Tantangan Berat Penyelenggara Pemilu, Gelar Pilkada di Tengah Pandemi
Rabu, 22 Juli 2020 - 16:56 WIB
Di dunia politik, hoaks kerap digunakan sebagai senjata untuk menyerang kubu lawan.
Namun target utama dari penyebaran hoaks adalah masyarakat umum, yang akan menerima informasi-informasi palsu tersebut, hingga akhirnya mempercayai berita palsu yang disebarkan menjadi kebenaran.
"Dan pada akhirnya, karena informasi palsu yang terus menerus diterima, akan berubah menjadi kebencian. Dan itu berlangsung tidak hanya sehari-dua hari, tapi bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Kita tahu, efek Pilpres 2014 masih berlangsung hingga sekarang," tuturnya.
Menurutnya, hoaks terus disebarkan dengan tujuan memelihara kebencian, hingga orang tidak bisa berpikir netral dan rasional. "Dampaknya, karena termakan hoaks, kita kehilangan makna hidup bersama, persaudaraan terkikis," tuturnya.
Untuk mengantisipasinya, Anita berharap, agar semua stakeholder bergandeng tangan, mencegah informasi palsu beredar luas di masyarakat. Misalnya KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu, harus lebih cermat mendengar info yang beredar di masyarakat. Jika menemukan indikasi hoaks, segera lakukan klarifikasi.
Jangan sampai dibiarkan terlalu lama. Sebab, hoaks yang dibiarkan lebih dari empat jam tanpa klarifikasi akan sangat susah untuk meluruskannya. Stakeholder terkait juga harus selalu mengingatkan masyarakat, bahwa pilkada hanya event sesaat. Yang lebih penting adalah pasca pilkada, bahwa kita semua bersaudara, tetap sedulur, tetap guyub, meskipun berbeda pilihan saat pesta demokrasi.
“Ini penting, agar pesta demokrasi tidak merusak hubungan antarmanusia, antar teman, dan sebagainya. KIta harus menjaga sisi kemanusiaan kita," imbuhnya.
Ketua KPU Jateng Yulianto Sudrajat menegaskan, pihaknya terus menyosialisasikan terselenggaranya pesta demokrasi yang gembira tanpa dinodai hoaks.
"Kita punya kultur adiluhing. Jangan sampai pemilu menjadi semakin liberal, makin mengutamakan kelompok, sehingga proses kontestasi menjadi sangat gaduh," ucap Julianto. Terkait pelaksanaan pemilu di tengah pandemi COVID-19, Yulianto menyebutkan, tantangannya sangat berat.
Sebab, penyelenggara pemilu dituntut untuk bisa menjalankan seluruh tahapan pilkada dengan nyaman, sehat dan selamat. "Penerapan protokol kesehatan menjadi mutlak. KPU sudah mengeluarkan Peraturan KPU 6 / 2020 tentang pilkada di masa pandemi. Di situ mengatur seluruh tahapan yang harus mematuhi standar protokol kesehatan," katanya.
Namun target utama dari penyebaran hoaks adalah masyarakat umum, yang akan menerima informasi-informasi palsu tersebut, hingga akhirnya mempercayai berita palsu yang disebarkan menjadi kebenaran.
"Dan pada akhirnya, karena informasi palsu yang terus menerus diterima, akan berubah menjadi kebencian. Dan itu berlangsung tidak hanya sehari-dua hari, tapi bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Kita tahu, efek Pilpres 2014 masih berlangsung hingga sekarang," tuturnya.
Menurutnya, hoaks terus disebarkan dengan tujuan memelihara kebencian, hingga orang tidak bisa berpikir netral dan rasional. "Dampaknya, karena termakan hoaks, kita kehilangan makna hidup bersama, persaudaraan terkikis," tuturnya.
Untuk mengantisipasinya, Anita berharap, agar semua stakeholder bergandeng tangan, mencegah informasi palsu beredar luas di masyarakat. Misalnya KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu, harus lebih cermat mendengar info yang beredar di masyarakat. Jika menemukan indikasi hoaks, segera lakukan klarifikasi.
Jangan sampai dibiarkan terlalu lama. Sebab, hoaks yang dibiarkan lebih dari empat jam tanpa klarifikasi akan sangat susah untuk meluruskannya. Stakeholder terkait juga harus selalu mengingatkan masyarakat, bahwa pilkada hanya event sesaat. Yang lebih penting adalah pasca pilkada, bahwa kita semua bersaudara, tetap sedulur, tetap guyub, meskipun berbeda pilihan saat pesta demokrasi.
“Ini penting, agar pesta demokrasi tidak merusak hubungan antarmanusia, antar teman, dan sebagainya. KIta harus menjaga sisi kemanusiaan kita," imbuhnya.
Ketua KPU Jateng Yulianto Sudrajat menegaskan, pihaknya terus menyosialisasikan terselenggaranya pesta demokrasi yang gembira tanpa dinodai hoaks.
"Kita punya kultur adiluhing. Jangan sampai pemilu menjadi semakin liberal, makin mengutamakan kelompok, sehingga proses kontestasi menjadi sangat gaduh," ucap Julianto. Terkait pelaksanaan pemilu di tengah pandemi COVID-19, Yulianto menyebutkan, tantangannya sangat berat.
Sebab, penyelenggara pemilu dituntut untuk bisa menjalankan seluruh tahapan pilkada dengan nyaman, sehat dan selamat. "Penerapan protokol kesehatan menjadi mutlak. KPU sudah mengeluarkan Peraturan KPU 6 / 2020 tentang pilkada di masa pandemi. Di situ mengatur seluruh tahapan yang harus mematuhi standar protokol kesehatan," katanya.
tulis komentar anda