Sekolah Bekas Penampungan Anak Konflik Ambon Butuh Perhatian
A
A
A
AMBON - Gedung permanen bekas tempat penampungan anak-anak korban konflik Ambon, pada 2007, kini dimanfaatkan menjadi sekolah untuk siswa tidak mampu. Sekolah itu adalah Madrasah Ibtidaiyah Asyukriah, di Kawasan Wara, Kota Ambon.
Zulkifli Lestaluhu (45), salah seorang guru yang juga Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Asyukriah mengatakan, sejak konflik itu, gedung yang tidak terpakai dan terbengkalai ini dijadikan sekolah.
"Ibu-ibu rumah tangga lulusan akademi dan sarjana di sekitar gedung, kami jadikan guru relawan dan hanya digaji Rp150 ribu perbulan," katanya, saat ditemui di wartawan, Sabtu (2/5/2015).
Ditambahkan dia, setelah beberapa tahun berjalan hingga kini, sekolah tersebut mulai diperhatikan oleh Dinas Pendidikan Kota Ambon. Namun, perhatian yang diberikan masih belum maksimal, bahkan terlalu kecil untuk dapat dikatakan bantuan.
Dalam setahun, sekolah ini mendapatkan bantuan sebesar Rp15 juta. Kecilnya bantuan dari pemerintah, tidak membuat sekolah gulung tikar. Sebaliknya, mereka tetap bertahan hingga smebilan tahun. Bahkan, telah berhasil meluluskan dua angkatan.
"Saat ini, Madrasah Ibtidaiyah Asyukriah telah memiliki 50 orang siswa. Dari dua ruang belajar yang dimiliki, sistem pembelajaran sekolah dibagi menjadi dua, siang pagi dan siang," tambahnya Zulkifli.
Kelas I hingga Kelas III, digabung ke dalam satu ruang kelas. Begitupun dengan Kelas IV dan V. Sedangkan Kelas VI, belajar sendiri dalam satu ruang. Para siswa kelas VI sengaja dipisah, agar lebih fokus saat menempuh ujian.
Sementara para guru di sekolah ini telah mencapai 12 orang. Mereka berharap, pemerintah setempat bersedia memberikan bantuan tambahan ruang kelas agar siswa dapat belajar dengan nyaman dan bisa menampung lebih banyak siswa miskin.
Zulkifli Lestaluhu (45), salah seorang guru yang juga Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Asyukriah mengatakan, sejak konflik itu, gedung yang tidak terpakai dan terbengkalai ini dijadikan sekolah.
"Ibu-ibu rumah tangga lulusan akademi dan sarjana di sekitar gedung, kami jadikan guru relawan dan hanya digaji Rp150 ribu perbulan," katanya, saat ditemui di wartawan, Sabtu (2/5/2015).
Ditambahkan dia, setelah beberapa tahun berjalan hingga kini, sekolah tersebut mulai diperhatikan oleh Dinas Pendidikan Kota Ambon. Namun, perhatian yang diberikan masih belum maksimal, bahkan terlalu kecil untuk dapat dikatakan bantuan.
Dalam setahun, sekolah ini mendapatkan bantuan sebesar Rp15 juta. Kecilnya bantuan dari pemerintah, tidak membuat sekolah gulung tikar. Sebaliknya, mereka tetap bertahan hingga smebilan tahun. Bahkan, telah berhasil meluluskan dua angkatan.
"Saat ini, Madrasah Ibtidaiyah Asyukriah telah memiliki 50 orang siswa. Dari dua ruang belajar yang dimiliki, sistem pembelajaran sekolah dibagi menjadi dua, siang pagi dan siang," tambahnya Zulkifli.
Kelas I hingga Kelas III, digabung ke dalam satu ruang kelas. Begitupun dengan Kelas IV dan V. Sedangkan Kelas VI, belajar sendiri dalam satu ruang. Para siswa kelas VI sengaja dipisah, agar lebih fokus saat menempuh ujian.
Sementara para guru di sekolah ini telah mencapai 12 orang. Mereka berharap, pemerintah setempat bersedia memberikan bantuan tambahan ruang kelas agar siswa dapat belajar dengan nyaman dan bisa menampung lebih banyak siswa miskin.
(san)