Pemberhentian Thaib Armayin, 4 pimpinan DPRD terancam pidana
Jum'at, 11 Oktober 2013 - 14:08 WIB

Pemberhentian Thaib Armayin, 4 pimpinan DPRD terancam pidana
A
A
A
Sindonews.com - Mekanisme DPRD Provinsi Maluku Utara (Malut) dalam memberhentikan Thaib Armaiyn dari jabatannya sebagai gubernur disebut cacat prosedural. Tak pelak jika empat pimpinan DPRD Malut yang telah merekayasa surat pemberhentian Thaib ke Mendagri akan terancam pidana.
Hal itu dikatakan Pakar Hukum Tata Negara, King Faisal, terkait mekanisme formal yang sudah diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang mekanisme pemberhentian kepala daerah.
Sebagaimana yang diatur undang-undang 32 pasal 23 bersama beberapa pasal yang berkaitan kewenangan DPRD, yang salah satunya melakukan pelantikan dan pemberhentian kepala daerah atau wakil kepala daerah melalui paripurna.
King menjelaskan, sesuai ketentuan hal itu merupakan suatu tahapan yang wajib dilaksanakan oleh DPRD. Agar tahapan paripurna pemberhentian itu dapat diakui legalitasnya karena dianggap memenuhi persyaratan konstitusional.
Anjurnya, dalam proses pengajuan itu juga diminta dilampirkan berita acara jika telah dilakukannya paripurna pemberhentian kepala daerah. Karena berita acara itu wajib hukumnya dalam melengkapi proses adminsitrasi yang diajukan ke Mendagri, kemudian diteruskan ke Presiden.
“Dan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban administratif. Bahwa sebuah pengambilan keputusan itu sudah melalui tahapan resmi yang sudah diatur dalam suatu ketentuan sebagai acuan formalnya pemenuhan pengajuan itu. Yang juga dalam tatib (tata tertib) DPRD pun sudah diatur,” ujar King Faisal kepada Sindonews, Jumat (11/10/2013).
King menegaskan, surat yang diajukan itu pun tidak mengatasnamakan personal atau hanya di unsur pimpinan semata, tetapi surat yang diajukan itu berbunyi atas nama lembaga. “Yang faktanya kan mereka tidak membuat paripurna. Ini mengindikasikan bisa saja unsur pimpinan merekayasa pengajuan surat yang diajukan ke Mendagri.
Kenapa? Karena logika hukumnya pimpinan itu bertindak tidak mungkin atas nama personal. Yang resminya harus atas nama lembaga. "Agar secara implisit tidak ada klaim bahwa langkah kebijakan yang dilakukan DPRD itu telah memiliki sandaran konstitusional yang kuat,” jelasnya.
“Memang patut diduga ada indikasi pemalsuan karena itu bisa dipidanakan oleh para pihak yang merasa dirugikan atau yang menjadi korban pemalsuan itu. Terutama oleh teman-teman anggota DPRD lain yang merasa dirugikan. Bisa juga di PTUN-kan SK persetujuan pimpinan dewan yang dilakukan tidak melalui paripurna tersebut,” tukasnya.
Baca juga: Pemberhentian Thaib Armayin dinilai cacat prosedural
Hal itu dikatakan Pakar Hukum Tata Negara, King Faisal, terkait mekanisme formal yang sudah diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang mekanisme pemberhentian kepala daerah.
Sebagaimana yang diatur undang-undang 32 pasal 23 bersama beberapa pasal yang berkaitan kewenangan DPRD, yang salah satunya melakukan pelantikan dan pemberhentian kepala daerah atau wakil kepala daerah melalui paripurna.
King menjelaskan, sesuai ketentuan hal itu merupakan suatu tahapan yang wajib dilaksanakan oleh DPRD. Agar tahapan paripurna pemberhentian itu dapat diakui legalitasnya karena dianggap memenuhi persyaratan konstitusional.
Anjurnya, dalam proses pengajuan itu juga diminta dilampirkan berita acara jika telah dilakukannya paripurna pemberhentian kepala daerah. Karena berita acara itu wajib hukumnya dalam melengkapi proses adminsitrasi yang diajukan ke Mendagri, kemudian diteruskan ke Presiden.
“Dan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban administratif. Bahwa sebuah pengambilan keputusan itu sudah melalui tahapan resmi yang sudah diatur dalam suatu ketentuan sebagai acuan formalnya pemenuhan pengajuan itu. Yang juga dalam tatib (tata tertib) DPRD pun sudah diatur,” ujar King Faisal kepada Sindonews, Jumat (11/10/2013).
King menegaskan, surat yang diajukan itu pun tidak mengatasnamakan personal atau hanya di unsur pimpinan semata, tetapi surat yang diajukan itu berbunyi atas nama lembaga. “Yang faktanya kan mereka tidak membuat paripurna. Ini mengindikasikan bisa saja unsur pimpinan merekayasa pengajuan surat yang diajukan ke Mendagri.
Kenapa? Karena logika hukumnya pimpinan itu bertindak tidak mungkin atas nama personal. Yang resminya harus atas nama lembaga. "Agar secara implisit tidak ada klaim bahwa langkah kebijakan yang dilakukan DPRD itu telah memiliki sandaran konstitusional yang kuat,” jelasnya.
“Memang patut diduga ada indikasi pemalsuan karena itu bisa dipidanakan oleh para pihak yang merasa dirugikan atau yang menjadi korban pemalsuan itu. Terutama oleh teman-teman anggota DPRD lain yang merasa dirugikan. Bisa juga di PTUN-kan SK persetujuan pimpinan dewan yang dilakukan tidak melalui paripurna tersebut,” tukasnya.
Baca juga: Pemberhentian Thaib Armayin dinilai cacat prosedural
(rsa)