Penghulu mogok, langgar aturan pelayanan publik
A
A
A
Sindonews.com - Sikap para penghulu yang mengancam untuk tidak melayani pernikahan di luar balai nikah (KUA) dianggap menyalahi aturan pelayanan publik. Pasalnya, menikah di luar balai nikah diperbolehkan.
"Kalau sampai mogok tidak melayani pernikahan di luar balai nikah sama halnya melanggar aturan pelayanan publik. Soalnya, aturan memperbolehkan melayani pernikahan di luar balai nikah dan di luar jam kerja," kata Kepala Divisi Penanganan Pengaduan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur Nuning Rhodiyah, Rabu (4/12/2013).
Ia juga menyebut, sebenarnya tidak ada persoalan menikah di luar balai KUA. Dari dulu memang diperbolehkan. Persoalan itu muncul ketika menikah di luar balai nikah dijadikan sebagai ajang untuk melakukan pungli.
Sesuai aturan yang ada yakni, Pasal 21 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 tahun 2007, membolehkan nikah di luar KUA, asal atas persetujuan kedua mempelai dan mendapat persetujuan petugas pencatat akad nikah.
"Ini yang menjadi persoalan. Ketika melayani pernikahan di luar balai nikah dengan menerima pesangon maka dianggap gratifikasi. Seperti yang menimpa Kepala KUA Kota Kediri," ujarnya.
Sedangkan biayanya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 yang mengatur soal biaya administrasi pencatatan nikah sebesar Rp30 ribu.
"Rupanya menikah di luar kantor KUA biayanya antara Rp200 ribu hingga Rp400 ribu. Masalahnya besaran itu tidak ada payung hukum," jelasnya.
Mengacu pada aturan pelayanan publik sikap mogok itu melanggar. Namun, demikian persoalan itu harus diseleseikan. Terkait dugaan gratifikasi yang menimpa Kepala KUA Kota Kediri itu sangat wajar. Karena, Kejari setempat melihat tidak ada payung hukum yang menaungi.
"Aturan yang ada sebesar Rp30 ribu tapi di lapangan lebih dari itu. Wajar jika dianggap sebagai gratifikasi karena tidak ada payung hukumnya," ujar Nuning.
"Kalau sampai mogok tidak melayani pernikahan di luar balai nikah sama halnya melanggar aturan pelayanan publik. Soalnya, aturan memperbolehkan melayani pernikahan di luar balai nikah dan di luar jam kerja," kata Kepala Divisi Penanganan Pengaduan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur Nuning Rhodiyah, Rabu (4/12/2013).
Ia juga menyebut, sebenarnya tidak ada persoalan menikah di luar balai KUA. Dari dulu memang diperbolehkan. Persoalan itu muncul ketika menikah di luar balai nikah dijadikan sebagai ajang untuk melakukan pungli.
Sesuai aturan yang ada yakni, Pasal 21 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 tahun 2007, membolehkan nikah di luar KUA, asal atas persetujuan kedua mempelai dan mendapat persetujuan petugas pencatat akad nikah.
"Ini yang menjadi persoalan. Ketika melayani pernikahan di luar balai nikah dengan menerima pesangon maka dianggap gratifikasi. Seperti yang menimpa Kepala KUA Kota Kediri," ujarnya.
Sedangkan biayanya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 yang mengatur soal biaya administrasi pencatatan nikah sebesar Rp30 ribu.
"Rupanya menikah di luar kantor KUA biayanya antara Rp200 ribu hingga Rp400 ribu. Masalahnya besaran itu tidak ada payung hukum," jelasnya.
Mengacu pada aturan pelayanan publik sikap mogok itu melanggar. Namun, demikian persoalan itu harus diseleseikan. Terkait dugaan gratifikasi yang menimpa Kepala KUA Kota Kediri itu sangat wajar. Karena, Kejari setempat melihat tidak ada payung hukum yang menaungi.
"Aturan yang ada sebesar Rp30 ribu tapi di lapangan lebih dari itu. Wajar jika dianggap sebagai gratifikasi karena tidak ada payung hukumnya," ujar Nuning.
(lns)