Florence Sihombing Siap Hadapi Vonis Hakim
A
A
A
YOGYAKARTA - Florence Saulina Sihombing (26), mahasiswi S2 Ilmu Kenotariatan Fakultas Hukum UGM mengaku siap menerima apa pun putusan dari majelis hakim. Sesuai jadwal, Selasa (31/3/2015) ini terdakwa kasus dugaan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) itu akan menjalani sidang pembacaan surat putusan di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Sidang rencananya dimulai pukul 10.00 WIB. Pantauan KORAN SINDO di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Selasa (31/3/2015), Florence sudah hadir bersama kerabat dan orangtuanya. Dia mengenakan pakaian perpaduan warna putih dan biru.
Menurut salah satu pegawai PN Yogakarta, jalannya persidangan masih menunggu salah satu anggota majelis hakim yang kebetulan tengah sidang perkara lainnya.
Sebelumnya, Florence yang dihubungi kemarin mengatakan,"Saya siap jalani sidang."
Florence menyatakan akan menghadapi putusan hakim seorang diri tanpa didampingi oleh pengacara. Diketahui, sejak 26 Februari lalu atau tepatnya saat dia menjalani sidang beragendakan pemeriksaan terdakwa, pengacaranya mendadak mengundurkan diri di tengah jalannya persidangan. Hingga kini dia belum juga mencari pengganti pengacara. "Nggak ada pengacara, saya siap sendiri."
Saat disinggung soal perkiraan putusan dari majelis hakim seperti apa, Florence enggan berspekulasi. Apakah hakim akan memvonisnya bersalah atau sebaliknya yaitu membebaskannya dari tuntutan pidana.
Dia justru mengungkapkan kemarin memperoleh dukungan dari rekan-rekannya sesama alumni S1. Selain dukungan moril, kata Florence, rekannya itu menyerahkan surat terkait kasus yang membelitnya itu ke Pengadilan Negeri Yogyakarta.
"Rekomendasi kepada hakim terkait persoalan hukum kasus saya. Sebatas itu yang saya tahu, karena itu inisiatif mereka, bukan perintah atau permintaan saya," terangnya.
Jaksa Penuntut Umum RR Rahayu pada sidang 16 Maret lalu menuntutnya dengan hukuman pidana enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan. Jaksa menilai Florence secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang No.11/2008 tentang ITE.
Akan tetapi dalam pembelaannya, Florence merasa tidak layak menjadi terdakwa kasus dugaan penghinaan warga Yogyakarta melalui media sosial Path yang membelitnya sejak bulan Agustus 2014. Seharusnya yang diajukan sebagai terdakwa dan dituntut dalam kasus ini bukan dia tapi empat temannya yang telah merepath dan meng-capture status Path-nya sehingga bisa terakses oleh orang lain.
"Status Path bersifat pribadi dan tertutup. Sesuai UU ITE, yang mendistribusikan dan menyebarluaskan adalah mereka-mereka (teman Path Florence)," kata Florence saat sidang pembelaan 23 Maret lalu.
Dia juga berdalih dalam statusnya di Path tidak menghina secara khusus orang per orang atau kelompok masyarakat. Florence juga mengungkit bahwa sejak kasusnya mencuat dia telah menerima sanksi sosial di masyarakat dan media sosial, serta telah menerima hukuman skorsing perkuliahan selama satu semester dari Komite Etik UGM.
Di sisi lain dia juga merasa sudah tidak layak dihukum karena telah minta maaf ke Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Raja Keraton Yogyakarta itu telah memaafkannya.
Sidang rencananya dimulai pukul 10.00 WIB. Pantauan KORAN SINDO di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Selasa (31/3/2015), Florence sudah hadir bersama kerabat dan orangtuanya. Dia mengenakan pakaian perpaduan warna putih dan biru.
Menurut salah satu pegawai PN Yogakarta, jalannya persidangan masih menunggu salah satu anggota majelis hakim yang kebetulan tengah sidang perkara lainnya.
Sebelumnya, Florence yang dihubungi kemarin mengatakan,"Saya siap jalani sidang."
Florence menyatakan akan menghadapi putusan hakim seorang diri tanpa didampingi oleh pengacara. Diketahui, sejak 26 Februari lalu atau tepatnya saat dia menjalani sidang beragendakan pemeriksaan terdakwa, pengacaranya mendadak mengundurkan diri di tengah jalannya persidangan. Hingga kini dia belum juga mencari pengganti pengacara. "Nggak ada pengacara, saya siap sendiri."
Saat disinggung soal perkiraan putusan dari majelis hakim seperti apa, Florence enggan berspekulasi. Apakah hakim akan memvonisnya bersalah atau sebaliknya yaitu membebaskannya dari tuntutan pidana.
Dia justru mengungkapkan kemarin memperoleh dukungan dari rekan-rekannya sesama alumni S1. Selain dukungan moril, kata Florence, rekannya itu menyerahkan surat terkait kasus yang membelitnya itu ke Pengadilan Negeri Yogyakarta.
"Rekomendasi kepada hakim terkait persoalan hukum kasus saya. Sebatas itu yang saya tahu, karena itu inisiatif mereka, bukan perintah atau permintaan saya," terangnya.
Jaksa Penuntut Umum RR Rahayu pada sidang 16 Maret lalu menuntutnya dengan hukuman pidana enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan. Jaksa menilai Florence secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang No.11/2008 tentang ITE.
Akan tetapi dalam pembelaannya, Florence merasa tidak layak menjadi terdakwa kasus dugaan penghinaan warga Yogyakarta melalui media sosial Path yang membelitnya sejak bulan Agustus 2014. Seharusnya yang diajukan sebagai terdakwa dan dituntut dalam kasus ini bukan dia tapi empat temannya yang telah merepath dan meng-capture status Path-nya sehingga bisa terakses oleh orang lain.
"Status Path bersifat pribadi dan tertutup. Sesuai UU ITE, yang mendistribusikan dan menyebarluaskan adalah mereka-mereka (teman Path Florence)," kata Florence saat sidang pembelaan 23 Maret lalu.
Dia juga berdalih dalam statusnya di Path tidak menghina secara khusus orang per orang atau kelompok masyarakat. Florence juga mengungkit bahwa sejak kasusnya mencuat dia telah menerima sanksi sosial di masyarakat dan media sosial, serta telah menerima hukuman skorsing perkuliahan selama satu semester dari Komite Etik UGM.
Di sisi lain dia juga merasa sudah tidak layak dihukum karena telah minta maaf ke Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Raja Keraton Yogyakarta itu telah memaafkannya.
(zik)