Warga Garut Jadi Korban Perbudakan di Indonesia Timur
A
A
A
GARUT - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut kesulitan untuk menjemput warganya yang diduga menjadi korban perbudakan di kawasan Indonesia Timur. Tidak ada laporan dari pihak keluarga, menyulitkan pemerintah dalam upaya pemulangan mereka.
Kepala Bidang Bantuan Jaminan dan Rehabilitasi Sosial Disnakersostrans Kabupaten Garut Samhari menyebutkan, salah satu contoh kasus perbudakan yang menimpa warga Garut, terjadi di Laut Aru, Maluku.
Berdasarkan informasi yang dia himpun, sejumlah warga Garut yang menjadi korban perbudakan ini berasal dari Ciwalen, Kecamatan Garut Kota, Karangpawitan, dan Tarogong.
“Laporan yang pernah masuk ke kami itu dari Ciwalen, Kecamatan Garut Kota. Laporan itu disampaikan dari pihak keluarga. Ada sebanyak 11 warga yang berasal dari Ciwalen ini. Mereka melaporkan, bahwa ternyata di sana (Laut Aru) ada juga warga yang berasal dari Garut, yakni asal Karangpawitan, Tarogong, dan lainnya,” kata Samhari, Selasa (31/3/2015).
Pelaporan dari keluarga ini, setidaknya telah terjadi sejak 2014 lalu. Saat itu, mereka melaporkan jika anggota keluarganya diduga menjadi korban trafficking, setelah mendaftar kerja pada salah satu perusahaan di bidang kelautan.
“Menurut mereka, anggota keluarganya yang mendaftar kerja di PT Bandar Nelayan tertipu. Karena tidak menerima kabar, mereka kemudian melapor kepada kami. Lokasi perusahaannya ada di Bali," tambahnya.
Ke-11 orang asal Ciwalen ini, sambungnya, berangkat ke sana setelah transit dulu di Jakarta. Selang beberapa waktu kemudian, mereka dipekerjakan untuk memancing cumi di Laut Aru.
Kebohongan janji pihak perusahaan terhadap mereka akhirnya terbuka. Semula, mereka dijanjikan akan mendapat upah harian dalam jumlah lumayan, dengan bonus tambahan sebesar Rp300.000 bila target memancing cumi tercapai.
“Namun kenyataannya tidak demikian. Menurut pengakuan mereka, jangankan upah harian dan bonus sebesar Rp300.000, makan saja mereka tidak dapat. Infonya, mereka mancing di tengah laut dengan perahu kecil tak beratap. Setelah mancing mereka kembali ke perahu besar di tengah laut. Tidur dan semua aktivitas dilakukan di atas perahu, di laut," jelasnya.
Tak lama kemudian, pihak keluarga di Garut sulit mengontak mereka. Dari situlah, laporan ke pihaknya masuk. Upaya pemulangan 11 warga asal Ciwalen sendiri dilakukan dalam dua gelombang. Itu pun ditempuh melalui dua cara berbeda.
“Gelombang pertama, tiga orang berhasil pulang. Melalui pihak keluarga mereka, saya sampaikan agar mereka melarikan diri dengan cara menyelinap ke perahu pengangkut sembako. Sesampainya di darat, mereka mengontak keluarga untuk dikirimi uang sebagai ongkos pulang,” ucapnya.
Gelombang kedua, sambungnya, sebanyak delapan orang sisanya, menganiaya dahulu kapten kapal agar bisa diantar ke darat. Hingga kini, pihaknya masih terus berkoordinasi dengan pihak Kementrian Sosial.
"Pihak kementrian kemudian menjemput mereka. Warga yang jadi korban kemudian melapor juga ternyata di sana (Laut Aru), masih banyak warga Garut yang senasib dengan mereka. Ya, itu tadi, mereka dari Karangpawitan dan Tarogong,” bebernya.
Terkait nasib warga Garut yang masih tertinggal di tengah laut, Samhari mengaku pemerintah tidak dapat berbuat banyak.
“Laporan mengenai mereka tidak ada ke kami. Bagaimana kami menindaklanjuti. Delapan korban yang pulang pada gelombang kedua saja tidak lapor saat kembali ke Garut. Kami hanya tahu tembusannya dari pihak kementerian saja," pungkasnya.
Seperti diketahui, sebelumnya warga Kampung Cibangban, Desa Mekarjaya, Kecamatan Karangpawitan, bernama Yanti (35), mengaku sulit untuk berkomunikasi dengan suaminya yang bernama Dadang Kurnia (40).
Menurut Yanti, dia kehilangan komunikasi dengan suaminya selama 11 bulan. “Suami saya berangkat pada 16 Mei 2014 bersama tujuh orang teman melalui penyalur tenaga kerja bernama Ujang Jamhur," sambunganya.
Di antara mereka, tambah dia, ada seorang anak yang masih berada di bawah umur. Katanya, mereka akan bekerja di PT Bandar Nelayan. Komunikasi terakhir di 11 bulan yang lalu itu, suaminya bilang dia bekerja memancing cumi di tengah laut.
"Katanya dia tertipu dan ingin pulang. Setelah itu, tidak ada kontak lagi. Saya sudah hubungi tapi sulit. Kami sekeluarga kini khawatir akan kondisinya,” tuturnya.
Kepala Bidang Bantuan Jaminan dan Rehabilitasi Sosial Disnakersostrans Kabupaten Garut Samhari menyebutkan, salah satu contoh kasus perbudakan yang menimpa warga Garut, terjadi di Laut Aru, Maluku.
Berdasarkan informasi yang dia himpun, sejumlah warga Garut yang menjadi korban perbudakan ini berasal dari Ciwalen, Kecamatan Garut Kota, Karangpawitan, dan Tarogong.
“Laporan yang pernah masuk ke kami itu dari Ciwalen, Kecamatan Garut Kota. Laporan itu disampaikan dari pihak keluarga. Ada sebanyak 11 warga yang berasal dari Ciwalen ini. Mereka melaporkan, bahwa ternyata di sana (Laut Aru) ada juga warga yang berasal dari Garut, yakni asal Karangpawitan, Tarogong, dan lainnya,” kata Samhari, Selasa (31/3/2015).
Pelaporan dari keluarga ini, setidaknya telah terjadi sejak 2014 lalu. Saat itu, mereka melaporkan jika anggota keluarganya diduga menjadi korban trafficking, setelah mendaftar kerja pada salah satu perusahaan di bidang kelautan.
“Menurut mereka, anggota keluarganya yang mendaftar kerja di PT Bandar Nelayan tertipu. Karena tidak menerima kabar, mereka kemudian melapor kepada kami. Lokasi perusahaannya ada di Bali," tambahnya.
Ke-11 orang asal Ciwalen ini, sambungnya, berangkat ke sana setelah transit dulu di Jakarta. Selang beberapa waktu kemudian, mereka dipekerjakan untuk memancing cumi di Laut Aru.
Kebohongan janji pihak perusahaan terhadap mereka akhirnya terbuka. Semula, mereka dijanjikan akan mendapat upah harian dalam jumlah lumayan, dengan bonus tambahan sebesar Rp300.000 bila target memancing cumi tercapai.
“Namun kenyataannya tidak demikian. Menurut pengakuan mereka, jangankan upah harian dan bonus sebesar Rp300.000, makan saja mereka tidak dapat. Infonya, mereka mancing di tengah laut dengan perahu kecil tak beratap. Setelah mancing mereka kembali ke perahu besar di tengah laut. Tidur dan semua aktivitas dilakukan di atas perahu, di laut," jelasnya.
Tak lama kemudian, pihak keluarga di Garut sulit mengontak mereka. Dari situlah, laporan ke pihaknya masuk. Upaya pemulangan 11 warga asal Ciwalen sendiri dilakukan dalam dua gelombang. Itu pun ditempuh melalui dua cara berbeda.
“Gelombang pertama, tiga orang berhasil pulang. Melalui pihak keluarga mereka, saya sampaikan agar mereka melarikan diri dengan cara menyelinap ke perahu pengangkut sembako. Sesampainya di darat, mereka mengontak keluarga untuk dikirimi uang sebagai ongkos pulang,” ucapnya.
Gelombang kedua, sambungnya, sebanyak delapan orang sisanya, menganiaya dahulu kapten kapal agar bisa diantar ke darat. Hingga kini, pihaknya masih terus berkoordinasi dengan pihak Kementrian Sosial.
"Pihak kementrian kemudian menjemput mereka. Warga yang jadi korban kemudian melapor juga ternyata di sana (Laut Aru), masih banyak warga Garut yang senasib dengan mereka. Ya, itu tadi, mereka dari Karangpawitan dan Tarogong,” bebernya.
Terkait nasib warga Garut yang masih tertinggal di tengah laut, Samhari mengaku pemerintah tidak dapat berbuat banyak.
“Laporan mengenai mereka tidak ada ke kami. Bagaimana kami menindaklanjuti. Delapan korban yang pulang pada gelombang kedua saja tidak lapor saat kembali ke Garut. Kami hanya tahu tembusannya dari pihak kementerian saja," pungkasnya.
Seperti diketahui, sebelumnya warga Kampung Cibangban, Desa Mekarjaya, Kecamatan Karangpawitan, bernama Yanti (35), mengaku sulit untuk berkomunikasi dengan suaminya yang bernama Dadang Kurnia (40).
Menurut Yanti, dia kehilangan komunikasi dengan suaminya selama 11 bulan. “Suami saya berangkat pada 16 Mei 2014 bersama tujuh orang teman melalui penyalur tenaga kerja bernama Ujang Jamhur," sambunganya.
Di antara mereka, tambah dia, ada seorang anak yang masih berada di bawah umur. Katanya, mereka akan bekerja di PT Bandar Nelayan. Komunikasi terakhir di 11 bulan yang lalu itu, suaminya bilang dia bekerja memancing cumi di tengah laut.
"Katanya dia tertipu dan ingin pulang. Setelah itu, tidak ada kontak lagi. Saya sudah hubungi tapi sulit. Kami sekeluarga kini khawatir akan kondisinya,” tuturnya.
(san)