Kisah Pasuruan, Rajanya Pabrik Gula sejak Meletusnya Perang Jawa
Rabu, 01 Februari 2023 - 11:38 WIB
Pasuruan , Jawa Timur pada era Kolonial Belanda terkenal sebagai kawasan pabrik gula. Jumlah pabrik gula di wilayah Pasuruan lebih banyak dibanding daerah lainnya.
Tercatat sejak tahun 1828 atau dua tahun sebelum Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) berakhir, di Pasuruan terdapat 21 pabrik gula. Hanya dalam waktu 12 bulan, jumlah pabrik gula berlipat menjadi 51.
Dan pada tahun 1831, yakni setahun setelah Perang Jawa tamat, jumlah pabrik gula di Pasuruan bertambah menjadi 91. “Produksi gulanya mencapai 29.513 pikul/tahun,” demikian yang tertulis dalam buku Bandit-bandit Pedesaan di Jawa Studi Historis 1850-1942.
Sesuai catatan tahun 1834, saat itu area tanaman tebu yang diikuti pabrik gula di Pasuruan telah menyebar di delapan distrik. Yakni distrik Rejoso, Kota Pasuruan, Kraton, Jati, Wangkal, Kebon Candi, Winongan, Grati dan Ngampit. Luas lahan yang bertanaman tebu mencapai 12.514 hektare.
Keberadaan tanaman tebu sebagai bahan baku utama gula sudah lama menguasai area persawahan Pasuruan. Apalagi pasca tahun 1830. Tebu yang sebelumnya menguasai seperlima sawah, telah menggeser keberadaan tanaman padi.
Mayoritas sawah di wilayah Pasuruan telah berubah menjadi kawasan perkebunan tebu. Menyusul itu, di mana-mana muncul industri gula yang sebagian besar dikelola para pengusaha Tionghoa.
Situasi yang ada memudahkan Van Den Bosch menjalankan politik tanam paksa di Pasuruan. Bosch juga melaksanakan konsep bisnis industri gula pemerintah. Pada tahun 1830, sesuai keterangan Residen Domis, Bosch melakukan kontrak kerja dengan sembilan perajin gula.
Enam orang di antaranya adalah pengusaha Tionghoa, dan tiga lainnya pengusaha Eropa. “Mereka harus menyerahkan 17.430 pikul gula”. Yang berjalan di Pasuruan selama itu, para pengusaha (perajin gula) mendapat suplai tebu dari penduduk.
Baca juga: Mpu Kapat, Sosok Misterius yang Jadi Petinggi Kerajaan Majapahit
Tercatat sejak tahun 1828 atau dua tahun sebelum Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) berakhir, di Pasuruan terdapat 21 pabrik gula. Hanya dalam waktu 12 bulan, jumlah pabrik gula berlipat menjadi 51.
Dan pada tahun 1831, yakni setahun setelah Perang Jawa tamat, jumlah pabrik gula di Pasuruan bertambah menjadi 91. “Produksi gulanya mencapai 29.513 pikul/tahun,” demikian yang tertulis dalam buku Bandit-bandit Pedesaan di Jawa Studi Historis 1850-1942.
Sesuai catatan tahun 1834, saat itu area tanaman tebu yang diikuti pabrik gula di Pasuruan telah menyebar di delapan distrik. Yakni distrik Rejoso, Kota Pasuruan, Kraton, Jati, Wangkal, Kebon Candi, Winongan, Grati dan Ngampit. Luas lahan yang bertanaman tebu mencapai 12.514 hektare.
Keberadaan tanaman tebu sebagai bahan baku utama gula sudah lama menguasai area persawahan Pasuruan. Apalagi pasca tahun 1830. Tebu yang sebelumnya menguasai seperlima sawah, telah menggeser keberadaan tanaman padi.
Mayoritas sawah di wilayah Pasuruan telah berubah menjadi kawasan perkebunan tebu. Menyusul itu, di mana-mana muncul industri gula yang sebagian besar dikelola para pengusaha Tionghoa.
Situasi yang ada memudahkan Van Den Bosch menjalankan politik tanam paksa di Pasuruan. Bosch juga melaksanakan konsep bisnis industri gula pemerintah. Pada tahun 1830, sesuai keterangan Residen Domis, Bosch melakukan kontrak kerja dengan sembilan perajin gula.
Enam orang di antaranya adalah pengusaha Tionghoa, dan tiga lainnya pengusaha Eropa. “Mereka harus menyerahkan 17.430 pikul gula”. Yang berjalan di Pasuruan selama itu, para pengusaha (perajin gula) mendapat suplai tebu dari penduduk.
Baca juga: Mpu Kapat, Sosok Misterius yang Jadi Petinggi Kerajaan Majapahit
tulis komentar anda