Pelaksanaan Perda Gepeng Dituding Langgar HAM
A
A
A
YOGYAKARTA - Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis (gepeng) menuai sorotan. Muncul dugaan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan payung hukum penertiban gepeng itu.
Ahmad Syaifuddin, koordinator komunitas Save Street Children Yogyakarta mengatakan, pihaknya bersama 18 komunitas pemerhati anak, perempuan, difabel, gepeng, lansia, dan komunitas sosial lain menuntut pembatalan Perda DIY Nomor 1 Tahun 2014. Menurutnya, pemerintah memaksakan pelaksanaan perda itu meskipun belum ada prosedur standar di lapangan.
Bahkan, komunitas meyakini ada dugaan pelanggaran HAM oleh oknum Satpol PP selaku aparat penegak perda dan oknum petugas pendamping di camp assesment (panti rehabilitasi sosial) Dinas Sosial DIY.
"Penangkapan pasti disertai kekerasan, penanganan di camp assesment juga sarat pelanggaran HAM. Bahkan ada rekan kami yang jadi korban salah tangkap," tandas Ahmad saat memberikan keterangan pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Kamis (16/4/2015).
Isi Perda Nomor 1 Tahun 2014 itu juga disebutnya diskrimatif dan tidak realistis. Dia mencontohkan, sesuai Pasal 24, ancaman bagi gepeng yang tertangkap adalah hukuman kurungan enam minggu hingga tiga bulan dan/atau denda Rp10juta-Rp20 juta.
"Itu bisa saja mereka yang ditangkap menerima hukuman kurungan dan denda secara bersamaan. Dengan kondisi ekonomi gepeng juga tidak mungkin hukuman denda dapat terbayarkan," ujarnya.
Berdasar data yang diperoleh pihaknya, hingga 8 April 2015, ada sekitar 163 gepeng dan 70 orang lebih psikotik di camp assesment. Namun jumlah itu tidak sebanding dengan petugas pendamping yang hanya ada 12 orang.
"Jumlah yang sangat tidak memadai untuk memberikan pendampingan. Mereka juga tidak memiliki kompetensi soal HAM, isu jalanan, difabel, perempuan, hingga ODHA," imbuh Ahmad.
Dugaan pelanggaran HAM di dalam camp assesment terungkap setelah beberapa bekas penghuni melapor ke komunitas.
Salah satu korban salah tangkap, inisial BS mengungkapkan, dia sempat mendekam di camp assesment selama dua pekan lebih. Warga Yogya itu meyakini dia adalah korban salah tangkap. Karena, saat ditangkap oleh aparat Satpol PP dia tengah di pinggir jalan untuk transaksi jual-beli burung kicauan.
"Saya sedang COD (cash on delivery) burung kicauan karena saya memang bisnis jual-beli online burung kicauan. Tapi tiba-tiba ditangkap dan dituduh pengamen karena kebetulan saya bawa ukulele. Saat itu saya juga tunjukkan KTP, tapi tak digubris," ungkapnya.
Bahkan, meskipun pihak keluarga dan ketua RT tempatnya bermukim telah menyodorkan bukti-bukti bahwa dia bukan seorang gepeng, tetap saja pria yang telah memiliki anak istri itu ditahan di camp assesment.
"Di dalam camp saya lihat sendiri banyak kekerasan fisik kepada anak-anak dan lansia. Ada seeorang nenek yang diseret sekitar delapan meteran. Makanan yang disediakan, sanitasi dan fasilitas lainnya juga sangat tidak layak," terangnya yang baru sepekan ini keluar dari camp assesment.
Saat di dalam camp, dia juga sempat mendengar kabar dari sesama penghuni bahwa tak jarang siapa yang ingin cepat keluar harus membayar sejumlah uang ke petugas.
"Tidak ada kepastian kapan keluar, dipulangkan ke tempat asal, atau dipindah ke panti rehab. Saya keluar juga tidak jelas prosesnya, tapi ada kabar petugas mengakui saya memang salah tangkap," terangnya.
Dalam waktu dekat, perwakilan belasan komunitas sosial ini akan mengadu ke anggota DPRD DIY dan meminta agar perda tersebut dibatalkan. Komunitas sebelumnya sempat audiensi dengan Dinas Sosial DIY tapi hingga kini tidak ada tanggapan lebih lanjut.
Ahmad Syaifuddin, koordinator komunitas Save Street Children Yogyakarta mengatakan, pihaknya bersama 18 komunitas pemerhati anak, perempuan, difabel, gepeng, lansia, dan komunitas sosial lain menuntut pembatalan Perda DIY Nomor 1 Tahun 2014. Menurutnya, pemerintah memaksakan pelaksanaan perda itu meskipun belum ada prosedur standar di lapangan.
Bahkan, komunitas meyakini ada dugaan pelanggaran HAM oleh oknum Satpol PP selaku aparat penegak perda dan oknum petugas pendamping di camp assesment (panti rehabilitasi sosial) Dinas Sosial DIY.
"Penangkapan pasti disertai kekerasan, penanganan di camp assesment juga sarat pelanggaran HAM. Bahkan ada rekan kami yang jadi korban salah tangkap," tandas Ahmad saat memberikan keterangan pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Kamis (16/4/2015).
Isi Perda Nomor 1 Tahun 2014 itu juga disebutnya diskrimatif dan tidak realistis. Dia mencontohkan, sesuai Pasal 24, ancaman bagi gepeng yang tertangkap adalah hukuman kurungan enam minggu hingga tiga bulan dan/atau denda Rp10juta-Rp20 juta.
"Itu bisa saja mereka yang ditangkap menerima hukuman kurungan dan denda secara bersamaan. Dengan kondisi ekonomi gepeng juga tidak mungkin hukuman denda dapat terbayarkan," ujarnya.
Berdasar data yang diperoleh pihaknya, hingga 8 April 2015, ada sekitar 163 gepeng dan 70 orang lebih psikotik di camp assesment. Namun jumlah itu tidak sebanding dengan petugas pendamping yang hanya ada 12 orang.
"Jumlah yang sangat tidak memadai untuk memberikan pendampingan. Mereka juga tidak memiliki kompetensi soal HAM, isu jalanan, difabel, perempuan, hingga ODHA," imbuh Ahmad.
Dugaan pelanggaran HAM di dalam camp assesment terungkap setelah beberapa bekas penghuni melapor ke komunitas.
Salah satu korban salah tangkap, inisial BS mengungkapkan, dia sempat mendekam di camp assesment selama dua pekan lebih. Warga Yogya itu meyakini dia adalah korban salah tangkap. Karena, saat ditangkap oleh aparat Satpol PP dia tengah di pinggir jalan untuk transaksi jual-beli burung kicauan.
"Saya sedang COD (cash on delivery) burung kicauan karena saya memang bisnis jual-beli online burung kicauan. Tapi tiba-tiba ditangkap dan dituduh pengamen karena kebetulan saya bawa ukulele. Saat itu saya juga tunjukkan KTP, tapi tak digubris," ungkapnya.
Bahkan, meskipun pihak keluarga dan ketua RT tempatnya bermukim telah menyodorkan bukti-bukti bahwa dia bukan seorang gepeng, tetap saja pria yang telah memiliki anak istri itu ditahan di camp assesment.
"Di dalam camp saya lihat sendiri banyak kekerasan fisik kepada anak-anak dan lansia. Ada seeorang nenek yang diseret sekitar delapan meteran. Makanan yang disediakan, sanitasi dan fasilitas lainnya juga sangat tidak layak," terangnya yang baru sepekan ini keluar dari camp assesment.
Saat di dalam camp, dia juga sempat mendengar kabar dari sesama penghuni bahwa tak jarang siapa yang ingin cepat keluar harus membayar sejumlah uang ke petugas.
"Tidak ada kepastian kapan keluar, dipulangkan ke tempat asal, atau dipindah ke panti rehab. Saya keluar juga tidak jelas prosesnya, tapi ada kabar petugas mengakui saya memang salah tangkap," terangnya.
Dalam waktu dekat, perwakilan belasan komunitas sosial ini akan mengadu ke anggota DPRD DIY dan meminta agar perda tersebut dibatalkan. Komunitas sebelumnya sempat audiensi dengan Dinas Sosial DIY tapi hingga kini tidak ada tanggapan lebih lanjut.
(zik)