Kearifan Suku Tengger menjaga warisannya
A
A
A
Aroma kemenyan dan dupa sudah terlebih dulu menyapa di halaman rumah Mujono. Si empu rumah langsung mempersilahkan masuk begitu ada tamu yang mengetuk rumahnya. Lelaki paruh baya itu merupakan koordinator dukun-dukun adat dari 47 dukun di 41 desa tengger yang berada di empat kabupaten, Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.
Meski mempunyai jabatan tinggi sebagai koordinator dukun seluruh Tengger, namun Mujono memperlakukan semua yang singgah di rumahnya dengan sama. Tak ada pembedaan perlakuan maupun sambutan. Selalu ramah dan santun menjadi perilaku yang dianut orang Tengger sejak berabad-abad lalu.
Sebagai koordinator dukun seluruh Tengger, tentu banyak pengetahuan terkait seluk beluk warga Tengger, terutama soal hubungan orang Tengger dengan alam. Menurut Mujono, yang sejak 2003 lalu didapuk menjadi koordinator dukun, tanah, hutan, sumber mata air, dan hewan yang berada di hutan maupun yang dipelihara merupakan sumber penghidupan. Sehingga, pantang bagi orang tengger merusak hutan, membunuh hewan (kecuali untuk korban dan hajatan), serta merusak lingkungan dan menelantarkan lahan pertanian.
“Dalam setiap upacara adat, mantra-mantra yang diucapkan selalu ada kaitannya dengan ucapan syukur dan pemberian penghormatan kepada alam semesta,” kata Mujono, akhir Mei 2013 lalu.
Sejak berabad-abad lalu, kata Mujono, orang Tengger tidak bisa dipisahkan dengan hutan, sumber mata air, sawah, dan satwa di sekitarnya. Karena itu, dalam aturan tidak tertulis dan sangat dihafal terutama oleh para dukun adat dan digetuk tularkan ke masyarakat melalui mulut kemulut, terdapat larangan-larangan seperti tidak boleh menebang pohon sembarangan, terutama yang berada di dekat sumber mata air. Bahkan, orang Tengger diharuskan menanam pohon yang sama dua kali lipat jika terpaksa melakukan penebangan pohon.
Selain itu, orang Tengger menganggap mengolah lahan pertanian merupakan pekerjaan yang utama karena bisa ngemong ibu pertiwi dengan memanfaatkan lahan untuk ditanami. Dalam mengelola lahan pertanian, juga selalu ada aturan-aturan yang disesuaikan menurut kalender suku Tengger.
Ketika panen selalu ada penghormatan kepada yang Maha Kuasa dengan menggelar upacara adat. Menariknya, hasil pertanian maupun makanan yang disajikan dalam upacara tidak dibuang begitu saja seperti upacara ummat Hindu di Bali, namun dimakan bersama-sama dengan warga desa setelah upacara selesai.
Mujono menjelaskan, keberadaan suku Tengger tidak bisa dipisahkan dengan alam dan sudah menyatu sejak berabad-abad lalu. Ia mengungkapkan, ditemukannya prasasti di Desa Sapi Kerep, kecamatan Sukapura, pada tahun 2001 lalu, menyebutkan jika prasasti yang berupa delapan lempeng tembaga tersebut salah satu isinya berbunyi agar penduduk sekitar menjaga dan merawat bangunan yang disebut Sri Rameswarapura yang bangunannya hingga kini belum diketahui dimana.
Dalam prasasti itu, kata Mujono, bangunan Sri Rameswarapura yang dibangun di masa Kertanegara untuk menghormati raja kerajaan Singasari, Wisnuwardhana. “Ini bukti suku Tengger sudah ada di masa sebelum Majapahit,” katanya.
Di masa Kerajaan Majapahit, lanjut Mujono, para penduduk Suku Tengger juga dibebaskan membayar upeti atau pajak kerajaan. Syaratnya, mereka harus melakukan penghormatan kepada leluhurnya dan menjaga kawasan yang menurut sejarahnya merupakan tempat di mana keturunan nenek moyangnya berada dan mengayomi penduduk Tengger. Mereka adalah 25 anak Joko Seger dan Rara Anteng yang bersemayam di 25 tempat di pegunungan Tengger, seperti di Gunung Bromo, Semeru, Penanjakan, dan lain-lain.
Karena itu, hingga kini masyarakat tengger selalu menjaga kawasan tersebut yang kini menjadi kawasan Taman Nasional Bromo tengger Semeru sejak tahun 1980-an dengan luas sekira 55 ribu hektare lebih. Setelah dikelola taman nasional, ada beberapa gesekan-gesekan antara petugas dan penduduk Tengger yang sejak dulu menjaga dan merawat hutan di kawasan ini. Hal ini diakui Sarmin, mantan Kepala Resort Ranupani, balai Besar Taman Nasional Bromo tengger Semeru, yang kini bertugas di Cemorolawang, Probolinggo.
Menurutnya, nila-nilai kultural suku Tengger secara secara tidak langsung memang turut menjaga kawasan taman nasional sejak dulu. Bahkan, perlindungan sumber mata air, serta larangan-larangan menebang pohon juga tertanam di benak warga Tengger. Meski demikian, Sarmin juga mengakui jika taman nasional juga mempunyai aturan-aturan sehingga ini yang coba dikomunikasikan dengan warga agar tidak terjadi gesekan. “Memang sempat terjadi gesekan seperti di Ngadas, Malang beberapa waktu lalu,” ucapnya.
Saat ini, katanya, pihak TNBTS juga mengajak warga tengger untuk dimintai masukan maupun pendapat dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional yang bakal mengeluarkan aturan baru terkait zonasi-zonasi kawasan. Aturan ini, kata Sarmin, masih digodok dan melibatkan semua stakeholder termasuk tokoh-tokoh orang Tengger.
Sementara itu, Dewan Daerah Walhi Jawa Timur, Purnawan D Negara, mengungkapkan, masyarakat Tengger yang sudah berabad-abad lalu berada di kawasan pegunungan Tengger selama ini hanya dilibatkan sebagai obyek, bukan subyek yang turut menentukan perlindungan kawasan taman nasional. “Mereka lebih banyak sebagai obyek, bahasa kasarnya sebagai jongos,” ujar Purnawan.
Bowo misalnya, warga Ngadisari yang rumahnya dijadikan home stay ini mengaku mendapatkan penghasilan tambahan lebih. Per malam Rp 150 ribu. Ia juga menjadi pemandu kuda di lautan pasir dengan tarif Rp 100 ribu an. Namun, selepas menjual jasa sewa kuda, dirinya juga tak lupa pergi ke ladang sebagai salah satu kewajiban ngemong ibu pertiwi dengan mengolah lahan pertaniannya.
Ia menyebut, kebanyakan penduduk Tengger, menjadi pemandu wisata, pemandu kuda, tukang ojek, porter, membuka home stay, dan lain-lain. Mereka , kata Purnawan, tidak ada yang dilibatkan untuk turut serta menentukan pengelelolaan kawasan taman nasional yang dulunya sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Meski mempunyai jabatan tinggi sebagai koordinator dukun seluruh Tengger, namun Mujono memperlakukan semua yang singgah di rumahnya dengan sama. Tak ada pembedaan perlakuan maupun sambutan. Selalu ramah dan santun menjadi perilaku yang dianut orang Tengger sejak berabad-abad lalu.
Sebagai koordinator dukun seluruh Tengger, tentu banyak pengetahuan terkait seluk beluk warga Tengger, terutama soal hubungan orang Tengger dengan alam. Menurut Mujono, yang sejak 2003 lalu didapuk menjadi koordinator dukun, tanah, hutan, sumber mata air, dan hewan yang berada di hutan maupun yang dipelihara merupakan sumber penghidupan. Sehingga, pantang bagi orang tengger merusak hutan, membunuh hewan (kecuali untuk korban dan hajatan), serta merusak lingkungan dan menelantarkan lahan pertanian.
“Dalam setiap upacara adat, mantra-mantra yang diucapkan selalu ada kaitannya dengan ucapan syukur dan pemberian penghormatan kepada alam semesta,” kata Mujono, akhir Mei 2013 lalu.
Sejak berabad-abad lalu, kata Mujono, orang Tengger tidak bisa dipisahkan dengan hutan, sumber mata air, sawah, dan satwa di sekitarnya. Karena itu, dalam aturan tidak tertulis dan sangat dihafal terutama oleh para dukun adat dan digetuk tularkan ke masyarakat melalui mulut kemulut, terdapat larangan-larangan seperti tidak boleh menebang pohon sembarangan, terutama yang berada di dekat sumber mata air. Bahkan, orang Tengger diharuskan menanam pohon yang sama dua kali lipat jika terpaksa melakukan penebangan pohon.
Selain itu, orang Tengger menganggap mengolah lahan pertanian merupakan pekerjaan yang utama karena bisa ngemong ibu pertiwi dengan memanfaatkan lahan untuk ditanami. Dalam mengelola lahan pertanian, juga selalu ada aturan-aturan yang disesuaikan menurut kalender suku Tengger.
Ketika panen selalu ada penghormatan kepada yang Maha Kuasa dengan menggelar upacara adat. Menariknya, hasil pertanian maupun makanan yang disajikan dalam upacara tidak dibuang begitu saja seperti upacara ummat Hindu di Bali, namun dimakan bersama-sama dengan warga desa setelah upacara selesai.
Mujono menjelaskan, keberadaan suku Tengger tidak bisa dipisahkan dengan alam dan sudah menyatu sejak berabad-abad lalu. Ia mengungkapkan, ditemukannya prasasti di Desa Sapi Kerep, kecamatan Sukapura, pada tahun 2001 lalu, menyebutkan jika prasasti yang berupa delapan lempeng tembaga tersebut salah satu isinya berbunyi agar penduduk sekitar menjaga dan merawat bangunan yang disebut Sri Rameswarapura yang bangunannya hingga kini belum diketahui dimana.
Dalam prasasti itu, kata Mujono, bangunan Sri Rameswarapura yang dibangun di masa Kertanegara untuk menghormati raja kerajaan Singasari, Wisnuwardhana. “Ini bukti suku Tengger sudah ada di masa sebelum Majapahit,” katanya.
Di masa Kerajaan Majapahit, lanjut Mujono, para penduduk Suku Tengger juga dibebaskan membayar upeti atau pajak kerajaan. Syaratnya, mereka harus melakukan penghormatan kepada leluhurnya dan menjaga kawasan yang menurut sejarahnya merupakan tempat di mana keturunan nenek moyangnya berada dan mengayomi penduduk Tengger. Mereka adalah 25 anak Joko Seger dan Rara Anteng yang bersemayam di 25 tempat di pegunungan Tengger, seperti di Gunung Bromo, Semeru, Penanjakan, dan lain-lain.
Karena itu, hingga kini masyarakat tengger selalu menjaga kawasan tersebut yang kini menjadi kawasan Taman Nasional Bromo tengger Semeru sejak tahun 1980-an dengan luas sekira 55 ribu hektare lebih. Setelah dikelola taman nasional, ada beberapa gesekan-gesekan antara petugas dan penduduk Tengger yang sejak dulu menjaga dan merawat hutan di kawasan ini. Hal ini diakui Sarmin, mantan Kepala Resort Ranupani, balai Besar Taman Nasional Bromo tengger Semeru, yang kini bertugas di Cemorolawang, Probolinggo.
Menurutnya, nila-nilai kultural suku Tengger secara secara tidak langsung memang turut menjaga kawasan taman nasional sejak dulu. Bahkan, perlindungan sumber mata air, serta larangan-larangan menebang pohon juga tertanam di benak warga Tengger. Meski demikian, Sarmin juga mengakui jika taman nasional juga mempunyai aturan-aturan sehingga ini yang coba dikomunikasikan dengan warga agar tidak terjadi gesekan. “Memang sempat terjadi gesekan seperti di Ngadas, Malang beberapa waktu lalu,” ucapnya.
Saat ini, katanya, pihak TNBTS juga mengajak warga tengger untuk dimintai masukan maupun pendapat dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional yang bakal mengeluarkan aturan baru terkait zonasi-zonasi kawasan. Aturan ini, kata Sarmin, masih digodok dan melibatkan semua stakeholder termasuk tokoh-tokoh orang Tengger.
Sementara itu, Dewan Daerah Walhi Jawa Timur, Purnawan D Negara, mengungkapkan, masyarakat Tengger yang sudah berabad-abad lalu berada di kawasan pegunungan Tengger selama ini hanya dilibatkan sebagai obyek, bukan subyek yang turut menentukan perlindungan kawasan taman nasional. “Mereka lebih banyak sebagai obyek, bahasa kasarnya sebagai jongos,” ujar Purnawan.
Bowo misalnya, warga Ngadisari yang rumahnya dijadikan home stay ini mengaku mendapatkan penghasilan tambahan lebih. Per malam Rp 150 ribu. Ia juga menjadi pemandu kuda di lautan pasir dengan tarif Rp 100 ribu an. Namun, selepas menjual jasa sewa kuda, dirinya juga tak lupa pergi ke ladang sebagai salah satu kewajiban ngemong ibu pertiwi dengan mengolah lahan pertaniannya.
Ia menyebut, kebanyakan penduduk Tengger, menjadi pemandu wisata, pemandu kuda, tukang ojek, porter, membuka home stay, dan lain-lain. Mereka , kata Purnawan, tidak ada yang dilibatkan untuk turut serta menentukan pengelelolaan kawasan taman nasional yang dulunya sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
(ysw)