Risma jadi korban dinamika politik PDIP
A
A
A
Sindonews.com - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dinilai telah menjadi korban dinamika politik elite partai pengusungnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Hal itu dikatakan Solidaritas Perempuan yang kini mengaku terus mendukung Risma untuk mendapuk kursi orang nomor satu di Surabaya itu.
"Dia (Risma) menjadi korban dari dinamika poltik oleh elite-elite Politik yang di atas," tegas Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Wahidah Rustam, di Surabaya, Jumat (21/2/2014).
Kata Wahidah, ketika orang berada partai politik biasanya selalu berorientasi kepada kekuasaan. Sementara yang terjadi oleh Risma saat ini, berbalik arah yang justru berorientasi memikirkan rakyatnya.
"Sosok pemimpin perempuan ini dalam kinerjanya menyentuh dan tidak berpikir kekuasaan. Yang dipikirkan adalah rakyat. Selain itu, basisnya juga cukup menyentuh. Karena dalam bekerja, selalu berpegang sebagai seorang pemimpin yang mengemban amanah," katanya.
Dalam memimpin Kota Surabaya, Risma juga langsung turun dan menyentuh ke sejumlah basis massa. Artinya, persoalan ini yang tidak diperhatikan elite-elite. Bahkan, dengan ketegasan dan kinerja itulah membuat gerah para elite yang kepentingannya terganggu.
Maka itu, dirinya meminta kepada Risma untuk tidak meninggalkan jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya atau mundur. Menurutnya, biasanya memang kerap terjadi tekanan-tekanan politik terhadap para pemimpin perempuan yang tentu berdampak pada psikologisnya.
"Partai politik adalah kendaraan. Unsur di dalamnya adalah dari rakyat. Yang harus dibangun parpol adalah jangan memposisikan orang yang dekat dengan masyarakat. Parpol tidak akan terbentuk ketika masyarakat tidak memberikan dukungan," katanya.
Baca:
Ditelepon SBY, Risma diminta tidak mundur
Risma terikat kontrak politik, Tuhan saksinya
Hal itu dikatakan Solidaritas Perempuan yang kini mengaku terus mendukung Risma untuk mendapuk kursi orang nomor satu di Surabaya itu.
"Dia (Risma) menjadi korban dari dinamika poltik oleh elite-elite Politik yang di atas," tegas Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Wahidah Rustam, di Surabaya, Jumat (21/2/2014).
Kata Wahidah, ketika orang berada partai politik biasanya selalu berorientasi kepada kekuasaan. Sementara yang terjadi oleh Risma saat ini, berbalik arah yang justru berorientasi memikirkan rakyatnya.
"Sosok pemimpin perempuan ini dalam kinerjanya menyentuh dan tidak berpikir kekuasaan. Yang dipikirkan adalah rakyat. Selain itu, basisnya juga cukup menyentuh. Karena dalam bekerja, selalu berpegang sebagai seorang pemimpin yang mengemban amanah," katanya.
Dalam memimpin Kota Surabaya, Risma juga langsung turun dan menyentuh ke sejumlah basis massa. Artinya, persoalan ini yang tidak diperhatikan elite-elite. Bahkan, dengan ketegasan dan kinerja itulah membuat gerah para elite yang kepentingannya terganggu.
Maka itu, dirinya meminta kepada Risma untuk tidak meninggalkan jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya atau mundur. Menurutnya, biasanya memang kerap terjadi tekanan-tekanan politik terhadap para pemimpin perempuan yang tentu berdampak pada psikologisnya.
"Partai politik adalah kendaraan. Unsur di dalamnya adalah dari rakyat. Yang harus dibangun parpol adalah jangan memposisikan orang yang dekat dengan masyarakat. Parpol tidak akan terbentuk ketika masyarakat tidak memberikan dukungan," katanya.
Baca:
Ditelepon SBY, Risma diminta tidak mundur
Risma terikat kontrak politik, Tuhan saksinya
(rsa)