Sambut Musim Tanam, Warga Cibuntu Sedekah Bumi
A
A
A
WARGA Desa Cibuntu, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, menggelar upacara sedekah bumi, pada Sabtu 18 Oktober 2014. Tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur warga atas melimpahnya hasil pertanian, sekaligus menyambut musim tanam yang ditandai dengan turunnya hujan beberapa waktu lalu.
Acara sedekah bumi diawali dengan arak-arakan warga Desa Cibuntu, sambil membawa tetenong (wadah makanan) berisi berbagai macam makanan khas desa setempat, menuju lapangan desa yang berjarak sekitar 1 Km.
Tetenong dibawa oleh kaum laki-laki dengan cara dipikul. Sedangkan kaum perempuan berjalan disampingnya, sambil membawa bekal yang dibutuhkan dalam prosesi upacara sedekah bumi.
Setibanya di lapangan, iring-iringan warga dipersilakan memasuki tenda besar dan menempati lokasi yang telah ditentukan untuk menyimpan tetenong mereka.
Sambil melepas lelah, dan menunggu acara inti sedekah bumi, masyarakat dihibur dengan sejumlah kesenian tradisional yang dimainkan anak-anak desa setempat, seperti pagelaran seni angklung, reog, hingga tari-tarian.
Rangkaian ritual sedekah bumi dilanjutkan dengan penyerahan benih padi dari perangkat desa kepada petani. Kemudian doa bersama yang dipimpin oleh ulama, sebagai bentuk syukur sekaligus memohon doa kepada Tuhan YME untuk limpahan kesuburan tanah dan air, termasuk kesejahteraan seluruh masyarakat Desa Cibuntu, pada masa tanam selanjutnya.
Usai memanjatkan doa, acara makan-makan pun dimulai. Satu persatu tetenong dibuka, dan seluruh masyarakat yang hadir dipersilakan mengambil makanan dengan menggunakan takir, yaitu wadah yang terbuat dari anyaman daun kelapa dengan alas daun jati sebagai wadahnya.
Dengan tertib, warga mengambil dan menikmati hidangan khas masyarakat Cibuntu, seperti bakakak hayam, sate kambing, dan berbagai sayur berkuah.
Kepala Desa Cibuntu Awam mengungkapkan, tradisi sedekah bumi ini merupakan upacara adat masyarakat Cibuntu yang telah berlangsung turun-temurun sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan YME atas limpahan nikmat kesuburan tanah dan air sehingga menjadikan hasil pertanian yang melimpah.
"Acara sedekah bumi ini sebagai refleksi permohonan lindungan dari Tuhan, sekaligus ungkapan syukur atas nikmat yang telah diraih selama ini. Bentuk syukuran tersebut diungkapkan dalam kegiatan saling berbagi makanan yang dapat dinikmati oleh siapa saja, tanpa melihat pangkat maupun status sosial," kata Awam.
Sesepuh masyarakat Desa Cibuntu Amangkurat ini menambahkan, tradisi sedekah bumi selalu digelar sekali dalam setahun, setiap menjelang musim tanam tiba. Tak ada tanggal dan perhitungan waktu khusus dalam menentukan pelaksanaan, namun yang pasti selalu dilaksanakan pada setiap menjelang musim hujan.
"Sedekah bumi ini biasanya digelar pada bulan 9 atau 10 yang biasanya sudah ada tanda-tanda akan memasuki musim hujan. Seperti sekarang, di mana telah terjadi beberapa kali turun hujan sebagai tanda musim tanam akan segera dimulai," ujar Amangkurat.
Dalam prosesi sedekah bumi, terdapat beberapa komponen yang mempunyai makna dan petuah yang dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat. Seperti tetenong yang terdiri dari kata tete yang dalam bahasa Sunda berarti anak tangga atau tahapan, dan nong berasal dari kata ngegerenong yang berarti memuaskan.
"Dalam kehidupan manusia terdapat tahapan kehidupan yang harus dijalani. Semua tahapan tersebut harus ditempuh dengan baik untuk mencapai kualitas hidup yang ngagerenong atau memuaskan," ungkap Amangkurat.
Adapun takir yang digunakan sebagai wadah makan, merupakan singkatan dari kata tata dan pikir. Dengan tata pikir yang baik, maka akan menghasilkan kemampuan memilih dan memilah antara yang hak dan kewajiban, benar dan salah, serta halal dan haram.
"Dengan tata pikir yang baik, daun kelapa yang kecil dan panjang pun bisa diubah menjadi piring nasi," tukasnya.
Acara sedekah bumi diawali dengan arak-arakan warga Desa Cibuntu, sambil membawa tetenong (wadah makanan) berisi berbagai macam makanan khas desa setempat, menuju lapangan desa yang berjarak sekitar 1 Km.
Tetenong dibawa oleh kaum laki-laki dengan cara dipikul. Sedangkan kaum perempuan berjalan disampingnya, sambil membawa bekal yang dibutuhkan dalam prosesi upacara sedekah bumi.
Setibanya di lapangan, iring-iringan warga dipersilakan memasuki tenda besar dan menempati lokasi yang telah ditentukan untuk menyimpan tetenong mereka.
Sambil melepas lelah, dan menunggu acara inti sedekah bumi, masyarakat dihibur dengan sejumlah kesenian tradisional yang dimainkan anak-anak desa setempat, seperti pagelaran seni angklung, reog, hingga tari-tarian.
Rangkaian ritual sedekah bumi dilanjutkan dengan penyerahan benih padi dari perangkat desa kepada petani. Kemudian doa bersama yang dipimpin oleh ulama, sebagai bentuk syukur sekaligus memohon doa kepada Tuhan YME untuk limpahan kesuburan tanah dan air, termasuk kesejahteraan seluruh masyarakat Desa Cibuntu, pada masa tanam selanjutnya.
Usai memanjatkan doa, acara makan-makan pun dimulai. Satu persatu tetenong dibuka, dan seluruh masyarakat yang hadir dipersilakan mengambil makanan dengan menggunakan takir, yaitu wadah yang terbuat dari anyaman daun kelapa dengan alas daun jati sebagai wadahnya.
Dengan tertib, warga mengambil dan menikmati hidangan khas masyarakat Cibuntu, seperti bakakak hayam, sate kambing, dan berbagai sayur berkuah.
Kepala Desa Cibuntu Awam mengungkapkan, tradisi sedekah bumi ini merupakan upacara adat masyarakat Cibuntu yang telah berlangsung turun-temurun sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan YME atas limpahan nikmat kesuburan tanah dan air sehingga menjadikan hasil pertanian yang melimpah.
"Acara sedekah bumi ini sebagai refleksi permohonan lindungan dari Tuhan, sekaligus ungkapan syukur atas nikmat yang telah diraih selama ini. Bentuk syukuran tersebut diungkapkan dalam kegiatan saling berbagi makanan yang dapat dinikmati oleh siapa saja, tanpa melihat pangkat maupun status sosial," kata Awam.
Sesepuh masyarakat Desa Cibuntu Amangkurat ini menambahkan, tradisi sedekah bumi selalu digelar sekali dalam setahun, setiap menjelang musim tanam tiba. Tak ada tanggal dan perhitungan waktu khusus dalam menentukan pelaksanaan, namun yang pasti selalu dilaksanakan pada setiap menjelang musim hujan.
"Sedekah bumi ini biasanya digelar pada bulan 9 atau 10 yang biasanya sudah ada tanda-tanda akan memasuki musim hujan. Seperti sekarang, di mana telah terjadi beberapa kali turun hujan sebagai tanda musim tanam akan segera dimulai," ujar Amangkurat.
Dalam prosesi sedekah bumi, terdapat beberapa komponen yang mempunyai makna dan petuah yang dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat. Seperti tetenong yang terdiri dari kata tete yang dalam bahasa Sunda berarti anak tangga atau tahapan, dan nong berasal dari kata ngegerenong yang berarti memuaskan.
"Dalam kehidupan manusia terdapat tahapan kehidupan yang harus dijalani. Semua tahapan tersebut harus ditempuh dengan baik untuk mencapai kualitas hidup yang ngagerenong atau memuaskan," ungkap Amangkurat.
Adapun takir yang digunakan sebagai wadah makan, merupakan singkatan dari kata tata dan pikir. Dengan tata pikir yang baik, maka akan menghasilkan kemampuan memilih dan memilah antara yang hak dan kewajiban, benar dan salah, serta halal dan haram.
"Dengan tata pikir yang baik, daun kelapa yang kecil dan panjang pun bisa diubah menjadi piring nasi," tukasnya.
(san)