Suka Duka Mengajar di Perbatasan Indonesia-Malaysia

Kamis, 22 Januari 2015 - 07:45 WIB
Suka Duka Mengajar di...
Suka Duka Mengajar di Perbatasan Indonesia-Malaysia
A A A
MENGAJAR adalah aktivitas mulia. Apalagi, jika dilakukan di tengah keterbatasan. Seperti yang dilakoni para sarjana dari Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepat Terluar dan Tertinggal (SM3T) asal Jawa Tengah ini.

Mereka ditempatkan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, ujung perbatasan teritori Indonesia–Malaysia. Program itu biasa dikenal dengan 3 T (terdepan, terluar, tertinggal), tentu sangat berbeda kondisinya dibanding daerah lain yang sudah maju.

Para sarjana muda terpilih ini, dihadapkan dengan berbagai keterbatasan, di antaranya sinyal seluler, listrik serba terbatas, jalanan rusak, kondisi alam, hingga terlambatnya buku ajar.

Salah satu pengajar Rizky Dwi Arifianti (24) menuturkan, dirinya ditempatkan mengajar di SMAN 1 Beduai, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, satu–satunya SMA yang ada di kecamatan itu.

Saat dihubungi melalui layanan telepon, diketahui obrolan dengan gadis asli Kota Tegal itu sesekali terputus, karena minim sinyal. Namun begitu, obrolan dengan Fifi, sapaan akrabnya, tetap dilanjutkan.

“Buku ajar menjadi persoalan tersendiri, dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sampai sekarang, awal tahun ajaran baru 2014–2015, kami belum dapat bukunya," kata lulusan Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu, Rabu (21/1/2015).

Di sekolah itu, Fifi mengaku mengajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) dan Bahasa Indonesia. Tidak adanya buku ajar, bukan berarti kegiatan belajar mengajar berhenti. Sebaliknya, dia harus tetap mendidik siswa.

"Berbekal materi dari internet, hingga bahan–bahan saat kuliah dulu, KBM pun tetap berjalan," jelasnya.

Persoalan jam masuk sekolah pun menjadi cerita tersendiri. Bel sekolah dibunyikan menunggu siswa–siswinya berkumpul. Tak heran, sebab jarak antara rumah siswa dan sekolah sangat jauh. Beberapa siswa bahkan terpaksa naik mobil bak terbuka.

“Bel masuk biasanya jam 08.00–08.30 WIB, karena menunggu semua murid kumpul. Kami maklumi, karena jarak rumah ke sekolah memang sangat jauh. Jadi tidak bisa dipastikan masuk sekolah jam berapa, intinya menunggu semua murid berkumpul,” tegasnya.

Di kawasan perbatasan lainnya, bahkan kondisinya lebih parah. Semisal di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Di sana, tidak ada listrik, tidak ada sinyal, bahkan air yang digunakan MCK pun berwarna hitam, karena tercemar limbah tambang emas.

“Banyak babi berkeliaran. Jalannya juga rusak. Di sini (perbatasan) jalan beraspal cuma Lintas Malindo (Malaysia–Indonesia). Kondisi jalan lain, aspal rusak parah, bahkan berbatu,” tambah dia.

Mengajar di sana pun memberi pengalaman sendiri. Bagaimana menemui pelajar–pelajar SMP yang ternyata belum bisa membaca, menghitung dan menulis. “Akhirnya kami buat program Calistung (Baca-Tulis-Hitung) untuk murid–murid SMP,” terangnya.

Kendati berada dalam keterbatasan, para sarjana SM3T tidak mengeluh. Bahkan, naluri sosial peduli sesamanya jadi semakin tinggi. Saat terjadi banjir yang cukup besar di perbatasan beberapa hari terakhir, mereka bahkan ikut menggalang dana.

"Hujan deras sejak Jumat pekan lalu membuat daerah sekitaran Lintas Malindo banjir. KBM terhenti, sekolah terendam. Seperti di SMAN 1 Sekayam, SMAN 1 Beduai, dan SDN 02 Panga, Kalimantan Barat," bebernya.

Tidak adanya bantauan dari pemerintah membuat para sarjana bergerak menggalang dana. Bahkan, para pengajar SM3T di Aceh, Padang, hingga Papua, ikut menggalang dana. Uang saku saat berangkat dulu disisihkan sedikit demi sedikit untuk korban banjir.

“Kami berkomunikasi via grup SM3T di BlackBerry Messenger (BBM). Pelan–pelan, karena memang susah sinyal. Ini yang baru masuk bantuan dari anak–anak SM3T Aceh, dikirim ke rekening. Jika sudah terkumpul semua, uang diambil di bank,” tambah Fifi.

Teman–teman Fifi yang ikut mengajar di sana, di antaranya Nailil Muna (23) asli Demak, dan Himatul Amanah (24) asal Jawa Timur YANG saat ini sedang bersama–sama melakukan penggalangan dana antar sesama pengajar SM3T.

“Sekolah di SMAN 1 Sekayam memang ikut banjir,” tambah Nailil yang merupakan guru Sosiologi Antropologi itu.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0901 seconds (0.1#10.140)