60% Warga Jawa Barat Sulit Akses Air Bersih

Sabtu, 11 April 2015 - 09:06 WIB
60% Warga Jawa Barat...
60% Warga Jawa Barat Sulit Akses Air Bersih
A A A
BANDUNG - Sekitar 60% warga di Jawa Barat masih kesulitan untuk mengakses air bersih. Hal ini diakibatkan privatisasi air yang semakin marak di Jawa Barat.

Menurut Ketua Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, secara kualitas air di Jabar menurun begitu pun secara kuantitas. Maka tidak heran jika akses untuk mendapatkan air dan air bersih dinilai sulit.

"Di Jabar sendiri terdapat ratusan perusahaan air minum. Belum lagi perusahaan yang penggunaan airnya banyak,” ungkapnya saat diskusi soal privatisasi air di Media Center Konferensi Asia Afrika, Jalan Asia Afrika, Jumat (10/4/2015).

Dia mengatakan, baik pemerintah pusat maupun daerah sangat lemah dalam perlindungan sumber daya air bagi masyarakat.

Meski pemerintah telah membatalkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan kembali diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan oleh Mahkamah Konstitusi RI.

Akan tetapi pengawasan terhadap privatisasi sumber daya air dinilai masih lemah. Walau bagaimana pun, pemerintah seharusnya bisa menegakan dan memenuhi akses Sumber Daya Air (SDA) yang bisa dinikmati oleh masyarakat.

Pihaknya menilai, baik Gubernur Jabar maupun pemerintah pusat belum menunjukan sikap konkret yang tegas dan konsisten dalam menjalankan putusan MK tersebut.

Padahal badan ekonomi dunia memperkirakan, 2025 diproyeksikan bahwa dunia akan mengalami krisis air. Di Indonesia privatisasi air banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan trans nasional.

Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi yang saat itu hadir menegaskan, inti masalah dari krisis air bersih di Jabar dan Indonesia umumnya masalah regulasi.

Hingga saat ini, pandangan pemerintah daerah maupun pusat, ketika ada sengketa soal SDA selalu berpikir pada aspek perizinan bukan pada aspek bahwa sumber daya air adalah hak warganya.

“Sehingga tidak heran, jika ada masalah pengalihan fungsi SDA, pemerintah akan cenderung lari pada wacana perizinan yang nantinya dihukum ringan secara pidana. Padahal kan bukan itu intinya, Air adalah hak publik, yang seharusnya bisa dinikmati secara mudah oleh masyarakat, bukan di privatisasi oleh pihak swasta,” timpalnya.

Selain itu, pemerintah juga tidak menyediakan infrastruktur pengolahan SDA. Maka tidak heran, jika akhirnya pihak swasta yang mengambil alih.

Menurutnya, privatisasi air hanya sebagian dampak dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan air bersih.

Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Ida Nurlinda mengatakan bahwa pihak swasta boleh memanfaatkan air, sepanjang ada untuk kesejahteraan rakyat. Hal yang penting dilakukan pemerintah adalah soal pengawasan.

“Ketika perusahaan diberikan kepada badan hukum swasta, sebetulnya kemudian bagaimana mekanisme pengawasan yang dilakukan pemerintah,” ujarnya.

Hal lain yang harus diperhatikan, kata Ida, negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Karena akses rakyat terhadap air adalah hak yang bersifat asasi.

Kelestarian lingkungan hidup juga harus diperhatikan karena hal itu juga merupakan hak asasi manusia.

Selain itu, sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak.

Menurutnya, sebagai kelanjutan dari hak menguasai negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD.

Di Jawa Barat sendiri, Ida mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari organisasi peduli lingkungan Walhi Jabar, air bersih di Jabar bisa dipenuhi dari mata air yang ada.

“Kalau pemerintah bisa mengelolanya dengan baik, pemerintah bisa mengaturnya dengan baik, maka konflik yang cukup banyak terjadi di Jabar terkait dengan privatisasi air dan sulitnya akses petani terhadap pengairan sawah bisa teratasi,” tandasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0599 seconds (0.1#10.140)