Ditetapkan sebagai terdakwa, Kepala BPN Semarang bingung
A
A
A
Sindonews.com - Terdakwa M Thoriq hingga kini mengaku bingung dengan kasus yang membelenggunya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ( Tipikor) Semarang.
Ditemui Senin (29/7), mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Semarang ini menyatakan dirinya hanyalah korban dari ketidakcermatan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menilainya sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kasus dugaan korupsi pada ruislah tanah milik Pemrov Jateng yang terletak di Desa Nyatnono, Kecamatan Ungaran Barat, Semarang.
Selain itu, dia juga mempertanyakan dasar hukum yang dipakai BPKP Jateng dalam membuat kesimpulan saat melakukan audit. Dalam audit itu disebutkan tanah milik Pemprov seluas 32.000 meter persegi itu hilang. Akibatnya negara mengalami kerugian sekira Rp2,5 miliar.
"Dari mana BPKP bisa membuat kesimpulan seperti itu. Kalau tanah hilang, jelas tidak ada nilai tukarnya," katanya seraya menambahkan bahwa dia akan membeberkan semua kelemahan dakwaan jaksa penuntut umum pada saat dia diperiksa sebagai terdakwa.
"Saya akan buat pembelaan saat diperiksa sebagai terdakwa," sambungnya.
Ketika puasan M Thoriq itu lantaran pada saat menjabat sebagai Kepala BPN, aset Pemprov Jateng itu diketahui telah dikavling sejumlah warga dan bahkan dijual kepada perusahaan. Atas dasar itu, Thoriq kemudian membatalkan semua sertifikat hak milik yang dikuasai Karyono, dan warga lain. ( Karyono adalah terdakwa dalam kasus ini)
Sementara itu dalam persidangan yang menghadirkan saksi Sugiyanto (53), warga Dusun Sendangrejo Desa Nyatnyono. Saksi mengaku membeli tanah yang kini menjadi obyek perkara itu dari Karyono - terdakwa lain - dengan luas tanah 150 meter persegi.
"Tanah itu setelah saya beli dari Karyono," katanya di hadapan ketua majelis hakim Noor Ediyono.
Saksi mengaku sertifikat hak milik atas tanah itu kemudian diminta kembali oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Semarang. Belakangan baru diketahui jika tanah tersebut aset Pemprov Jateng, karena itu kepala BPN yang pada saat itu dijabat terdakwa M. Thoriq melakukan pemblokiran.
"Saya blokir semua tanah yang telah dikavling oleh warga karena saya tahu tanah itu milik negara," tandas Thoriq kepada wartawan usai menjalani persidangan.
Dalam keterangannya, saksi menyatakan tanah seharga Rp15 juta itu dia beli pada tahun 2003 dengan cara mengangsur sebanyak tiga kali.
Pada tahun 2004 setelah dilunasi, terbit sertifikat hak milik atas namanya sendiri. Perihal pengurusan sertifikat tanah hak milik di BPN Semarang prosesnya seperti apa, Sugiyanto mengaku tidak mengetahuinya. Ia juga mengaku tidak tahu asal usul tanah yang dibelinya itu.
Setelah memeriksa saksi, Noor Ediyono menutup sidang dan akan dilanjutkan pada persidangan lanjutan. " Sidang saya tutup dan kita akan melanjutkan sidang, pada minggu depan, masih pemeriksaan saksi," ujar Noor sambil mengetuk palu.
Ditemui Senin (29/7), mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Semarang ini menyatakan dirinya hanyalah korban dari ketidakcermatan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menilainya sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kasus dugaan korupsi pada ruislah tanah milik Pemrov Jateng yang terletak di Desa Nyatnono, Kecamatan Ungaran Barat, Semarang.
Selain itu, dia juga mempertanyakan dasar hukum yang dipakai BPKP Jateng dalam membuat kesimpulan saat melakukan audit. Dalam audit itu disebutkan tanah milik Pemprov seluas 32.000 meter persegi itu hilang. Akibatnya negara mengalami kerugian sekira Rp2,5 miliar.
"Dari mana BPKP bisa membuat kesimpulan seperti itu. Kalau tanah hilang, jelas tidak ada nilai tukarnya," katanya seraya menambahkan bahwa dia akan membeberkan semua kelemahan dakwaan jaksa penuntut umum pada saat dia diperiksa sebagai terdakwa.
"Saya akan buat pembelaan saat diperiksa sebagai terdakwa," sambungnya.
Ketika puasan M Thoriq itu lantaran pada saat menjabat sebagai Kepala BPN, aset Pemprov Jateng itu diketahui telah dikavling sejumlah warga dan bahkan dijual kepada perusahaan. Atas dasar itu, Thoriq kemudian membatalkan semua sertifikat hak milik yang dikuasai Karyono, dan warga lain. ( Karyono adalah terdakwa dalam kasus ini)
Sementara itu dalam persidangan yang menghadirkan saksi Sugiyanto (53), warga Dusun Sendangrejo Desa Nyatnyono. Saksi mengaku membeli tanah yang kini menjadi obyek perkara itu dari Karyono - terdakwa lain - dengan luas tanah 150 meter persegi.
"Tanah itu setelah saya beli dari Karyono," katanya di hadapan ketua majelis hakim Noor Ediyono.
Saksi mengaku sertifikat hak milik atas tanah itu kemudian diminta kembali oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Semarang. Belakangan baru diketahui jika tanah tersebut aset Pemprov Jateng, karena itu kepala BPN yang pada saat itu dijabat terdakwa M. Thoriq melakukan pemblokiran.
"Saya blokir semua tanah yang telah dikavling oleh warga karena saya tahu tanah itu milik negara," tandas Thoriq kepada wartawan usai menjalani persidangan.
Dalam keterangannya, saksi menyatakan tanah seharga Rp15 juta itu dia beli pada tahun 2003 dengan cara mengangsur sebanyak tiga kali.
Pada tahun 2004 setelah dilunasi, terbit sertifikat hak milik atas namanya sendiri. Perihal pengurusan sertifikat tanah hak milik di BPN Semarang prosesnya seperti apa, Sugiyanto mengaku tidak mengetahuinya. Ia juga mengaku tidak tahu asal usul tanah yang dibelinya itu.
Setelah memeriksa saksi, Noor Ediyono menutup sidang dan akan dilanjutkan pada persidangan lanjutan. " Sidang saya tutup dan kita akan melanjutkan sidang, pada minggu depan, masih pemeriksaan saksi," ujar Noor sambil mengetuk palu.
(rsa)