Nguras Enceh, Lestari Budaya Kerajaan Mataram
A
A
A
TEPAT pukul 10.00 WIB, prosesi nguras enceh (Gentong) atau tempayan raksasa di Kompleks Makam Raja-raja Imogiri dimulai. Ribuan orang dari berbagai lapisan masyarakat tampak memadati kompleks makam bangsawan itu.
Mereka berlomba-lomba mengambil berkah dari air enceh, serta bekas cucian enceh dua kompleks makam bangsawan Keraton Surakarta dan Ngayogyakarto (Yogyakarta) Hadiningrat.
Marsilah (47), warga Donoloyo, Kecamatan Kotagede, Kodya Yogyakarta ini mengaku, kegiatan mengambil air enceh sudah dilakukannya secara turun menurun. Hampir setiap tahun, dia selalu mengambil air enceh.
"Saya sengaja datang ke sini mengalap berkah air yang disimpan dalam enceh atau bekas cucian dari enceh-enceh di Makam Raja Imogiri, biar nanti bisa selamat dan sejahtera,” ujar wanita berkerudung kuning ini, Jumat (7/11/2014).
Dia menambahkan, dirinya merasa sangat beruntung, karena pada prosesi nguras enceh hari ini air yang dia dapat lebih banyak dibanding tahun lalu. Tahun ini, dia berhasil mengumpulkan air sebanyak empat botol ukuran 1 liter.
"Air ini akan saya simpan dan diminum ketika sedang terdesak, atau sedang mengalami kesusahan, atau dilanda sakit. Sisanya akan saya tuang ke dalam sumur, agar membawa berkah usaha, dan menjaga dari marabahaya. Saya percaya itu,” terangnya.
Tidak hanya Marsilah, ribuan orang lainnya juga percaya. Menurut kepercayaan mereka, air air yang dikuras setiap bulan Suro dalam penanggalan Jawa, atau Muharram dalam kalender Islam, dapat membawa berkah.
Sementara itu, Juru Kunci Makam Raja-raja Imogiri KRT Hastana Negara mengungkapkan, upacara nguras enceh rutin dilaksanakan setiap Jumat Kliwon, bulan Suro.
Setidaknya, ada empat enceh yang terletak di depan pintu gerbang I Kompleks Makam Pajimatan Imogiri yang harus dikuras atau dibersihkan. Dua di bagian kiri dan dua enceh di bagian kanan.
Bagian kiri bernama Kiai Mendung dan Nyai Siyem (milik makam Raja-raja Surakarta). Bagian kanan bernama Nyai Danumurti dan Kiai Danumaya (milik makam Raja Yogyakarta).
Kiai Mendung berasal dari Istanbul, Turki. Nyai Siyem dari Siam (Bangkok, Thailand), Kiai Danumaya dari Samudera Pasai (Aceh), dan Nyai Danumurti dari Palembang.
“Memang, keempat enceh tersebut merupakan pemberian kerajaan kolega dan taklukan Sultan Agung,” paparnya.
Terpisah, Ketua Forum Cinta Budaya Bangsa (FORCIBB) Sudarna mengatakan, rangkaian prosesi nguras enceh dimulai sejak sehari sebelumnya, yakni Kamis 6 November 2014. Dimulai dengan ritual mengarak "siwur" untuk mengguras enceh.
Ritual ini merupakan bagian dari dimulainya upacara tradisi nguras enceh (membersihkan air tempayan berukuran raksasa) yang selalu mereka laksanakan setiap hari Jumat Kliwon di bulan Suro.
Rute yang ditempuh dalam ritual biasanya adalah, kantor Kecamatan Imogiri menuju pelataran Makam Imogiri. “Ini sudah menjadi tradisi tahunan warga Imogiri. Tradisi ini merupakan salah satu peninggalan budaya Kerajaan Mataram,” ungkapnya.
Kirab diikuti bergodo Prajurit Giritamtomo Imogiri, Muspika Imogiri beserta lurah se-Kecamatana Imogiri, abdi dalem Surakarta yang mengarak tandu, bergodo abdi dalem Ngayogyakarta juga menggarak tandu untuk menaruh siwur, pengusung gunungan, seni tradisional dan pelajar.
"Kirab diawali dari halaman Kantor Kecamatan Imogiri, selanjutnya iring-iringan kirab menuju Pendopo Kabupaten Jurukunci Surakarta," bebernya.
Kemudian, Bupati Jurukunci Surakarta KPH Suryonegoro menyerahkan siwur dan pusaka kepada bergodo abdi dalem Surakarta. Siwur dan pusaka tersebut kemudian diletakan dalam tandu untuk diarak ke tempat tujuan.
"Iring-iringan kirab dilanjutkan menuju Kabupaten Jurukunci Purulaya Ngayogjakarta untuk mengambil 'siwur' yang diserahkan langsung oleh Bupati Jurukunci KRT Hastana Negara," pungkasnya.
Mereka berlomba-lomba mengambil berkah dari air enceh, serta bekas cucian enceh dua kompleks makam bangsawan Keraton Surakarta dan Ngayogyakarto (Yogyakarta) Hadiningrat.
Marsilah (47), warga Donoloyo, Kecamatan Kotagede, Kodya Yogyakarta ini mengaku, kegiatan mengambil air enceh sudah dilakukannya secara turun menurun. Hampir setiap tahun, dia selalu mengambil air enceh.
"Saya sengaja datang ke sini mengalap berkah air yang disimpan dalam enceh atau bekas cucian dari enceh-enceh di Makam Raja Imogiri, biar nanti bisa selamat dan sejahtera,” ujar wanita berkerudung kuning ini, Jumat (7/11/2014).
Dia menambahkan, dirinya merasa sangat beruntung, karena pada prosesi nguras enceh hari ini air yang dia dapat lebih banyak dibanding tahun lalu. Tahun ini, dia berhasil mengumpulkan air sebanyak empat botol ukuran 1 liter.
"Air ini akan saya simpan dan diminum ketika sedang terdesak, atau sedang mengalami kesusahan, atau dilanda sakit. Sisanya akan saya tuang ke dalam sumur, agar membawa berkah usaha, dan menjaga dari marabahaya. Saya percaya itu,” terangnya.
Tidak hanya Marsilah, ribuan orang lainnya juga percaya. Menurut kepercayaan mereka, air air yang dikuras setiap bulan Suro dalam penanggalan Jawa, atau Muharram dalam kalender Islam, dapat membawa berkah.
Sementara itu, Juru Kunci Makam Raja-raja Imogiri KRT Hastana Negara mengungkapkan, upacara nguras enceh rutin dilaksanakan setiap Jumat Kliwon, bulan Suro.
Setidaknya, ada empat enceh yang terletak di depan pintu gerbang I Kompleks Makam Pajimatan Imogiri yang harus dikuras atau dibersihkan. Dua di bagian kiri dan dua enceh di bagian kanan.
Bagian kiri bernama Kiai Mendung dan Nyai Siyem (milik makam Raja-raja Surakarta). Bagian kanan bernama Nyai Danumurti dan Kiai Danumaya (milik makam Raja Yogyakarta).
Kiai Mendung berasal dari Istanbul, Turki. Nyai Siyem dari Siam (Bangkok, Thailand), Kiai Danumaya dari Samudera Pasai (Aceh), dan Nyai Danumurti dari Palembang.
“Memang, keempat enceh tersebut merupakan pemberian kerajaan kolega dan taklukan Sultan Agung,” paparnya.
Terpisah, Ketua Forum Cinta Budaya Bangsa (FORCIBB) Sudarna mengatakan, rangkaian prosesi nguras enceh dimulai sejak sehari sebelumnya, yakni Kamis 6 November 2014. Dimulai dengan ritual mengarak "siwur" untuk mengguras enceh.
Ritual ini merupakan bagian dari dimulainya upacara tradisi nguras enceh (membersihkan air tempayan berukuran raksasa) yang selalu mereka laksanakan setiap hari Jumat Kliwon di bulan Suro.
Rute yang ditempuh dalam ritual biasanya adalah, kantor Kecamatan Imogiri menuju pelataran Makam Imogiri. “Ini sudah menjadi tradisi tahunan warga Imogiri. Tradisi ini merupakan salah satu peninggalan budaya Kerajaan Mataram,” ungkapnya.
Kirab diikuti bergodo Prajurit Giritamtomo Imogiri, Muspika Imogiri beserta lurah se-Kecamatana Imogiri, abdi dalem Surakarta yang mengarak tandu, bergodo abdi dalem Ngayogyakarta juga menggarak tandu untuk menaruh siwur, pengusung gunungan, seni tradisional dan pelajar.
"Kirab diawali dari halaman Kantor Kecamatan Imogiri, selanjutnya iring-iringan kirab menuju Pendopo Kabupaten Jurukunci Surakarta," bebernya.
Kemudian, Bupati Jurukunci Surakarta KPH Suryonegoro menyerahkan siwur dan pusaka kepada bergodo abdi dalem Surakarta. Siwur dan pusaka tersebut kemudian diletakan dalam tandu untuk diarak ke tempat tujuan.
"Iring-iringan kirab dilanjutkan menuju Kabupaten Jurukunci Purulaya Ngayogjakarta untuk mengambil 'siwur' yang diserahkan langsung oleh Bupati Jurukunci KRT Hastana Negara," pungkasnya.
(san)