpangan kesehatan masih banyak ditemukan di Indonesia dan ini disebabkan oleh kebijakan ekonomi, pendidikan dan sosial yang belum berwawasan kesehatan.
Misalnya akses pemeriksaan kehamilan yang lebih baik di daerah urban daripada di daerah rural, prevalensi stunting yang berbeda jauh antara daerah maju dan daerah tertinggal, angka harapan hidup yang lebih tinggi di daerah yang ekonominya lebih baik(Jawa-Bali) dibandingkan dengan daerah dengan ekonomi kurang baik (luar Jawa-Bali).
Pemerintah telah melakukan perbaikan dalam program yang menyentuh segala lapisan masyarakat, misalnya program JKN, dan pendidikan dasar yang gratis, namun dalam implementasinya masih mengabaikan kondisi spesifik seperti akses geografis, sosial budaya yang berbeda-beda, dan lain-lain.
Program dan kebijakan yang berwawasan kesehatan ini juga perlu monitoring yang ketat setiap tahunnya, hanya saja pengambilan data masih dilakukan secara cross-sectional. Perlu ada monitoring dengan indikator-indikator yang lebih tepat dan pengambilan data yang berkelanjutan dengan disain longitudinal.
Karena itu, determinan sosial kesehatan merupakan kunci untuk mengatasi ketimpangan kesehatan, dan pemerintah perlu membuat komisi khusus untuk determinan sosial kesehatan agar dapat melakukan koordinasi lintas sektor sekaligus evaluasi indikator-indikator ketimpangan kesehatan di Indonesia.
Prof. Dr. Budi Haryanto, M.Sc selaku Guru Besar Kesehatan Lingkungan FKM-UI menyampaikan bahwa tantangan kesehatan lingkungan yang perlu dilihat dari determinan sosial kesehatan, misalnya polusi udara dan perubahan iklim, penyakit yang dibawa nyamuk, gelombang panas yang meningkat, dan ancaman plastik mikro.
Penanggap lainnya, Pungkas B. Ali, Ph.D selaku Direktur Kesehatan dan Gizi Bappenas menyampaikan banyak faktor yang di luar kuasa sektor kesehatan, misalnya stunting tidak turun karena akses air yang buruk dan tingginya angka kematian ibu karena sulitnya akses ke layanan kesehatan.
Pemahaman tentang determinan sosial kesehatan yang masih rendah disebabkan oleh kompetisi prioritas antar kementerian dan lembaga, kurangnya kepemimpinan yang berwawasan kesehatan, dan kebijakan anggaran yang belum mendukung.
Beliau juga menyampaikan perlu adanya basis data longitudinal untuk indikator-indikator determinan sosial yang khas Indonesia yang dilanjutkan dengan riset-riset yang menunjukkan keterkaitan determinan sosial dengan dampak kesehatannya.
Webinar yang diselenggarakan secara daring ini diikuti oleh lebih dari 700 peserta dari seluruh Indonesia.
Pada Rabu 8 Maret 2023, Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (Dept. PKIP FKM-UI) menyelenggarakan sebuah webinar tentang "Determinan Sosial Kesehatan untuk Mengatasi Ketimpangan Kesehatan di Indonesia."
Webinar ini bertujuan untuk menyampaikan laporan hasil kajian determinan sosial kesehatan di Indonesia oleh tim peneliti dari Dept. PKIP FKM-UI dan Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI) yang didukung oleh WHO Indonesia.
Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan FKM-UI, Dr. Ir. Asih Setiarini, M.Sc dalam sambutannya menyampaikan bahwa FKM-UI terus berusaha menyampaikan gagasan terkini untuk upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
"Sosialisasi mengenai determinan sosial kesehatan ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk agar pembangunan berkelanjutan di Indonesia mulai mengacu pada penerapan kebijakan yang berwawasan kesehatan di lintas sektor," ujar Asih.
Senada dengan itu, Jelsi N. Marampa, MKKK selaku Asisten Deputi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK-RI) mengatakan, kondisi Indonesia yang unik secara geografis dengan beragam suku budaya tentunya memerlukan penangan tersendiri agar menjadi potensi yang bisa dimaksimalkan.
"Pembangunan manusia perlu disesuaikan dengan etape kehidupan dan determinan sosial yang mempengaruhi hasilnya," kata Jelsi.
Aspek sosial budaya dan kepercayaan misalnya sangat berpengaruh dalam upaya penanganan stunting, pemberian ASI Eksklusif, imunisasi dasar lengkap, dan upaya pembangunan manusia Indonesia lainnya.
Upaya pembangunan manusia Indonesia tidak bisa menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan saja. Sinergitas pentahelix melalui peran lintas sektor yang didukung oleh dunia usaha, dunia industri, akademisi, media, dan masyarakat tentunya dapat mengatasi kesenjangan dalam upaya pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya.
"Sebagai cara pandang yang baru, determinan sosial kesehatan diharapkan bukan hanya disosialisasikan kepada para pengambil kebijakan di Indonesia, tapi juga dengan meningkatkan keterlibatan peran perempuan dan kelompok-kelompok marjinal di Indonesia," sebut Jelse.
Dr. Suvajee Good sebagai Penasehat Regional WHO-SEARO menyampaikan, bahwa determinan sosial kesehatan adalah kondisi tempat tinggal seseorang, mulai dari dilahirkan, dibesarkan, bekerja, berkeluarga, hingga menghabiskan hari tua, yang dapat berdampak pada status kesehatannya.
"Kondisi sepanjang hayat ini tentunya berbeda-beda tergantung dari wilayah geografis dan sosial budaya setempat, namun determinan sosial inilah yang paling berperan dalam ketimpangan kesehatan," kata Suvajee.
Untuk mengatasi ketimpangan kesehatan, WHO melalui Deklarasi Rio de Janeiro tentang determinan sosial kesehatan merekomendasikan seluruh kebijakan harus berwawasan kesehatan (Health in all policies) kepada seluruh negara anggotanya. Indonesia merupakan pionir yang membantu WHO dalam pengembangan indikator kesetaraan kesehatan.
Dalam paparan hasil kajian determinan sosial kesehatan di Indonesia, Prof. Dr. drg. Ella N. Hadi, M.Kes menyampaikan bahwa ketimpangan kesehatan masih banyak ditemukan di Indonesia dan ini disebabkan oleh kebijakan ekonomi, pendidikan dan sosial yang belum berwawasan kesehatan.
Misalnya akses pemeriksaan kehamilan yang lebih baik di daerah urban daripada di daerah rural, prevalensi stunting yang berbeda jauh antara daerah maju dan daerah tertinggal, angka harapan hidup yang lebih tinggi di daerah yang ekonominya lebih baik(Jawa-Bali) dibandingkan dengan daerah dengan ekonomi kurang baik (luar Jawa-Bali).
Pemerintah telah melakukan perbaikan dalam program yang menyentuh segala lapisan masyarakat, misalnya program JKN, dan pendidikan dasar yang gratis, namun dalam implementasinya masih mengabaikan kondisi spesifik seperti akses geografis, sosial budaya yang berbeda-beda, dan lain-lain.
Program dan kebijakan yang berwawasan kesehatan ini juga perlu monitoring yang ketat setiap tahunnya, hanya saja pengambilan data masih dilakukan secara cross-sectional. Perlu ada monitoring dengan indikator-indikator yang lebih tepat dan pengambilan data yang berkelanjutan dengan disain longitudinal.
Karena itu, determinan sosial kesehatan merupakan kunci untuk mengatasi ketimpangan kesehatan, dan pemerintah perlu membuat komisi khusus untuk determinan sosial kesehatan agar dapat melakukan koordinasi lintas sektor sekaligus evaluasi indikator-indikator ketimpangan kesehatan di Indonesia.
Prof. Dr. Budi Haryanto, M.Sc selaku Guru Besar Kesehatan Lingkungan FKM-UI menyampaikan bahwa tantangan kesehatan lingkungan yang perlu dilihat dari determinan sosial kesehatan, misalnya polusi udara dan perubahan iklim, penyakit yang dibawa nyamuk, gelombang panas yang meningkat, dan ancaman plastik mikro.
Penanggap lainnya, Pungkas B. Ali, Ph.D selaku Direktur Kesehatan dan Gizi Bappenas menyampaikan banyak faktor yang di luar kuasa sektor kesehatan, misalnya stunting tidak turun karena akses air yang buruk dan tingginya angka kematian ibu karena sulitnya akses ke layanan kesehatan.
Pemahaman tentang determinan sosial kesehatan yang masih rendah disebabkan oleh kompetisi prioritas antar kementerian dan lembaga, kurangnya kepemimpinan yang berwawasan kesehatan, dan kebijakan anggaran yang belum mendukung.
Beliau juga menyampaikan perlu adanya basis data longitudinal untuk indikator-indikator determinan sosial yang khas Indonesia yang dilanjutkan dengan riset-riset yang menunjukkan keterkaitan determinan sosial dengan dampak kesehatannya.
Webinar yang diselenggarakan secara daring ini diikuti oleh lebih dari 700 peserta dari seluruh Indonesia.
(nag)