Rumah Bersejarah Inggit Garnasih Saksi Bisu Perjalanan Cinta Soekarno

Jum'at, 17 Oktober 2014 - 05:00 WIB
Rumah Bersejarah Inggit Garnasih Saksi Bisu Perjalanan Cinta Soekarno
Rumah Bersejarah Inggit Garnasih Saksi Bisu Perjalanan Cinta Soekarno
A A A
BANDUNG - Salah satu istri dari Sang Proklamator Bung Karno, adalah Inggit Garnasih, perempuan asal Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.

Jejak asmara antara sang Proklamator dengan perempuan kelahiran 17 Februari 1888 itu terlihat dari sebuah rumah yang terletak di Jalan Ibu Inggit Garnasih, No 8 Bandung (dulu bernama Jalan Ciateul). Di rumah inilah, bapak bangsa itu sempat mengisi hari-harinya bersama istri keduanya itu.

Kebersamaan dua orang anak manusia itu, dimulai pada 24 Maret 1923, seiring dengan resminya mereka menikah.

Saat pernikahan, usia Soekarno jauh lebih muda dibanding istrinya, yaitu 22 tahun (namun kemudian dalam catatan nikah, usia Soekarno ditambah menjadi 24 tahun) dan Inggit 36 tahun (dalam catatan nikah, di-muda-kan satu tahun).

Dari rumah itu, kita bisa menelusuri sebagian perjalanan sang pahlawan kemerdekaan itu melalui sejumlah dokumen yang ada di sana.

Begitu masuk, kita akan disambut dengan deretan dokumentasi, berupa foto-foto kedua insan yang pernah menjalani biduk rumah tangga itu.

Beberapa foto yang terpasang di ruang utama, diantaranya moment saat Bung Karno menjenguk Inggit, setelah mereka bercerai.

Di sisi kiri ruang utama, terdapat sebuah ruangan yang dulu pernah digunakan oleh Bung Karno sebagai ruang baca.

Di ruang tersebut, terdapat deretan foto, salah satunya foto meja yang pernah digunakan oleh Bung Karno untuk menulis.

“Ruangan ini dulunya, menjadi tempat Bung Karno menulis segala macam hal. Dan itu, di foto itu, adalah meja yang digunakan oleh Bung Karno untuk aktivitas menulisnya,” kata juru pelihara Rumah Bersejarah Ibu Inggit Garnasih, Jajang Ruhiyat.

Di sebelah kanan ruang utama, terdapat ruang tidur. Namun sayang, di sana tidak ada keterangan yang menyebutkan ruang tidur siapa, apakah Bung Karno atau Inggit.

“Ada juga ruang serba guna, ruang tempat Ibu Inggit membuat bedak dan jamu. Khusus untuk ruang membuat bedak dan jamu, “ jelas dia.

Berbeda dengan ruangan-ruangan lainnya, dari empat ruang yang ada di rumah tersebut, di ruangan membuat bedak dan jamu, terdapat sebuah benda yang disinyalir bekas peralatan Inggit membuat bedak dan jamu untuk dijual.

Aktivitas tersebut dilakukan Inggit setelah bercerai dengan Bung Karno, sepulang dari pengasingan di Bengkulu.

“Di sini hanya didominasi oleh foto-foto. Adapun barang-barang peninggalan lainnya, seperti meja, kursi dan pakaian tidak ada,” jelas dia.

Rumah Inggit tersebut, adalah rumah yang pernah ditempati oleh Inggit untuk kedua kalinya seorang diri.

Sebelumnya, saat masih bersama Bung Karno, rumah tersbeut berbentuk rumah panggung. “Awalnya masih dalam bentuk rumah panggung. Baru setelah pulang dari Bengkulu, Ibu Inggit membeli tanah dan membangun rumah seperti sekarang ini. Rumah ini diarsiteki oleh Sugiri tahun 1951,” jelas dia.

Dalam kepemilikannya yang kedua, Inggit menempati rumah itu sampai akhir hayatnya, 1984. Sepeninggal Inggit, penempatan rumah itu dilanjutkan oleh anak angkatnya, Ratna Djuami hingga 1996.

“Pada tahun 1996, rumah ini pemeliharaanya diserahkan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar. Satu tahun kemudian, tepatnya 1997 dilakukan renovasi karena kondisinya sudah tidak layak. Dan hingga saat ini, renovasi itu dilakukan rutin setiap tahun,” jelas dia.

Nah, bagi anda yang senang dengan tema tentang sejarah, Rumah Bersejarah Ibu Inggit Garnasih adalah tempat yang harus masuk dalam daftar kunjungan anda.

Telusuri dan ambil pelajaran dari setia jengkal di rumah yang pernah dihuni oleh tokoh perempuan yang begitu sabar dan gigih pada masa kemerdekaan.

Sebab, berdasarkan sejumlah sumber disebutkan, ‘Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah’ atau disingkat ‘Jasmerah’ adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Bung Karno, dalam pidatonya yang terakhir pada HUT RI 1966 lalu.

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya," adalah ucapan Bung Karno pada peringatan hari pahlawan 10 November 1961.

Pemerintah pusat mengapresiasi perjuangan yang dilakukan oleh Ibu Inggit Garnasih semasa hidupnya, baik saat mendampingi Bung Karno maupun setelahnya.

Apresiasi tersebut diberikan pemerintah, baik saat Ibu Inggit masih ada ataupun setelah meninggal dunia.

Penghargaan yang diterima Ibu Inggit semasa hidupnya, yakni tanda kehormatan ‘Satyalantjana Perintris Kemerdekaan’ pada 17 Agustus 1961.

Adapun penghargaan yang diterima setelah Inggit meninggal, yakni ‘Bintang Mahaputra Utama’ pada 10 November 1997 yang diterima oleh ahli warisnya, Ratna Djuami.

Tidak berhenti di situ, penghargaan juga diberikan oleh pemerintah yakni berupa pengabadian namanya. Nama Inggit Garnasih, dijadikan nama untuk jalan tempat rumah bersejarah itu berada.

Sehingga, terhitung sejak 10 November 1997, bersamaan dengan penerimaan ‘Bintang Mahaputra Utama,’ nama Jalan Ciateul, di mana rumah bersejarah itu berdiri, berubah menjadi Jalan Ibu Inggit Garnasih.

Dengan adanya perubahan nama jalan tersebut, maka lebih memudahkan siapa saja yang hendak berkunjung ke rumah yang menjadi saksi bisu sebagian perjalanan asmara dan perjuangan Presiden RI 1 itu.

Sebab, nama jalan itu terpampang dengan ukuran besar di pinggir jalan pada ‘penunjuk jalan’ ketika hendak ke arah Tegallega dari arah Jalan Otto Iskandar Dinata.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3859 seconds (0.1#10.140)