Edi Prayitno, Tempuh 10 Kilo dengan Kursi Roda ke Sekolah

Rabu, 07 Januari 2015 - 08:05 WIB
Edi Prayitno, Tempuh 10 Kilo dengan Kursi Roda ke Sekolah
Edi Prayitno, Tempuh 10 Kilo dengan Kursi Roda ke Sekolah
A A A
DUA tahun sudah, Edi Priyanto, siswa kelas 7 SMP 2 Sewon Bantul, menyusuri Jalan Parangtritis sejauh 10 kilometer menggunakan kursi roda. Sejak berusia 1,5 tahun, Edi divonis dokter menderita penyakit langka osteogenesis imverfekta.

Akibat mengidap penyakit itu, tulang-tulang Edi menjadi rapuh, sehingga mudah patah ketika terbentur atau terantuk sesuatu. Hingga akhirnya, dia terpaksa duduk di kursi roda untuk beraktivitas sehari-hari.

Awalnya dia bisa berjalan, meskipun tertatih-tatih, karena panjang kakinya yang tidak sama. Namun sejak naik Kelas 3 SD, karena penyakitnya memburuk, dia terpaksa berhenti sekolah selama dua tahun.

Kini, tercatat ada empat bagian tubuhnya yang sudah patah, karena tulangnya mengalami keropos. Khawatir makin banyak tulang di bagian tubuhnya yang hancur, Edi pun terpaksa membatasi aktivitasnya di luar rumah.

Namun tidak termasuk dalam menuntut ilmu. Edi sadar, kelemahannya itu harus dibarengi dengan prestasi dan pendidikan yang tinggi. Untuk itu, bocah kelahiran 30 Oktober 1997 ini terlingat bersemangat dalam menimba ilmu.

Dia tidak ingin kekurangan tubuhnya menghalangi dirinya dalam menuntut ilmu. Kendati hujan dan panas, dia terus menyusuri jalan perkampungan rumahnya di Dusun Manggung, Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, menuju sekolah.

“Saya ingin sekolah yang tinggi agar bisa membantu ibu,” tuturnya ketika ditemui di sekolahnya, Jalan Parangtritis KM 6, Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sewon, Selasa (6/1/2015).

Untuk ke sekolah, Edi bangun sejak waktu salat subuh. Dia berangkat dari rumahnya di Dusun Manggung sekitar pukul 05.00 WIB. Setiap hari, dia menyusuri jalan dari kampungnya menuju Jalan Parangtritis untuk menuju ke sekolahnya.

Satu tanjakan dengan kemiringan sekitar 30 derajat di pintu masuk kampungnya harus dia lalui sebelum sampai di Jalan Parangtritis. Sekitar pukul 06.00 WIB, dia sudah sampai di sekolah mendahului petugas kebersihan sekolah tersebut.

Ramainya Jalan Parangtritis yang merupakan jalan utama menuju obyek wisata Parangtritits tak menyurutkan semangatnya, apalagi membuatnya takut. Meskipun ketika menyeberang jalan, dia harus menunggu benar-benar sepi.

Terkadang, setelah 10 menit menunggu dia baru bisa menyebrang, karena Jalan Parangtritis selalu dilewati bus-bus besar. Tak jarang, dia mendapat uluran tangan dari orang lain untuk menyeberang jalan, terutama ketika jalanan sedang ramai.

Pandangan ratusan orang yang selalu dia lewati di jalan tidak membuatnya malu. Karena baginya, sekolah penting untuk mencapai cita-citanya menjadi seorang teknisi komputer handal dan bisa membantu ibunya Sumiyah.

Sehari-hari, ibunda Edi bekerja membuat dinding (anyaman) bambu, dan menjadi buruh cuci. Yakinnya, Allah pasti memberikan jalan bagi orang-orang yang mau berusaha. “Saya yakin kalau kita ada kemauan pasti ada jalan,” tuturnya.

Setiap hari, Edi pergi ke sekolah sendiri tanpa diantar ibunya. Dia melakukannya, karena tidak ingin melihat ibunya yang juga harus pergi bekerja. Di luar itu, dia tidak mau bergantung pada orang lain.

Namun di sekolah, dirinya sering mendapat bantuan dari temannya sekedar untuk membelikan jajan. Di kursi rodanya, terdapat seperangkat kunci (peralatan bengkel) untuk memperbaiki kursi rodanya ketika mengalami rusak di jalan.

Di bawah joknya, dia menyimpan mantrol atau jas hujan ketika hujan turun. Sementara di belakang kursi rodanya, dia menaruh botol air seukuran satu liter yang selalu diisi dengan kopi.

“Saya senang kopi. Kalau tidak bawa kopi, nanti ngantuk di jalan atau di sekolah,” tambahnya.

Di sekolah, dia selalu berusaha semaksimal mungkin belajar. Bahkan ketika ada les tambahan, dia selalu berusaha menyempatkan diri untuk ikut dan pulang sampai sore hari. Baginya, belajar nomor satu.

Salah seorang guru di SMP 2 Sewon Tatik Trihandayani mengakui, semangat Edi dalam belajar memang luar biasa. Kendati di sekolah tersebut ada beberapa teman Edi yang juga mengalami kekurangan, namun Edi tergolong anak yang mandiri.

"Hampir setiap hari Edi selalu melewati depan rumah saya jam 6 pagi. Sementara jam segitu saya baru selesai menyapu halaman, tetapi dia sudah lewat depan rumah,” terangnya.

Di sekolah, prestasinya memang rata-rata dengan teman-temannya. Semester terakhir kemarin, Edi berhasil menduduki ranking kelima di kelasnya. Semangatnya yang tak pantang menyerah itu pula yang membuat bangga guru-guru di sekolah tersebut.

Namun begitu, Edi tidak mau dikasihani dan tidak ingin dibedakan dengan siswa yang lain, agar bisa menjadi tauladan di kelasnya.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7862 seconds (0.1#10.140)