HUT Surabaya, 721 Tahun Usir Tentara Mongol

Kamis, 29 Mei 2014 - 08:35 WIB
HUT Surabaya, 721 Tahun Usir Tentara Mongol
HUT Surabaya, 721 Tahun Usir Tentara Mongol
A A A
USIA Kota Surabaya, pada 31 Mei 2014, telah mencapai 721 tahun. Lebih tua dari Jakarta yang baru menginjakkan kaki ke-487 tahun, pada 22 Juni 2014. Ada yang menarik kenapa usia kota dengan tiga juta penduduk itu bisa sebegitu lama.

Sebelumnya, Kota Surabaya memperingati hari lahirnya tiap 1 April. Hal ini merujuk pada terbentuknya Pemerintah Kota Surabaya, pada 1 April 1906. Peringatan terakhir hari jadi Kota Surabaya pada 1 April, terjadi pada tahun 1974.

Pada tahun itu, Kota Surabaya baru berusia 68 tahun. Setahun kemudian, hari lahir ini diubah menjadi 31 Mei. Perubahan ini pertama diberlakukan, pada 31 Mei 1975. Inilah untuk pertama kalinya, Kota Surabaya memperingati hari jadinya pada 31 Mei.

Tanggal 31 Mei 1293 merupakan hari kemenangan pasukan Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya, saat melawan pasukan Mongol. Dalam pertempuran hebat itu, pasukan Raden Wijaya berhasil membunuh 3.000 prajurit terbaik Raja Kubilai Khan.

Kerajaan Majapahit sering disebut didirikan oleh Raden Wijaya. Kerajaan itu didirikan dengan maksud meneruskan kejayaan Kerajaan Singasari, kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok, pada tahun 1222.

Raja terakhir Kerajaan Singasari adalah Sri Maharaja Kertanagara, anak Raja Wisnuwardhana. Dia penguasa Jawa pertama yang berambisi ingin menyatukan wilayah Nusantara. Keinginan ini kemudian diteruskan oleh Raden Wijaya tahun 1293-1309.

Menurut Prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Bupati Gelang-Gelang Jayakatwang terhadap Kerajaan Singasari. Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara menumpas pasukan Gelang-Gelang dari arah utara Singasari.

Dalam misi itu, Raden Wijaya berhasil memukul mundur lawannya. Namun, pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara. Lalu, Raden Wijaya melarikan diri ke Terung, sebelah utara Singasari.

Dari sana, dia kembali melarikan diri ke arah timur. Dengan bantuan kepala Desa Kudadu, dia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja, penguasa Songeneb (Sumenep). Wiraraja kemudian menyurati Adipati Jayakatwang.

Dalam suratnya, Wiraraja meminta Jayakatwang memaafkan menantu Raja Kertanegara, yakni Raden Wijaya. Permohonan itu lalu dikabulkan dan dibalas bahwa Raden Wijaya akan menyerahkan diri kepada Jayakatwang. Rupanya, itu merupakan taktik Wijaya.

Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik oleh Raja Jayakatwang, penguasa Kediri. Dia lalu membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa pahit dari buah tersebut.

Pada tahun 1293, sebanyak 20.000 pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese, mendarat di Jawa untuk menghukum Raja Kertanagara, karena pada tahun 1289, telah melukai utusan Kubilai Khan. Utusan itu, bernama Meng Chi.

Raja Kertanagara dihukum karena menolak tunduk dan tidak mau memberikan upeti kepada Kubilai Khan. Dia lalu mengecap wajah utusan Raja Mongol yang meminta upeti tersebut dengan besi panas, memotong telinganya, dan mengusirnya secara kasar.

Di sinilah kecerdikan Raden Wijaya. Dia memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol untuk menghancurkan Jayakatwang, lawannya yang memberontak kepada Kerajaan Singasari. Dia pun mengajak Ike Mese untuk bekerja sama.

Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu, dia mengaku bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol. Mereka kemudian berhasil menghancurkan pasukan Jayakatwang.

Setelah pasukan Jayakatwang hancur, Wijaya meminta izin kembali ke Majapahit, mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya.

Dia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha, di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu, membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.

Hari kemenangan Raden Wijaya ini yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surabaya. Namun, hal itu sempat menjadi perdebatan sejarah. Sebab tentara Monggol meninggalkan Jawa dari Pantai Hujung-Galuh, pada tanggal 19 April 1293.

Namun begitu, perdebatan ini tidak berlarut-larut. Sebab, yang terpenting bagi masyarakat Surabaya adalah pembangunan merata, kesejahteraan meningkat, pendidikan dan kesehatan terjangkau.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 6.1006 seconds (0.1#10.140)